Penyanyi, Mahalini tiba-tiba banyak dikritik di media sosial paska melakukan operasi plastik di Korea baru-baru ini. Kritikan yang sama juga ditujukan pada artis lainnya yang melakukan operasi plastik (oplas).
Terbaru, dilansir dari Kompas TV, Mahalini dikabarkan menangis sesenggukan di tengah konser dan buka suara soal kesedihannya pada banyak orang yang menghujatnya akibat oplas plastik di hidungnya. Ada pengamat yang menyatakan, kritikan pedas biasanya lebih banyak ditujukan pada artis perempuan dibandingkan artis laki-laki akibat oplas ini.
Sebenarnya yang menginginkan oplas agar ada perubahan wajah agar terlihat berbeda, lebih cantik atau terlihat lebih tampan ini mereka para artis, atau tuntutan industri media dan kapitalisme pasar?
Operasi plastik sebenarnya bukan hal yang baru. Prakteknya menjadi populer selama beberapa dekade terakhir di industri kecantikan. Berawal dari upaya memperbaiki kerusakan wajah akibat peperangan, bedah dan operasi plastik menjadi bagian dari upaya untuk ‘menyempurnakan’ penampilan. Khususnya dalam membentuk citra tubuh, utamanya pada perempuan, di media.
Sementara itu, bedah kecantikan dan oplas kerap menuai kritik. Upaya-upaya mengubah fitur wajah dan tubuh dinilai tidak perlu hingga eksploitatif terhadap tubuh kita. Masyarakat kerap nyinyir terhadap orang yang melakukan atau diduga melakukan operasi plastik.
Baca Juga: Perempuan Cantik Harus Berkulit Putih? No! Bongkar Obsesi Kecantikan di Indonesia
Misalnya, ketika gelombang industri hiburan Korea Selatan mulai melanda Indonesia. Banyak orang mencibir bintang K-Pop yang diduga melakukan operasi plastik—sebagian karena tren operasi plastik untuk kecantikan juga mulai populer dibawa dari negara yang sama. Atau baru-baru ini, ketika muncul dugaan bahwa artis Mahalini melakukan operasi plastik karena perubahan fitur wajahnya. Ia mendapatkan komentar buruk dari warganet.
Tidak dapat dipungkiri; industri bedah kecantikan lahir dari standar kecantikan yang dibentuk oleh patriarki. Namun, kita kerap lupa bahwa yang harus dikritisi dari fenomena ini adalah sistem yang melanggengkan komersialisasi tubuh perempuan, bukan semata-mata orang yang melakukannya.
Operasi Plastik dan Feminisme: Pilihan atau Produk Patriarki?
Bagaimana feminisme memandang fenomena bedah kecantikan?
Di satu sisi, feminisme mengkritik standar kecantikan patriarki yang menekan perempuan untuk memenuhi ekspektasi fisi tertentu. Ini jugalah yang kemudian memunculkan praktek operasi plastik maupun bedah kecantikan lainnya.
Standar kecantikan dalam sistem patriarki kemudian memaksa perempuan untuk memiliki citra tubuh yang tidak realistis, serta merugikan kesehatan mental dan fisik perempuan. Ironisnya, citra tersebut dibuat sedemikian rupa untuk ditampilkan di media. Sehingga khalayak yang mengonsumsi media tersebut pun turut terjebak dalam standar kecantikan yang menindas perempuan.
Feminis Naomi Wolf menyinggung soal standar kecantikan akibat patriarki dalam bukunya, ‘Mitos Kecantikan’ (1990). Naomi Wolf mengkritik standar kecantikan yang tidak realistis dan industri kecantikan, termasuk operasi plastik, yang memanfaatkan ketidakamanan perempuan untuk keuntungan komersial. Wolf berargumen bahwa standar kecantikan yang ketat ini adalah cara untuk mengontrol dan membatasi kekuatan perempuan.
Tidak hanya Naomi Wolf. Kritik juga datang dari Susan Bordo, dalam bukunya ‘Beban yang Tak Tertahankan: Feminisme, Budaya Barat, dan Tubuh’ (1993). Ia mengeksplorasi budaya Barat yang kerap mengkonstruksi tubuh perempuan dan memaksa mereka untuk mematuhi standar kecantikan yang sering kali tidak realistis. Bordo mengkritik operasi plastik sebagai salah satu cara memaksa perempuan untuk menyesuaikan diri dengan citra tubuh ideal yang diciptakan oleh media dan masyarakat.
Baca Juga: Dear Kamu, Tak Harus Glowing dan Punya Tubuh Sempurna untuk Nikmati Hidup
Namun di sisi lain, feminisme memahami keputusan seseorang untuk melakukan operasi plastik sebagai bagian dari otonomi tubuhnya. Hal ini berangkat dari argumen bahwa setiap individu memiliki hak untuk membuat keputusan mengenai tubuh mereka sendiri. Termasuk menjalani operasi plastik—asalkan keputusan tersebut dibuat dengan sadar dan tanpa paksaan. Bagi sebagian feminis, penting untuk menghormati kebebasan perempuan dalam memilih hal yang mereka anggap terbaik untuk diri mereka sendiri.
Kendati demikian, pendapat tersebut juga kembali lagi pada persepsi bahwa ‘pilihan’ dan ‘keputusan’ perempuan dikonstruksi oleh patriarki. Meski pilihan itu diambil secara sadar dan atas kemauan sendiri, sesungguhnya patriarki tetap punya andil besar dalam membentuk standar-standar tertentu yang akhirnya harus dipenuhi perempuan. Tekanan untuk menjalani operasi plastik sering kali berasal dari media dan masyarakat yang mengagungkan citra tubuh yang ‘ideal’, cenderung tidak realistis.
Industri Kecantikan dan Konstruksi Citra di Media
Selain itu, industri kecantikan secara umum juga dikritik sebagai bagian dari kapitalisme yang eksploitatif. Bukan hanya mengeksploitasi tubuh perempuan, tetapi juga ketidakamanan individu demi keuntungan finansial. Feminisme dalam konteks ini mengkritik perusahaan dan klinik operasi plastik yang memanfaatkan ketidakpuasan diri untuk meraup keuntungan. Sering kali tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang pada individu.
Industri media juga tidak boleh luput dalam pembahasan mengenai operasi plastik. Sebab, citra tubuh perempuan dikonstruksi realitanya sedemikian rupa oleh media. Jean Kilbourne, seorang feminis dan aktivis, sangat vokal mengenai hal ini. Ia dikenal karena kampanyenya melawan citra perempuan yang distorsi dalam iklan. Melalui karyanya, seperti seri film dokumenter ‘Membunuh Kita Secara Perlahan’, Kilbourne mengeksplorasi cara media dan industri kecantikan menciptakan dan memperkuat standar kecantikan yang merugikan perempuan.
Memang, situasi ini kompleks dan tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Kita perlu mempertimbangkan konteks sosial dan individu dalam diskusi mengenai bedah kecantikan. Misalnya, apakah keputusan untuk melakukan hal itu didorong oleh tekanan sosial? Atau demi kebutuhan individu untuk merasa lebih nyaman dengan tubuh mereka sendiri? Pun jika hal itu dilakukan untuk dirinya sendiri, dari mana hadirnya kesimpulan bahwa operasi plastik adalah ‘jawaban’ atas masalah kepercayaan diri?
Nyatanya, patriarki telah membuat konstruksi realita yang amat runyam, terutama bagi perempuan. Maka menyasar orang lain sebagai individu yang melakukan operasi plastik rasanya kurang tepat. Waktunya kita langsung mengkritisi standar kecantikan patriarki. Betapa ia membangun konstruksi realita yang membuat perempuan merasa dirinya belum cukup tanpa kecantikan yang telah dikomersialisasi.