‘Kalau Banjir, Saya Bisa Tidak Makan 2 Hari’: Cerita Ibu Korban Banjir Jakarta

‘kalau-banjir,-saya-bisa-tidak-makan-2-hari’:-cerita-ibu-korban-banjir-jakarta
‘Kalau Banjir, Saya Bisa Tidak Makan 2 Hari’: Cerita Ibu Korban Banjir Jakarta

Nia Kurnia dan Wagira adalah 2 perempuan korban banjir yang kutemui paska aku menghadiri acara Forum Air Dunia (WWF) ke-10 pada 18-25 Mei 2024 di Pulau Bali.

Mengusung tema “Air untuk Kemakmuran Bersama” forum ini membahas fakta bahwa “Air untuk Kemakmuran Bersama” ternyata faktanya tidak terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Penasaran dengan pemateri di sana, aku kemudian mengunjungi salah satu wilayah di daerah Bekasi Barat. Kuhampiri seorang Ibu yang kutemui dengan badan lemas sedang membereskan barang rongsokan yang baru saja dia dapat paska banjir yang menggenangi area rumahnya.

“Kalau banjir saya pernah ga makan 2 hari sama anak, cucu semuanya,” kata perempuan bernama Nia Kurnia itu.

Baca Juga: Hari Air Dunia: Perempuan Desak Pemprov DKI Jakarta Stop Privatisasi Air

Beberapa waktu lalu, sekitar bulan April 2024, hujan dengan intensitas tinggi telah membuat beberapa rumah warga di Bekasi Barat kembali terendam Banjir. Hampir tiap tahun wilayah tersebut mengalami banjir, yang paling parah terjadi pada tahun 2020.

Banjir tahunan telah menjadi bagian yang tak terelakkan dalam kehidupan keluarga Ibu Nia. Ibu Nia menceritakan bagaimana banjir selalu mengacaukan kehidupannya.

“Keadaan saat banjir, barang-barang rongsokan hanyut, dan dampaknya anak-anak sering sakit. Anak cucu suka berenang, main air, jadi sering sakit,” ujar Nia.

Kerugian materi akibat barang-barang hanyut dan kondisi kesehatan yang memburuk menjadi beban berat yang harus ditanggung keluarga ini setiap kali banjir melanda.

Nia Kurnia menambahkan, “Banyak linu, capek. Selama banjir, kadang harus jalan kaki mengangkat barang, rongsokan hanyut, setelahnya sakit meriang.”

Baca Juga: Vagina Perempuan Gatal Ketika Menstruasi Karena Air Sumur Kotor Akibat Tambang

Aktivitas fisik yang berat selama banjir ini mengakibatkan kelelahan dan gangguan kesehatan yang berkelanjutan.

Nia juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan air bersih, seperti harus beli air untuk minum dan mandi.

“Untuk mandi menggunakan air banjir, untuk minum harus beli air galon isi ulang,” jelasnya.

Ketika tidak banjir, air di daerah mereka sebenarnya bisa digunakan dengan baik. Namun, saat banjir, mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan air bersih ini.

Berbeda dengan Wagira. Ia lebih memilih mengungsi ke sekolahan terdekat dan menggunakan air di sekolah untuk mandi atau ketika anak sedang menstruasi. Kadang mandi atau mencari air di Masjid juga.

“Untuk air beli terus,” ungkapnya.

Baca Juga: Air Sumur Tak Bisa Minum, Sawah Tertutup Abu: Petani Indramayu Hidup Sedih Akibat PLTU

“100 ribu habis itu sehari, untuk beli air, jajanan anak cucu juga”. 100 ribu didapatkan selama satu minggu, habis hanya 1 hari ketika banjir terjadi.

Belum adanya solusi dalam mengatasi banjir ini, membuat warga pasrah jika banjir terjadi. Jika dilihat dari “Rancangan Akhir RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) Kota Bekasi Tahun 2025-2045” , hasil analisis KLHS RPJP Kota Bekasi Tahun 2025-2045 menulis, kawasan rawan bencana banjir di Kota Bekasi seluas 2.868,01 hektar atau sekitar 13,46 persen dari luas Kota Bekasi.

Kecamatan Bekasi Selatan merupakan daerah yang paling luas kawasannya terkait bencana banjir yang mencapai 398,36 hektar atau 13, 89 persen dari total kawasan rawan bencana banjir Kota Bekasi. Adanya peristiwa banjir dapat juga dipengaruhi oleh perubahan iklim yang ikut memberikan kontribusi dalam peningkatan kejadian bencana hidrometeorologi. Aktivitas manusia juga ikut memperburuk kondisi lingkungan, seperti perambahan hutan untuk perkebunan dan permukiman atau aktivitas pembangunan yang mempengaruhi ekosistem dan ekologi di daerah penyangga.

Kawasan rawan bencana banjir Kota Bekasi 2022 (sumber: dokumen Kajian Lingkungan Hidup (KHLS) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD) Kota Bekasi 2025-2045
Baca Juga: Damairia Pakpahan Raih SK Trimurti Award, Konsisten Perjuangkan Perempuan Dan Kelompok Marjinal

Dikutip dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), banjir yang terjadi di wilayah Bekasi diakibatkan meluapnya Kali Bekasi yang merupakan pertemuan antara Kali Cikeas dengan Kali Cileungsi.

Selain karena adanya pertemuan antara dua kali, banjir Bekasi diperparah dengan adanya pendangkalan sungai akibat sedimentasi, peningkatan curah hujan dan berkurangnya daerah resapan air.

Untuk akses air bersih wilayah kota Bekasi berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Pada tahun 2020 di Kota Bekasi telah dilakukan pengawasan terhadap sarana air minum (Inspeksi Kesehatan Lingkungan/ IKL). Dari 1.011 sarana air minum yang ada di Kota Bekasi, sebanyak 674 sarana telah dilakukan IKL. Berdasarkan hasil inspeksi diperoleh bahwa sebanyak 521 sarana air minum (77,30 persen) ditemukan dengan risiko rendah dan sedang. Hasil ini menurun jika dibandingkan tahun 2019 sebesar 88,58 persen sarana air minum yang berisiko rendah dan sedang.

Selain itu juga telah dilakukan pemeriksaan terhadap sarana air minum tahun 2020. Dari 363 sarana air minum yang diambil sampel dan diperiksa, diperoleh bahwa 78,24 persen atau sebanyak 284 sarana air minum telah memenuhi syarat. Persentase ini pun lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2019, sarana air minum yang memenuhi syarat sebesar 89,95 persen.

Dampak dari Banjir dan Air Kotor Bagi Perempuan

Novika Noerdiyanti dari Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) berdasarkan pengalaman yang sudah mereka lakukan, dampak banjir dan air kotor dapat menyebabkan beberapa penyakit kulit maupun diare jika dikonsumsi, selain itu juga mempengaruhi akses untuk bisa mendapatkan kebutuhan air bersih ketika menstruasi, dimana perempuan memerlukan air yang lebih banyak dan bersih.

Disisi lain kejadian banjir juga berpengaruh terhadap dampak psikologis anak maupun perempuan, misalnya meningkatkan stress dan kecemasan, mengambil beban ganda karena harus mengambil tanggung jawab tambahan dalam mengurus rumah maupun keluarga ketika atau pasca banjir.

Kerentanan lain yang mungkin terjadi bagi perempuan adalah meningkatnya potensi terjadi kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan domestik dan pelecehan seksual ketika harus mengakses sumber air bersih yang lebih jauh ketika situasi bencana banjir ataupun ketika berada pada tempat penampungan yang padat dan tidak aman, terutama perempuan penyandang disabilitas.

Baca Juga: Di Balik Sepiring Nasi Yang Kita Santap, Tersembunyi Keringat dan Air Mata Perempuan Petani

Berdasarkan sharing yang disampaikan oleh Maria Shinda-Ketua Organisasi Disabilitas (PERSAMA) “Beberapa perempuan penyandang disabilitas yang berada pada pengungsian susah mengakses fasilitas air maupun toilet karena belum aksesibel.

Sedangkan berdasarkan hasil workshop CCRIW beberapa potensi risiko yang disampaikan oleh peserta diantaranya adalah Jalan menuju fasilitas terganggu seperti kondisi yang licin, gelap, semakin jauh, kenyamanan dan keamanan juga, seperti curam, mendaki, berlumpur, kesulitan akses ke fasilitas lainnya, yaitu jauh, mengantri lama, fasilitas terbatas, tidak nyaman dan aksesibilitas akses. Sehingga untuk mengatasi dampak ini, memerlukan pendekatan yang inklusif dan sensitif gender, termasuk penyediaan fasilitas sanitasi yang aman, akses ke perawatan kesehatan yang memadai, dan dukungan psikologis bagi perempuan yang terkena dampak bencana.

Langkah Konkret Kurangi Kerentanan Banjir

Langkah konkret yang harusnya bisa dilakukan untuk mengurangi banjir diantaranya adalah pembangunan infrastruktur hijau seperti membuat hutan sekolah atau ruang terbuka hijau yang dapat menyerap air hujan secara alami.

Hal lain, yaitu perbaikan Infrastruktur seperti memperbaiki dan memelihara sistem drainase untuk memastikan aliran air yang lancar selama hujan lebat, pembuatan sumur resapan, pembuatan bronjong sungai. Reforestasi dan Pengelolaan Hutan seperti menanam kembali pohon di daerah tangkapan air untuk meningkatkan penyerapan air dan mengurangi erosi tanah.

Penanaman Pohon oleh Stakeholder dan Persani (Organisasi Penyandang Disabilitas) di sumber mata air Naeoni-Kupang (Foto: plan-international.org)
Penanaman Pohon oleh Stakeholder dan Persani (Organisasi Penyandang Disabilitas) di sumber mata air Naeoni-Kupang (Foto: plan-international.org)

Partisipasi warga wilayah sekitar khususnya perempuan dan kelompok rentan lainnya juga harus terlibat di setiap levelnya, seperti yang dilakukan Plan Indonesia dalam mendukung Kelompok Kerja Perumahan, Permukiman, Air Minum dan Sanitasi (Pokja PPAS) di Kabupaten Manggarai dan Sumbawa.

Perempuan dan penyandang disabilitas terlibat dalam Workshop Penyusunan Rencana Aksi Desa untuk membuat rencana aksi WASH yang berketahanan iklim dimana salah satunya adalah desa dengan lokasi rentan banjir.

Partisipasi aktif perempuan dan kelompok rentan lainnya telah menjadi kekuatan untuk bersuara dan mendapatkan perhatian yang lebih baik dari pemangku kepentingan sehingga Upaya-upaya mereka dapat dipertimbangkan dalam pembangunan untuk mendapatkan akses yang layak dan berkeadilan dalam upaya pengurangan bencana iklim.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
‘Kalau Banjir, Saya Bisa Tidak Makan 2 Hari’: Cerita Ibu Korban Banjir Jakarta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us