‘Kog Kamu Gendut Sih? Wah, Kamu Disable Netra ya?’ Seksisme dan Diskriminasi di BUMN dan Perusahaan

‘kog-kamu-gendut-sih?-wah,-kamu-disable-netra-ya?’-seksisme-dan-diskriminasi-di-bumn-dan-perusahaan
‘Kog Kamu Gendut Sih? Wah, Kamu Disable Netra ya?’ Seksisme dan Diskriminasi di BUMN dan Perusahaan

Edisi Khusus Perempuan Konde.co kali ini menyajikan tentang seksisme dan diskriminasi Lowongan Kerja (Loker) di BUMN dan perusahaan.

Sebuah postingan tentang lowongan kerja di PT Kereta Api Indonesia (KAI) ramai jadi perbincangan di Ada apa Group akhir Juni 2024 lalu.

Lowongan kerja (loker) tersebut diperuntukkan untuk posisi kondektur, operasional, pemeliharaan sarana dan prasarana dan Polsuska. Namun, iklan yang diunggah di media sosial tersebut hanya dihiasi gambar tiga laki-laki yang memakai baju dinas sesuai formasi yang dibuka. Tak ada gambar perempuan untuk posisi umum, padahal loker ini harusnya bisa diakses untuk semua kalangan.

Gambar iklan lowongan kerja PT KAI
Sumber: IG @lokermedanofficialll

Aktivis perempuan, Damairia Pakpahan berkomentar, “Ini KAI masak posisinya cuma untuk laki-laki? Kapan Indonesia maju kalau cuma laki-laki yang direkrut?.”

Grup WA yang terdiri dari para aktivis perempuan itu menanggapi iklan lowongan kerja yang dinilai diskriminatif dan tidak inklusif tersebut. Pasalnya posisi pekerjaan yang dibuka sebenarnya jenis pekerjaan yang bisa dilakukan orang dewasa tanpa memandang jenis kelaminnya. Penggunaan foto tanpa representasi perempuan kemudian menimbulkan persepsi posisi pekerjaan tersebut hanya untuk laki-laki. Jadi orang yang melihatnya bisa berkesimpulan jika lowongan pekerjaan itu hanya dibuka untuk laki-laki.

Kalau kita cek persyaratan loker ini ke website KAI, kita akan mendapatkan penjelasan detail tentang persyaratannya. Untuk posisi kondektur dan polsuska misalnya, hanya diperuntukkan bagi pelamar laki-laki. Sedang posisi operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana terbuka untuk laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Jalan-Jalan Perempuan #2: Bertemu Pekerja Disabilitas, Lansia, Transpuan dan Lihat Keadilan untuk Mereka

Kriteria lain yang menjadi syarat bagi pelamar adalah sehat jasmani dan rohani, lalu ada batasan usia disesuaikan dengan tingkat pendidikan pelamar. Selain itu ada persyaratan tinggi badan minimal untuk tiap formasi. Kriteria lain adalah tidak bertindik bagi laki-laki dan tidak bertato, tidak terlibat narkoba atau psikotropika.

Soal lowongan kerja diskriminatif di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti ini bukanlah yang pertama. Lowongan kerja untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Polri misalnya dalam laman website https://cpns.polri.go.id/menyebutkan jika pelamar mesti orang yang sehat jasmani dan rohani.

Sumber: https://cpns.polri.go.id/

Padahal dalam penyediaan lapangan kerja yang sesuai kemampuan, seperti disebutkan dalam UU Disabilitas sebenarnya sudah disebutkan, dalam pasal 53 ayat (1) UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebut, pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Pasal 53 ayat (2) UU yang sama menyebutkan, perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Seharusnya pemerintah harus memastikan bahwa disable yang bekerja sebanyak 2% dan perusahaan memastikan yang bekerja di perusahaan sebanyak 1%.

Konde.co juga menelusuri sejumlah kasus sejenis yang juga pernah jadi perbincangan publik, seperti lowongan kerja yang diskriminatif atas dasar etnis tertentu yang juga terjadi di sebuah perusahaan.

Contohnya April 2024 lalu, PT Indotama yang berbasis di Solo, membuka lowongan kerja untuk sejumlah posisi. Pada posisi pekerja bagian gudang, perusahaan menetapkan kriteria untuk pelamar adalah laki-laki, dari etnis Tionghoa (Chinese).

Baca juga: The Voice: Kekerasan Pada Perempuan Disabilitas Terjadi di Ruang Isolasi dan Tertutup

Tentu saja iklan loker ini jadi perbincangan warganet di media sosial Instagram dan Facebook. Warganet menanggapi dengan kritikan dan kecaman karena loker ini dinilai diskriminatif. Akun media sosial yang membagikan postingan tersebut @lokersolorayadotcom mengatakan pihaknya hanya membantu membagikan informasi loker tersebut. Tak ada konfirmasi dari PT Indotama terkait protes warganet.

Gambar iklan lowongan kerja PT Indotama
Sumber: IG @lokersolorayadotcom

Contoh lain adalah lowongan kerja yang diskriminatif atas agama tertentu. Ini dilakukan perusahaan logistik dan ekspedisi barang PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir atau JNE pada Desember 2021.

Lowongan pekerjaan tersebut untuk posisi kurir dengan syarat wajib beragama Islam. Iklan tersebut dibuat oleh mitra JNE yakni CV Bangun Banua Lestari, cabang JNE di daerah Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.

Iklan loker tersebut mendapat respons yang cukup luas dari warganet bahkan tagar #BoikotJNE jadi topik yang sedang tren di media sosial Twitter. Setelah ramai tagar tersebut, muncul surat permohonan maaf kepada warga Barito Timur dari perwakilan CV Bangun Banua Lestari (AS).

Baca juga: Listen Include Respect: Bangun Dunia Kerja Inklusif untuk Disabilitas Intelektual

Dalam pernyataannya, AS mengungkapkan, jika iklan loker tersebut tidak berkaitan dengan JNE meski CV Bangun Banua Lestari merupakan mitra JNE.

“Rekrutmen karyawan sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab kami dan tidak ada sangkut paut dengan JNE. Saya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan yang saya lakukan khususnya kepada warga Barito Timur,” ujarnya.

AS menambahkan, kejadian tersebut terjadi karena miskomunikasi diantara tim CV Banua Bangun Lestari dan tindakan salah yang terjadi di luar kesadarannya. Selain itu tidak ada niat untuk menyebarluaskannya.

Sementara dalam klarifikasi lewat akun media sosialnya, JNE mengatakan kejadian tersebut sudah melanggar standar operasional prosedur (SOP) dan nilai-nilai perusahaan. JNE memberikan sanksi pemutusan hubungan kerja sama dengan mitra yang melanggar ketentuan. Selain itu karyawan yang terkait dengan kasus ini dipecat.

Gambar: iklan lowongan kerja PT JNE
Sumber: Twitter

Masih di bulan yang sama, hal serupa dilakukan PT J&T Express Indonesia lewat anak cabangnya. PT Jetindo Nagasakti Trans Ekspress Medan, cabang J&T membuka lowongan kerja untuk posisi admin perpajakan. Salah satu kriteria dalam persyaratan adalah diutamakan non muslim. Sama seperti kasus yang dialami JNE, warganet mengecam iklan lowongan kerja tersebut. Tagar #BoikotJNT juga muncul di Twitter meski tak seramai yang terjadi pada JNE.

Lewat akun media sosialnya, J&T mengatakan manajemen J&T Express sudah melakukan penelusuran kepada cabang terkait. Tindakan cabang tersebut menyalahi aturan karena tidak ada prosedur SOP perekrutan dengan poin pertimbangan suku, agama, ras dan antargolongan.

Baca juga: Survei: Perempuan, AnehDisabilitas Lebih Rentan Jadi Korban Kekerasan di Dunia Kerja

“Informasi lowongan ini tentunya sudah menyalahi aturan yang ada dan manajemen telah memberikan teguran serta sanksi tegas kepada area terkait. Hal ini menjadi evaluasi bagi manajemen untuk memastikan penerapan SOP rekrutmen di seluruh cabang J&T Express Indonesia dapat dijalankan dengan baik.”

Gambar: iklan lowongan kerja PT J&T
Sumber: Twitter

Soal diskriminasi usia dalam rekrutmen atau iklan lowongan kerja juga sempat jadi perbincangan warganet di media sosial akhir 2023.

Dipicu oleh video lama seorang selebgram yang biasa disapa Bunda Corla yang mengkritik pembatasan usia dalam lowongan kerja di Indonesia jika dibandingkan dengan kondisi di Jerman, negara tempat dia tinggal sekarang. Di sana pemberi kerja tidak memakai kriteria batas usia bagi para pelamar kerja. Bunda Corla sendiri saat ini bekerja sebagai staf di sebuah restoran cepat saji dengan usia di atas 40 tahun.

Video tersebut mendapat banyak respons dari warganet karena mereka merasa terhubung. Ini lantaran di Indonesia lowongan kerja sering menetapkan batasan usia maksimal bagi pelamar. Batasan usia tersebut terhitung sangat muda, biasanya di kisaran 30 tahun. Bahkan belakangan beberapa lowongan kerja menetapkan batasan usia menjadi 25 tahun.

Contohnya kita bisa lihat lowongan kerja PT KAI, mereka menetapkan batas usia minimal dan maksimal untuk tiap tingkat pendidikan. Untuk tingkat pendidikan SLTA batas usia maksimalnya 25 tahun sementara untuk kategori pendidikan D4/S1 batas usia maksimalnya 30 tahun. Kondisi ini dianggap merugikan karena seperti menutup kesempatan bagi orang-orang yang berusia di atas 30 tahun untuk mendapatkan pekerjaan. Sementara mereka, seperti juga warga yang lain, butuh pekerjaan.

Konde.co menghubungi Vice President Public Relations PT KAI, Anne Purba untuk mengonfirmasi soal diskriminasi pada perempuan dan pembatasan usia dalam pengumuman loker mereka. Namun sampai berita ini diturunkan pertanyaan Konde.co belum ditanggapi.

Leonardo Gugat MA Karena Diskriminasi Loker

Fenomena maraknya perusahaan menetapkan batasan usia dalam lowongan kerja ini mendorong seorang warga bernama Leonardo Olefins Hamonangan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.

Leonardo menggugat pasal 35 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Gugatan tersebut didasari keinginan agar tidak ada batasan usia pelamar kerja dalam lowongan pekerjaan.

Menurut Leonardo, pasal yang diuji membuka pintu bagi potensi diskriminasi. Ini lantaran pemberi kerja dapat memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan dan diskriminatif, seperti usia, jenis kelamin, agama atau etnis

“Pemohon meyakinkan bahwa pasal tersebut telah menimbulkan banyak sekali perusahaan di Indonesia menetapkan persyaratan pekerjaan yang menghambat Pemohon memperoleh pekerjaan seperti misalnya pengalaman kerja maupun adanya batas usia minimal melamar pekerjaan yang disyaratkan,” ujar Leonardo di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh pada Selasa (5/3/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta seperti tertulis dalam laman website Mahkamah Konstitusi mkri.id

Pasal 35 ayat (1) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.” Pemohon menilai norma ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Baca juga: Hari Buruh: Jika Daycare Jumlahnya Minim, di Mana Buruh Bisa Titipkan Anaknya Ketika Kerja?

Selanjutnya, Pemohon Perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 tersebut menjelaskan, berlakunya pasal tersebut menimbulkan banyaknya perusahaan di Indonesia menetapkan persyaratan pekerjaan yang menghambat pemohon memperoleh pekerjaan seperti pengalaman kerja maupun adanya batas usia minimal melamar pekerjaan yang disyaratkan. Pemohon menyinggung soal normalisasi diskriminasi usia (ageism).

Di lapangan kerja, aturan ageism paling banyak dirasakan para pekerja perempuan, khususnya bagi mereka yang memutuskan untuk mengambil cuti untuk menikah, hamil melahirkan, dan mengurus anak. Keputusan tersebut dapat mempersulit para wanita yang ingin kembali berkarir karena tidak jarang usia mereka sudah melewati batas yang disyaratkan dalam lowongan pekerjaan.

Berbagai negara telah melarang praktik ageism di tempat kerja. Larangan ini didasari pemahaman bahwa usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk dan seringkali tidak berhubungan dengan kemampuan kerja. Bisa tidaknya seseorang bekerja di suatu posisi seharusnya berdasarkan pada kompetensi, kualifikasi, dan keterampilan yang dimiliki orang tersebut. Masalahnya, di Indonesia, pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Maraknya diskriminasi yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah dalam perekrutan tenaga kerja lewat kriteria tertentu seolah-olah jadi hal yang jamak. Contoh-contoh di atas bisa dibilang hanya sebagian saja karena kasus-kasus tersebut kebetulan terekspos oleh warganet. Bisa jadi ada kasus-kasus lain yang tidak terangkat.

Tidak Gendut dan Menarik Jadi Prioritas

Konde.co juga menemui sejumlah perempuan disabilitas dan non disabilitas yang bercerita tentang pengalaman mereka ketika melamar kerja.

Saya menemui Mahretta Maha, disabilitas netra; Elsa (nama samaran), disabi litas fisik, Hanum, disabilitas intelektual; Lily, disabilitas mental, dan Naura, seorang Tuli. Serta seorang perempuan non disabilitas, Bintang (bukan nama sebenarnya).

Bintang (bukan nama sebenarnya) baru lulus kuliah. Ia sudah bekerja di sebuah lembaga bantuan hukum, tapi ia ingin mencari pengalaman baru.

Berbekal informasi lowongan kerja sebagai peneliti/peneliti di sebuah perusahaan media yang ia dapat dari platform jaringan profesional, Bintang mengirim berkas lamaran. Sejumlah tes sudah berhasil ia lewati hingga akhirnya ia dipanggil untuk mengikuti wawancara.

Di hari yang ditentukan di bulan Maret 2022, Bintang datang ke kantor media tersebut. Ketika tiba gilirannya untuk diwawancara, ia masuk ke ruangan dan di dalam sudah menunggu tiga orang pewawancara. Yakni dua orang dari bagian HRD perusahaan yang terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan dan satu orang penggunalaki-laki.

Baca juga: Curhat Pekerja: Capeknya Kerja Sambil Berdiri, Gak Berani ke Toilet, Kena Paku Heels

Awalnya wawancara berjalan dengan lancar, hingga kemudian pewawancara laki-laki dari bagian HRD perusahaan melontarkan pernyataan mengomentari tubuhnya.

“Kok gendut!” katanya.

Bintang kaget, ia lalu bertanya, “Mohon maaf, maksud bapak apa?”

“Mustahil. Tapi maaf bu, sepertinya ibu tidak bisa diterima di tempat kami” jawab pewawancara.

“Mengapa demikian, Tuan?” Bintang balik bertanya.

“Mohon maaf mbak, menurut kami mbak tidak cocok karena mbak terlalu gendut,” kata pewawancara.

“Di loker tidak ada lho tulisannya berpenampilan menarik, pak,” sanggah Bintang.

“Tetap saja nggak bisa di tempat kami begini,” dia berkata.

Sambil menunjuk pewawancara perempuan di sebelahnya, ia menambahkan, “Mbak harusnya bisa seperti mbak yang ini.”

“Oke berarti bapak tidak membutuhkan saya,” kata Bintang.

Wawancara hari itu berakhir dengan menyisakan perasaan tersinggung pada diri Bintang. Tanpa basa-basi, pewawancara itu menilai kondisi tubuhnya. Ia menuturkan saat itu dirinya baru lulus kuliah dan mengalami kelebihan berat badan. Saat itu berat badannya lebih dari 90 kg. Buat Bintang, kondisi ini memang mengkhawatirkan karena akan berpengaruh terhadap kesehatannya.

Sementara saat wawancara tersebut Bintang merasa ia seperti susah bernafas karena posisi duduknya tegak dan merasa tegang. Dari situ Bintang melihat pewawancara tersebut mau mengatakan sesuatu tapi yang dia tangkap adalah pewawancara itu mengomentari bentuk tubuhnya.

“Aku agak kaget karena sebenarnya yang mereka lihat adalah berpenampilan menariknya daripada keahliannya,” tutur Bintang.

Pengalaman ini membuat Bintang jadi lebih selektif ketika akan melamar kerja. Menurutnya proses filtering jadi penting untuk melihat perusahaan yang bodong, yang lebih mengutamakan penampilan daripada kapasitas pelamar.

Ditolak Bekerja Karena Disabilitas

Mengalami penolakan saat melamar kerja karena disabilitas sering dialami oleh para penyandang disabilitas.

Mahretta Maha mengaku ia sering mendapatkan penolakan. Ketika tahap wawancara dan pemberi kerja tahu kalau Retta seorang disabilitas netra, biasanya ada saja alasan yang disampaikan untuk menolak Retta.

“Sering sih kalau ditolak karena tuna netra. Dulu waktu saya masih sering menerapkan (lamar) kerjaan, mungkin secara administrasi saya lolos. Tapi ketika mereka tahu saya disabilitas netra, mereka langsung jawab begini,‘oh maaf sepertinya kami salah, tidak membaca dengan teliti,’ dan seterusnya. Itu sering banget sih,” tutur Retta yang juga Sekretaris Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).

Kadang pemberi kerja memberi alasan mereka belum siap, atau tidak tahu harus menempatkan pelamar netra di bagian apa. Ada juga perusahaan yang keberatan untuk menyiapkan komputer dengan pembaca layar dan sebagainya.

Pengalaman penolakan juga pernah ia rasakan ketika melamar kerja di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Lowongan kerja yang dibuka ketika itu memang diperuntukkan bagi disabilitas. Retta dinyatakan lolos, tapi saat dihubungi ia justru mendapat diskriminasi.

“Ketika saya dihubungi saya malah ditanya, ‘Butanya satu atau dua?’ Padahal kan sebenarnya yang disebut disabilitas netra harusnya dua-duanya. Kalau matanya hanya tidak bisa melihat sebelah saja sementara yang lainnya masih bisa melihat, maka belum disebut disabilitas,” papar Retta.

Baca juga: Persaingan Sengit, Kualifikasi Selangit: Gen Z Makin Sulit Dapat Kerja?

Pengalaman serupa juga dirasakan Lily, seorang disabilitas mental. Menurutnya, pandangan mereka tentang disabilitas mental belum inklusif, berbeda dengan disabilitas daksa yang sudah terinklusi. Lily pernah punya pengalaman melamar kerja untuk posisi staf administrasi. Ia mengikuti proses perekrutannya hingga tahap wawancara. Di tahap tersebut Lily mengaku kalau ia seorang disabilitas mental. Setelah itu ia diinformasikan untuk menunggu dalam tiga hari. Namun tidak ada kabar lebih lanjut.

Lily juga mengungkapkan adanya batasan usia yang sering dicantumkan pemberi kerja juga jadi kendala tersendiri. Ini menyebabkan kesempatan untuk bisa mendapat pekerjaan makin kompetitif.

“Ada batasan umur juga sih yang menyebabkan sulitnya mendapatkan pekerjaan,” ujar Lily.

Kondisi serupa juga dialami Hanum, seorang disabilitas intelektual. Hanum pernah bekerja sebagai pendamping bagi anak disabilitas intelektual di SLB di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur. Pada Juni 2024 lalu dia berhenti bekerja dan sekarang membuka usaha dengan bantuan modal dari Badan Amil Zakat Nasional. Sebelumnya dia pernah mencoba melamar di BUMN seperti KAI dan beberapa perusahaan, tapi belum pernah berhasil. Hanum melamar kerja lewat proses wawancara langsungtapi ditolak.

“Saya selalu ditolak karena mereka melihat saya itu orang dengan disabilitas bukan seperti orang normal gitu, makanya ditolak,” tutur Hanum.

Saat mengikuti proses wawancara langsung di perusahaan pakaian dari Jepang, Hanum boleh ditemani oleh pendamping hingga proses wawancara. Setelah wawancara ia diminta untuk menunggu kabar dalam beberapa hari, tapi ternyata tidak ada panggilan lagi.

Baca juga: ONNI House: Kafe Inklusif Pekerjakan Orang dengan Sindrom Down

“Setelah wawancara katanya menunggu tiga hari atau sebulan. Kalau tidak dapat panggilan berarti itu tidak rezeki, katanya gitu,” ungkap Hanum.

Hanum tak sendiri, pengalaman serupa juga dirasakan Naura, seorang disabilitas rungu. Ia sudah mencoba melamar pekerjaan di banyak perusahaan, tapi hasilnya nihil. Saya berbincang dengan Naura didampingi oleh ibunya yang menjadi penerjemah.

Naura sudah banyak mengirim lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan umum. Saat wawancara yang berlangsung secara online, dan perusahaan tahu kondisi Naura, biasanya setelah itu tidak ada kabar lagi.

“Sering kali dia melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang umum gitu. Tapi setelah tahu dia tuna rungu, nggak bisa lanjut,” tutur ibunya.

Padahal Naura pernah punya pengalaman kerja. Dia pernah mengikuti semacam training kerja dan bekerja di bagian akuntan di sebuah hotel.

“Dulu dia udah pernah dicoba tuh selama beberapa bulan gitu di bagian akuntansi di salah satu hotel di Jakarta Pusat. Dalam waktu dua minggu itu dia udah bisa ngikutin loh,” ujar sang ibu.

Naura sempat bekerja sekitar 6 hingga 7 bulan. Namun karena hotel ada renovasi dan kemudian ada perampingan tenaga kerja, Naura tidak lagi bekerja di sana. Selama bekerja Naura tidak mengalami hambatan. Kebetulan ayahnya juga bekerja di hotel tersebut.

Baca juga: Fatum Ade: Wahai Presiden Baru, Isu Disabilitas Mental Bukan ‘Objek Jualan Politik’

Pada disabilitas fisik, kondisinya sedikit berbeda. Elsa (bukan nama sebenarnya), seorang disabilitas fisik menuturkan beberapa lowongan kerja untuk disabilitas fisik biasanya hanya berlaku bagi disabilitas fisik yang tidak memakai alat bantu.

“Biasanya perusahaan-perusahaan itu membuka lowongan pekerjaan untuk teman-teman disabilitas fisik tapi kayak membatasi. Jadi hanya untuk teman-teman disabilitas fisik yang tidak menggunakan alat bantu. Jadi kayak teman-teman yang pakai kursi roda, pakai tongkat atau kruk itu nggak bisa mendaftar,” papar Elsa.

Menurutnya ini kemungkinan karena perusahaan punya keterbatasan dari segi fasilitas dan infrastruktur atau perusahaan tidak mau menyediakan.

Sementara ketika teman-teman disabilitas fisik diterima bekerja, baik di perusahaan maupun di lembaga pemerintah, mereka masih menghadapi hambatan dan diskriminasi. Elsa menuturkan diskriminasi yang dihadapi antara lain mereka harus menyesuaikan dengan fasilitas dan infrastruktur yang ada.

“Mungkin diskriminasinya lebih kayak aku yang disabilitas ini yang harus menyesuaikan dengan fasilitas atau infrastruktur yang ada di kantor. Jadi kayak lereng– belum cocok, jadi tidak akan berfungsi walaupun ada lereng tapi kami tetap harus dibantu. Atau sudah ada toilet disabilitas, tapi nggak terlalu sesuai standar dari Permen PU dan desain universal, misalnya seperti itu,” kata Elsa.

Lereng adalah jalur pengganti anak tangga yang punya bidang dengan lebar dan kemiringan tertentu. Lereng dipakai sebagai akses alternatif untuk memudahkan mobilitas bagi yang tidak bisa menggunakan tangga, khususnya pemakai kursi roda baik di luar maupun di dalam bangunan.

Pada disabilitas fisik yang tidak menggunakan alat bantu, ketika diterima bekerja juga menghadapi diskriminasi. Seperti tidak dilibatkan dan diajak berpartisipasi, tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat atau masukan, dan sebagainya.

Sejak Proses Mencari Hingga Wawancara, Disabilitas Terdiskriminasi

Orang dengan disabilitas mengalami diskriminasi sejak awal mulai dari ketika mengakses informasi hingga tahap wawancara.

Disabilitas netra mengalami kendala terutama saat mereka mesti mengirim lamaran kerja secara online. Pasalnya seringkali tautan untuk mengirim aplikasi lamaran kerja tidak ramah untuk disabilitas netra.

“Biasanya tautan-nya ini nggak akses, nggak ramah, karena kami tuna netra itu kan menggunakan pembaca layar atau pembaca layar. Nah ini yang sering kita jadi terkendala,” ungkap Retta.

Ketika tahap psikotes, disabilitas netra juga mengalami kesulitan lantaran belum ada psikotes yang sudah dimodifikasi untuk disabilitas netra. Tak jarang ada juga perusahaan yang mensyaratkan surat keterangan sehat jasmani dan rohani. Menurut Retta persyaratan ini menghambat karena masih ada anggapan disabilitas netra dan disabilitas lain tidak termasuk dalam kategori sehat jasmani.

Ia menambahkan mungkin bagi perusahaan-perusahaan tertentu keterangan sehat jasmani dan rohani bukan untuk merujuk pada disabilitas. Sayangnya pemahaman bahwa disabilitas bukan berarti dalam kondisi sakit belum jadi kesadaran banyak orang.

“Dalam praktiknya di lapangan, orang-orang yang nggak paham akan memaknai disabilitas itu sebagai tidak sehat jasmani. Atau dianggap dalam kondisi sakit padahal sebenarnya kita nggak sakit. Emang kita nggak bisa lihat, tapi kan kita sehat, nggak ada penyakit apapun. Ini yang suka dimaknai berbeda atau salah oleh orang-orang,” ujar Sekretaris Umum HWDI tersebut.

“Anggapan bahwa disabilitas itu adalah kondisi sakit, ini sangat kita tolak. Makanya kita bilang bisa nggak sih sebenarnya nggak perlu ada surat keterangan sehat jasmani dan rohani? Atau kalau misalnya mau dibuat dalam bentuk lain terserah, tapi tidak begini. Karena ini sering sekali menghambat teman-teman disabilitas apapun ragam disabilitas nya,” tambahnya.

Sementara di tahap wawancara, dari pengalaman Retta tidak ada hambatan yang cukup berarti kalau tim pewawancara punya pemahaman yang baik. Jadi mereka tidak akan mengajukan pertanyaan dengan memakai alat bantu gambar misalnya. Atau meminta pelamar untuk menulis agar bisa menilai berdasarkan hasil tulisan tangannya.

Baca juga: Yuk, Pe kerjakan Penyandang Disabilitas: Ini Penting Buat Perusahaan Agar Inklusif

Retta menambahkan kadang pemberi kerja kaget dan bingung ketika pelamar kerja adalah orang dengan disabilitas. Mereka tidak tahu mesti menempatkan pelamar netra di bagian apa, seakan-akan tidak ada satupun pekerjaan yang bisa mereka lakukan.

Biasanya tim pewawancara juga akan bertanya bagaimana cara komunikasi disabilitas netra. Padahal menurut Retta disabilitas netra tidak ada hambatan dalam berkomunikasi. Mereka tidak menghadapi kendala kalau untuk berkomunikasi secara verbal. Mereka akan kesulitan ketika misalnya disuruh masuk ke ruangan tapi tidak ada yang menuntun sementara mereka tidak mengajak pendamping.

Sementara untuk rekrutmen disabilitas di BUMN, beberapa tahun terakhir BUMN melibatkan pihak ketiga dalam prosesnya. Elsa menuturkan dalam proses rekrutmen tersebut, para penyandang disable diminta mengirimkan lamaran dan CV.

Namun mereka tidak bisa menentukan sendiri perusahaan yang akan mereka tuju sesuai kemauan mereka. Pasalnya perusahaan ketenagakerjaan disabilitas tersebut yang akan melakukan campur dan cocokkan antara pencari kerja dengan perusahaan pemberi kerja.

Proses rekrutmen seperti ini menurut Elsa tidak ramah bagi disabilitas. Keputusan memilih melamar kerja di suatu perusahaan didasari sejumlah pertimbangan mulai dari kesukaan, kesamaan visi misi, hingga jarak lokasi dari rumah. Karena itu ketika teman-teman disabilitas tidak bisa memilih sendiri perusahaan yang dituju untuk melamar ada sejumlah konsekuensi yang harus mereka tanggung.

“Seharusnya teman-teman bisa lebih bebas mau mendaftar dimana, bisa menyesuaikan sendiri. Mungkin ada hal-hal yang jadi pertimbangan teman-teman disabilitas untuk menerapkan atau melamar di suatu perusahaan. Kalau misalnya di-campur dan cocokkan dari perusahaan ketenagakerjaan, mereka tidak bisa memilih, tapi langsung diminta ikut seleksi atau wawancaranya” tuturnya.

Hal lain yang dirasakan teman-teman disabilitas adalah proses ini membuat informasi penerimaan rekrutmen BUMN jadi kurang tersebar luas.

Jadi Protektif Alih-Alih Korektif

Dalam pandangan Lidwina Inge Nurtjahyo, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam 30 tahun terakhir bisa dibilang tidak ada hal yang berubah. Ada klasifikasi berdasarkan usia, kemudian berdasarkan gender ditambah lagi klasifikasi fisik. Seperti ukuran tubuh atau penampilan menarik yang sifatnya sangat tergantung selera seseorang. Belum lagi kemudian berdasarkan orientasi seksual.

Terkait lowongan kerja PT KAI, Inge menduga perusahaan BUMN tersebut memakai pendekatan protektif alih-alih pendekatan korektif. Pasalnya dari pengamatan Inge ketika menghadapi kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami baik oleh penumpang maupun pekerjanya, respons perusahaan tersebut bisa dibilang cukup responsif dan serius. Mereka membuat regulasi yang cepat tanggap terhadap pelecehan seksual.

“Saya melihatnya ini bertolak belakang. Di satu sisi mereka bikin regulasi yang sangat cepat tanggap terhadap pelecehan seksual di dalam kereta baik kereta komuter maupun kereta jarak jauh. Tapi di sisi lain kok mereka masih seksis untuk ruang kerjanya,” jelas Inge.

Jadi masih ada pekerjaan rumah terkait perubahan perspektif dan relasi kuasa di tempat kerja. Inge menduga hal ini yang menyebabkan mereka menerapkan kebijakan protektif alih-alih korektif dalam proses perekrutan kerja. Seperti terlihat dalam iklan lowongan kerja tersebut. Sehingga masih ada seksisme dalam ruang kerja.

Baca juga: Problem Perempuan Pekerja Film: Over Work, Standar Kerja Jauh dari Impian

Inge menjelaskan perspektif atau cara pandang ini juga yang menempatkan perempuan, orang dengan disabilitas dan keberagaman gender sebagai kelas ke sekian. Perspektif ini tetap melekat termasuk juga di perusahaan-perusahaan baik itu BUMN maupun perusahaan swasta.

Jadi ketika misalnya pilihannya adalah perempuan atau laki-laki, di konteks perusahaan swasta pertanyaan yang muncul adalah untuk posisi apa? Sementara di lembaga pemerintah, untuk proses penerimaan sudah cukup terbuka untuk pekerja perempuan. Namun ketika proses promosi biasanya baru muncul persoalan.

Pada perusahaan swasta, dari awal penerimaan pelamar perempuan dipandang sebagai masalah karena akan berurusan dengan cuti haid dan cuti kehamilan. Inilah yang memunculkan keengganan di kalangan perusahaan swasta untuk merekrut pekerja perempuan. Kalaupun mereka merekrut perempuan maka akan dilihat klasifikasi pekerjaannya. Sedangkan di BUMN aspek fisik seperti penampilan menarik jadi pertimbangan.

Hal lain adalah asuransi bagi pekerja perempuan cenderung terbatas. Perusahaan biasanya akan mematok jenis-jenis penyakit yang ditanggung. Mereka tidak mau menanggung masalah kesehatan perempuan yang berkaitan dengan gangguan kehamilan, gangguan melahirkan atau mioma. Alasannya biaya untuk perawatan gangguan tersebut tidak bisa diukur atau diperkirakan pengeluarannya.

Sementara kalau bicara soal aturan, sudah ada sejumlah peraturan yang menjamin agar tidak ada diskriminasi di lingkungan kerja. Mulai dari CEDAW, UU Ketenagakerjaan, UU Disabiltas, Peraturan Pemerintah tentang Unit Layanan Disabilitas hingga Pedoman ILO tentang disabilitas di dunia kerja. Di sisi lain ada juga sejumlah upaya lewat jalur hukum untuk menggugat aturan yang diskriminatif atau berpotensi diskriminatif.

Baca juga: Aktivis: Dear Pemerintah, Perjuangkan Anti Diskriminasi Pada Disabilitas dan LGBT di Sidang HAM Jenewa

Inge memaparkan salah satu kasus yang fenomenal adalah gugatan pramugari maskapai BUMN terhadap perusahaan tempat mereka bekerja pada 2003. Salah satu pramugari yang mengajukan tuntutan adalah Brahmanie Hastawati. Para pramugari menuntut penghapusan diskriminasi di tempat kerja lantaran BUMN penerbangan tersebut memberlakukan kebijakan yang tidak adil terhadap pekerja perempuan. Seperti perbedaan usia pensiun antara pramugari dengan pramugara, persyaratan fisik yang hanya diberlakukan pada pramugari serta tidak ada cuti haid dan pengaturan kehamilan. Kasus ini dimenangkan para pramugari di tingkat pengadilan pertama.

Kasus-kasus tempat bersejarah semacam ini menurut Inge bisa memberi pencerahan pada masyarakat bahwa ada yang salah dengan cara pandang yang selama ini berlaku. Persoalannya kemudian adalah apakah pembuat kebijakan mau berubah?

“Tapi kemudian apakah ‘bel’ yang bunyinya kecil-kecil ini kemudian dibaca oleh pembuat kebijakan sebagai satu peringatan dan diterima dengan terbuka sehingga kemudian mengubah cara berpikir mereka. Masalahnya tidak semua orang mau mengakui bahwa rupanya selama ini kita kelupaan. Kadang-kadang orang malah jadi resisten,” paparnya.

Karena itu Inge menambahkan meskipun kita sudah punya regulasi, apakah regulasi ini sudah diedukasi ke masyarakat? Edukasi ini tidak hanya bicara pasal-pasal saja tapi juga misalnya menyangkut perubahan cara pandang dalam melihat teman-teman disabilitas. Bahwa teman-teman disabilitas juga mampu untuk melakukan pekerjaan dan mereka ada di sekitar kita.

Kisah Sukses di Wonogiri

Kisah sukses tentang penerimaan pekerja penyandang disable ketika bekerja di perusahaan sebenarnya terjadi di Wonogiri.

Ketua Perkumpulan Sehati, Edy Supriyanto dan Wiyanto, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kabupaten Wonogiri dalam Dialog Nasional yang diadakan indonesiainklusi.id 4 Juni 2024 di Erasmus Huis Jakarta yang diikuti Konde.co menyebut, bahwa kuncinya adalah kerjasama dan keinginan untuk mengubah keadaan. Karena jika tidak ada keinginan untuk mengubah sesuatu, tidak akan bisa.

“Kuncinya adalah keinginan bekerjasama untuk mengubah keadaan dari kedua belah pihak, perusahaan dan pemerintah, jika hanya ada satu yang ingin berubah, yang lain tidak, ini akan sulit,” kata Edy Supriyanto

Reporter Konde.co, Fiona Wiputri yang pernah melakukan peliputan di Wonogiri, Jawa Tengah pada awal Juli 2023 mendapatkan data, dua perusahaan di Wonogiri, yaitu Rumah Sakit Amal Sehat dan PT Top and Top Apparel sudah mempekerjakan kelompok disabilitas sesuai dengan peraturan kuota 1%.

Rumah Sakit Amal Sehat di Ngerjopuro, Slogohimo, misalnya, telah mengisi 9 atau setara 3,12%. Pekerjaannya meliputi pramuhusada, admin radiologi, parkir, staf pramusaji, dan sebagainya.

Pekerja dengan disabilitas di sini beragam, seperti defisiensi mata, disabilitas rungu, strabismus, atau kaki pengkor. Rumah sakit ini masih menyatukan disabilitas mental dan intelektual dalam satu kata dismen.

Direktur rumah sakit syariat ini, dr. Rizky Mukti Sejati, bercerita bahwa pada awalnya mereka mempekerjakan orang dengan disabilitas secara tidak sengaja. Pada suatu pertemuan, ada pekerja yang selalu menunggu sampai sesi akhir untuk bertanya, yang ternyata adalah disabilitas rungu.

Baca juga: Boro-boro THR, Kekerasan Seksual dan Gaji Layak Masih Jadi Ancaman Pekerja Lepas

Semenjak itu, perlahan mereka mengubah perusahaan menjadi lebih inklusif dengan mempertimbangkan orang dengan disabilitas untuk bekerja juga.

Pekerja yang memiliki kesulitan dalam mobilitas akan diberi pekerjaan di level bangunan bawah. Mereka juga memberikan akses tempat parkir yang memadai. Namun, rumah sakit ini juga dinilai masih banyak PR-nya.

Edy Supriyanto menjelaskan bahwa masih banyak fasilitas yang bisa dikembangkan di dalam rumah sakit. Misalnya, penambahan handle di kiri kanan tangga, dengan anggapan bahwa ada juga orang dengan disabilitas yang mungkin akan kesulitan karena lebih mengandalkan tangan kanannya.

Pada kenyataannya, masih banyak perusahaan yang tidak menerapkan aturan kuota 1% ini. Bahkan, untuk sekelas perusahaan negara juga masih ada yang belum menerapkan aturan kuota 2%. Sebab, belum ada aturan jelas yang menerangkan soal sanksi pada ketidaktaatan ini. Menurut Edy, menjadikan tempat kerja yang inklusif adalah suatu “investasi” jangka panjang.

Ketidakseriusan negara dalam menjerat hukuman bagi pihak perusahaan yang tidak menaati aturan menjadi problem besar bagi kelompok rentan. Mereka mengalami berbagai masalah struktural, misalnya kemiskinan yang merajalela, sulitnya mereka untuk bersekolah tinggi, dan mendapatkan pekerjaan.

Langkah awal yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah menghapus syarat diskriminatif pada orang dengan disabilitas dalam lembaran lamaran kerja. Selain “Sehat jasmani dan rohani”, poin yang mengharuskan seseorang lulus sarjana atau sekolah tinggi juga diskriminatif untuk orang dengan disabilitas.

Baca juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Sosialis, Kapitalisme dan Ketidaksetaraan Gender Adalah Titik Opresi Perempuan

Lalu, dalam proses rekrutmen, perusahaan sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, juga tidak membuat tes yang menguji berdasarkan kecepatan dan ketepatan pelamarnya. Sebab, ini akan sulit bagi orang dengan disabilitas intelektual yang memiliki keterbatasan secara kognitif.

Setelah menerima orang dengan disabilitas intelektual, hargai hak mereka layaknya pekerja lain. Benefit yang mereka terima, seperti gaji atau jaminan sosial, sebaiknya setara dengan pekerja lainnya. Terlebih lagi, mereka masih kesulitan di tengah kondisi negara yang belum sepenuhnya menghargai hak hidup mereka.

Perusahaan juga perlu ambil andil membuat standar operasional prosedur (SOP) terkait pencegahan dan penanganan tentang kekerasan serta diskriminasi dalam ruang lingkup kerja. Dengan begitu, setiap pekerja, terlepas dari identitasnya, akan dapat merasa aman selama bekerja. Selain itu, sediakan juga pelatihan dan asesmen demi pengembangan kapasitas pekerja, termasuk juga yang dengan disabilitas.

Orang dengan disabilitas membutuhkan pendamping personal selama ia bekerja untuk menghindari risiko terjadinya eksklusivitas dalam tempat kerja. Karakteristik pendamping seharusnya suportif, peduli, memberikan ia waktu berbicara, dapat dipercaya, punya pengalaman atau pengetahuan terkait disabilitas yang dimiliki, sabar, dan mampu menjadi penengah jika dibutuhkan.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
‘Kog Kamu Gendut Sih? Wah, Kamu Disable Netra ya?’ Seksisme dan Diskriminasi di BUMN dan Perusahaan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us