‘Kapan Menikah? Gagal Berumah Tangga Itu Salahmu’: Ucapanmu Mengganggu Kesehatan Mental Perempuan

‘kapan-menikah?-gagal-berumah-tangga-itu-salahmu’:-ucapanmu-mengganggu-kesehatan-mental-perempuan
‘Kapan Menikah? Gagal Berumah Tangga Itu Salahmu’: Ucapanmu Mengganggu Kesehatan Mental Perempuan

“Kapan menikah?”

“Kok, masih jomblo? Nggak laku, ya?”

“Kamu bercerai? Itu salahmu sih, bukan salah laki-laki.”

Pernah mendengar ucapan seperti itu dilontarkan kepada perempuan? Atau jangan-jangan, kitalah yang justru mengatakan hal tersebut? Hati-hati, ucapan ‘ringan’ dan ‘kepedulian’ semacam itu justru dapat mengganggu kesehatan mental orang lain.

Perempuan kerap dibuat tak berdaya ketika hidup dalam masyarakat dengan budaya patriarki yang kuat. Jiwa raganya terkuras habis, bukan hanya oleh kekerasan fisik dan sistemik dalam masyarakat misoginis. Tetapi juga lewat kekerasan verbal yang berisiko mengganggu kesehatan mental perempuan.

Sebut saja Lina dan Mamik, dua perempuan yang punya kisah pahit mengenai dampak ucapan menghakimi dari masyarakat terhadap mental mereka. Tentu tidak hanya mereka berdua. Ribuan, bahkan jutaan perempuan menjadi korban ketidakadilan dan penghakiman masyarakat yang melihat kehidupan perempuan tidak pernah ‘cukup’.

Kisah Lina: Enggan Pulang Kampung Karena “Teror” Pertanyaan Menikah

“Kapan menikah? Teman-teman seusiamu sudah menggendong anak, kamu masih sendiri belum punya pacar. Jangan terlalu pilih-pilih. Makin tua nanti tak laku, lho.”

Lina (bukan nama sebenarnya) adalah perempuan berusia 29 tahun. Pertanyaan dan penghakiman seperti di atas adalah hal yang kerap didengarnya saat pulang kampung.

Kata-kata yang diucapkan sebagian orang yang ia temui di kampung halaman membuat hidup Lina tak tenang. Si anak bungsu itu merasa terteror. Seolah semua orang yang mengomentari hidupnya sangat perhatian dan peduli. Maka mendadak mereka mencampuri kehidupan Lina.

Akhirnya, Lina memilih tak pulang ke kampung halaman untuk menghindari komentar-komentar negatif tetangga dan keluarga besarnya. Seakan-akan hidupnya belum ‘sempurna’ karena belum menikah kala usianya baru akan menginjak kepala 3.

Kisah Mamik: Anak Diculik Suami, Ia Disalahkan, Masuk Rumah Sakit Jiwa

Tak hanya Lina. Mamik (bukan nama sebenarnya), usia 43 tahun, juga harus menelan rasa pahit bentuk teror dan komentar negatif orang-orang di sekitarnya. Aku mengenal Mamik sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Kini, ibu satu anak ini harus bolak-balik ke rumah sakit jiwa karena kesehatan mentalnya terganggu.

Di tengah prahara rumah tangga dengan suaminya, tetangga menculik anaknya atas suruhan suami dan keluarga besar suaminya saat Mamik pulang ke rumah orang tuanya. Ia kehilangan anak laki satu-satunya yang saat itu berumur lima tahun.

Bukannya menerima dan menyelesaikan masalah keluarga dengan kepala dingin, suami dan keluarganya justru mengusir saat Mamik datang.

“Lagi pula, untuk apa berantem dengan suami harus pakai pulang ke rumah orang tua segala? Kalau suami mengambil anak lalu menceraikan, ya bukan salah laki-laki, dong.” Penjual sayur dekat rumah Mamik berkata, diamini tetangga-tetangganya yang tengah membeli sayur. Mereka mengomentari kondisi Mamik.

Di tengah kehidupannya yang gelap, Mamik berjuang sendiri. Tak hanya kehidupan rumah tangganya yang dikomentari dan disalahkan oleh tetangganya. Untuk berobat ke rumah sakit jiwa pun Mamik kesulitan. Akibat ‘serbuan’ menyalahkan Mamik, tetangga-tetangganya tidak bersedia mengantarkan Mamik ke rumah sakit jiwa karena takut diserang. Pernah suatu kali, saat di perjalanan, Mamik tiba-tiba marah dan menendang kursi supir. Dia kambuh dan membuat supir—yang juga tetangganya—panik. Akibatnya, orang-orang di kampungnya menolak mengantar Mamik.

Kondisi Mamik makin memprihatinkan. Ibunya yang berusia lanjut kewalahan mengurus Mamik.

“Pulang dari RSJ bukannya membaik, dia justru sering marah-marah dan teriak,” ujar ibunya kepadaku pertengahan tahun lalu.

Baca juga: Dipilih Jadi Duta Kesehatan Mental, Sejumlah Anak Perempuan Diduga Malah Dieksploitasi

Mamik menikah dengan lelaki yang dikenalkan tetangganya. Ia tak pernah mengenal lelaki itu sebelumnya dan memutuskan menikah setelah saling mengenal satu sama lain. Selama menikah, menurut ibunya, tak ada masalah serius dalam rumah tangganya. Namun, usai melahirkan, Mamik beberapa kali pulang ke rumah orangtuanya; membawa serta anak semata wayangnya.

Mamik tak pernah menceritakan masalahnya juga tak pernah menjawab pertanyaan orang tuanya jika ditanya. Dia lebih banyak diam.

Sejak menikah, Mamik tinggal bersama mertuanya. Saat punya anak, ia dan suaminya membuat rumah yang letaknya di samping rumah sang mertua. Suatu kali, Mamik kembali pulang ke rumah orang tuanya. Saat itu anaknya berusia sekitar lima tahun.

Orang tua Mamik paham, jika ia pulang ke rumah mereka, pasti ada yang tak beres dengan dengan rumah tangganya. 1-2 minggu Mamik tak segera pulang ke rumahnya sendiri. Orang tua Mamik bertambah panik saat cucunya hilang saat sedang bermain dengan anak tetangga. Usut punya usut, tetangga yang ternyata teman suami Mamik membawa anaknya pergi. Suaminya mengirim suruhan untuk ‘menculik’ anak Mamik.

Sejak peristiwa kehilangan anaknya, Mamik sering berteriak marah, diam, dan tiba-tiba menangis. Mamik merasa dipecundangi suaminya. Kepada ibunya, Mamik tak pernah bercerita.

Suatu hari, Mamik menyampaikan keinginannya untuk bekerja. Ibunya tak melarang. Menurut ibunya, semua uang hasil jerih payahnya Mamik berikan untuk anaknya.

Tahun demi tahun berganti. Kejiwaan Mamik makin tak stabil. Apa yang ibunya punya—sapi hingga sawah—telah dijual untuk pengobatan Mamik. Bahkan tabungan Mamik saat bekerja sebelum sakit parah juga ludes.

Perempuan Diperlakukan Tidak Adil Sejak Dalam Pikiran

Sebulan sebelum masuk RSJ, aku bertemu Mamik setelah sekitar 25 tahun tak berjumpa. Usai lulus SMA, kami kehilangan kontak. Kami tak sengaja bertemu saat beli sayur. Mamik tak berubah. Ia kalem, suaranya lembut, dan pembawaannya tenang. Aku menepuk bahunya, menyalami, memperkenalkan diri—khawatir dia lupa, lagi pula tubuh dan mukaku saat SMA dan saat ini telah berubah. Aku pun memeluknya.

Senyum Mamik tak berubah. Masih mengembang sepeti SMA dulu. Selesai berbelanja kami pulang bersama. Mamik naik sepeda, aku naik motor. Pertemuan singkat saat itu hanya berisi percakapan, bertukar kabar.

“Kamu sukses ya. Nggak kayak aku. Aku gagal berumah tangga. Sekarang aku sendiri. Anakku tinggal bersama ayahnya.” Ini kalimat yang dikatakan Mamik ke aku.

Seingatku, aku menimpali bahwa Mamik perempuan dan ibu yang hebat. “Tidak ada definisi sukses atau gagal soal hidup. Yang penting kita telah berusaha dan kita sehat-sehat,” kataku.

Aku berjanji untuk menemuinya kembali sebulan kemudian saat pulang kampung. Kami pun berpisah di ujung gang rumahnya.

Baca juga: Puisi, Ruang Nyaman untuk Healing Kesehatan Mental

Tak kusangka, sebulan kemudian saat datang ke rumahnya, Mamik sudah di RSJ. Di rumahnya, aku bertemu sang ibu yang telah renta seorang diri. Suaminya—ayah Mamik—meninggal beberapa tahun kemudian, setelah Mamik lulus SMA. Hingga tulisan ini dimuat, kondisi Mamik masih belum berubah. Ia masih harus keluar masuk RSJ untuk pengobatan.

Hidup di dalam masyarakat dengan budaya patriarki yang kuat tak hanya membuat perempuan tak berdaya. Tetapi sering dikorbankan jiwa raganya. Kasus Mamik mungkin hanya salah satu dari ribuan atau bahkan jutaan kehidupan perempuan yang menjadi korban pandangan dan ucapan yang sudah tidak adil sejak dalam pikiran.

Sadar atau tidak, masih banyak Lina dan Mamik lainnya di luar sana yang harus menghadapi tekanan mental dari ucapan-ucapan yang selama ini dianggap sepele, bahkan dinilai sebagai bentuk ‘kepedulian’. Tapi adakah sesungguhnya ‘peduli’ itu ketika perkataan yang dilontarkan justru menyerang mental perempuan, dengan segala multibeban kehidupannnya, dan bikin kesehatan mentalnya terganggu?

Ada banyak cara lain untuk menunjukkan kepedulian pada perempuan. Mungkin salah satunya bisa dicoba sekarang: lebih menjaga perkataan dan memahami berbagai kondisi yang dialami perempuan.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
‘Kapan Menikah? Gagal Berumah Tangga Itu Salahmu’: Ucapanmu Mengganggu Kesehatan Mental Perempuan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us