Meneropong Hilal RUU Masyarakat Adat dari Lensa Perempuan Adat

meneropong-hilal-ruu-masyarakat-adat-dari-lensa-perempuan-adat
Meneropong Hilal RUU Masyarakat Adat dari Lensa Perempuan Adat

Masyarakat Adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki sistem sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang khas serta secara turun temurun hidup di suatu wilayah tertentu. Mereka memiliki hubungan erat dengan tanah dan sumber daya alam yang ada di wilayahnya.

Keberadaan mereka sering kali terpinggirkan oleh berbagai kebijakan yang tidak mengakomodasi hak-hak mereka secara adil. Meskipun telah ada upaya dari berbagai pihak untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, tantangan yang dihadapi sangatlah muskil.

Perjuangan Masyarakat Adat dalam mendapatkan haknya sering kali terkendala oleh kurang atau lemahnya pengakuan hukum dan perlindungan dari negara. Tanah dan wilayah adat yang menjadi sumber kehidupan dan identitas mereka sering kali dirampas oleh pihak-pihak luar, baik perusahaan swasta maupun pemerintah. Hal ini berdampak pada hilangnya sumber mata pencaharian, kerusakan lingkungan, hingga hilangnya warisan budaya.

Perempuan dalam Masyarakat Adat menghadapi kerentanan yang lebih besar. Mereka memainkan peran penting dalam mengelola wilayah, mengembangkan pengetahuan, dan mengambil keputusan, tetapi hak dan otoritasnya sering kali tidak diakui secara adil. Dalam kondisi seperti ini, Masyarakat Adat, terutama perempuan, terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka.

Mendorong Hak Kolektif yang Inklusif

Masyarakat sering kali dipandang sebagai satu entitas yang monolitik. Sementara itu pada kenyataannya, Masyarakat Adat terdiri dari berbagai kelompok dengan kepentingan yang berbeda-beda terkait wilayah adat mereka.

“Ketika berbicara tentang masyarakat, kita sering melihatnya hanya pada satu lapis saja, yaitu masyarakat adat sebagai satu entitas tunggal. Padahal, di dalam masyarakat adat sendiri terdapat berbagai kelompok dengan berbagai kepentingan atas wilayah adat tersebut,” kata Devi Anggraini, Ketua Perempuan AMAN.

Hal ini mencerminkan kompleksitas yang ada di masyarakat adat, termasuk perihal hak kolektif yang melibatkan berbagai kelompok di dalamnya. Pendekatan ini menggarisbawahi bahwa perbedaan antar masyarakat adat, seperti misalnya praktik kepercayaan memengaruhi cara mereka memahami dan memanfaatkan ruang dalam wilayah adat. Hal ini menunjukkan bahwa Masyarakat Adat bukanlah entitas homogen, melainkan kelompok beragam dengan dinamika internal yang kompleks.

“Tidak semua bagian dalam masyarakat adat mempraktikkan kepercayaan atau agama leluhur. Hal ini menunjukkan bagaimana praktik-praktik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok di dalam masyarakat adat berdampak pada pemaknaan atas fungsi ruang,” jelas Devi.

Perempuan dalam Masyarakat Adat memainkan peran penting dalam mengelola wilayah, mengembangkan pengetahuan, dan mengambil keputusan. Namun, sering kali nasib mereka diabaikan dalam diskusi-diskusi konvensional tentang hak-hak perempuan.

Baca Juga: Deurbanisasi dan Kekuatan Perempuan Desa Datah Dian: Revolusi Tenang dari Pedesaan

Devi juga menggarisbawahi pentingnya melihat secara interseksional isu perempuan Masyarakat Adat. Pemangku kebijakan dan masyarakat perlu melihat perbedaan perempuan adat dan perempuan lainnya dengan kacamata yang lebih jernih.

“Banyak sekali pertanyaan yang muncul, mengapa harus berbeda antara perempuan adat dengan perempuan lainnya, dan apa bedanya? Ada tiga hal utama: bicara soal wilayah kelola perempuan adat, kedua soal pengetahuan yang dipraktekkan, dikembangkan, dan diteruskan kepada generasi berikutnya, dan yang ketiga adalah soal otoritas. Ketika bicara soal otoritas, itu berkaitan dengan kewenangan pengaturan dan bagaimana keputusan-keputusan diambil oleh kelompok perempuan adat atas satu wilayah kelola.”

Jalan dan Napas Panjang RUU Masyarakat Adat

Proses pengesahan RUU Masyarakat Adat menghadapi berbagai hambatan, termasuk kurangnya dukungan politik dan ketidakjelasan dalam implementasi kebijakan. Masih terdapat perbedaan pandangan mengenai pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat di tingkat pemerintah dan legislatif. Perdebatan mengenai isi dan implikasi dari RUU ini sering kali menjadi alasan utama penundaan. Selain itu, kurangnya pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pengakuan hak-hak Masyarakat Adat juga menjadi hambatan besar.

Perempuan AMAN telah berusaha keras untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat dengan menggunakan hak kolektif. Langkah ini merupakan bagian dari upaya strategis untuk mengurangi diskriminasi terhadap perempuan adat dan memastikan hak-hak mereka diakui dalam kebijakan nasional. Hak kolektif juga menyoroti perlunya advokasi yang menyeluruh dan berkelanjutan di berbagai tingkat untuk mencapai perubahan kebijakan yang signifikan.

“Menurut saya, kita harus terus mencari tahu bagaimana caranya (mengesahkan RUU Masyarakat Adat). Perempuan AMAN, dalam proses ini, menggunakan hak kolektif untuk mendorong masuk. Misalnya, kami dalam pembicaraan untuk laporan CEDAW (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan–red.) yang lebih banyak membicarakan hak individu perempuan, tetapi kemudian menempatkan dan terus mengirim laporan bayangan untuk komite CEDAW.”

Baca Juga: Kisah Para Perempuan Penjaga Hutan Merawat Peradaban Pengetahuan di Dayak Kualan

“Pada periode ke-80, Komite CEDAW mengeluarkan satu rekomendasi di poin 46 tentang perlunya memastikan rancangan undang-undang masyarakat adat disahkan oleh pemerintah Indonesia. Ini adalah proses yang digunakan untuk mengurangi diskriminasi terhadap perempuan adat yang disebutkan secara eksplisit.”

Perjalanan panjang pengajuan RUU Masyarakat Adat telah berlangsung selama belasan tahun dengan berbagai upaya dan tantangan. Meskipun sudah ada beberapa perubahan dalam naskah akademik untuk mengakomodasi hak-hak kolektif masyarakat adat, termasuk hak-hak perempuan adat, pengesahan RUU ini masih belum terealisasi. Salah satu perubahan dalam naskah akademik adalah pembicaraan mengenai hak kolektif dan bagaimana menempatkan kelompok-kelompok di dalam Masyarakat Adat dalam pembicaraan hak kolektif.

“Bagi kami di Perempuan AMAN, rancangan undang-undang Masyarakat Adat adalah ruang intervensi yang harus kami gunakan dalam situasi apapun. Tidak ada kebijakan yang dapat mengakui hak kolektif perempuan adat dan memberikan perlindungan kepada mereka dalam proses ini,” tegasnya.

Cukupkah Advokasi Ditjen Kebudayaan?

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjenbud), terus mendorong perlindungan hak-hak masyarakat adat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui Advokasi Masyarakat Adat yang menjadi salah satu dari 10 Program Minimum Kebudayaan.

Advokasi Masyarakat Adat bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia. Kemendikbudristek berusaha untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya mengakomodasi kebutuhan Masyarakat Adat, tetapi juga menghormati dan melindungi warisan budaya mereka, termasuk pengakuan atas hak-hak kolektif dan individu masyarakat adat.

Langkah tersebut terus diadvokasi agar tidak menempatkan masyarakat adat sebagai objek.

“Saat ini banyak undang-undang yang menempatkan masyarakat adat sebagai objek, sehingga selalu saja dalam pelaksanaan undang-undang yang ada, masyarakat adat menjadi korban,” jelas Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid.

Baca Juga: 15 Tahun RUU Masyarakat Adat Tak Juga Disahkan, Aktivis Gugat Pemerintah ke PTUN

Ditjen Kebudayaan juga berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang pentingnya melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Melalui berbagai program dan kegiatan, pemerintah berupaya untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang budaya Masyarakat Adat serta praktik baik dalam penyelamatan lingkungan Masyarakat Adat.

“Pengetahuan lokal ini kita menjaga keanekaragaman hayati selama berabad-abad. Sehingga kontribusinya terhadap upaya penyelamatan lingkungan juga bisa jalan,” ujar Hilmar.

Salah satu fokus utama dari upaya advokasi ini adalah melibatkan masyarakat adat dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan melibatkan mereka secara langsung, diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih relevan dan efektif dalam melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Kemendikbudristek juga bekerja sama dengan berbagai organisasi dan lembaga untuk mendukung upaya ini.

Keberlanjutan program advokasi ini sangat penting untuk terus didorong agar hak-hak dan budaya Masyarakat Adat dapat terjaga dengan baik. Dengan adanya dukungan dan perhatian lebih dari pemerintah dengan pembentukan lembaga mandiri yang mengurusi hak adat seperti Kementerian Kebudayaan, diharapkan koordinasi dan implementasi kebijakan yang berpihak pada Masyarakat Adat akan semakin kuat.

Perjuangan Masyarakat Adat dalam mendapatkan hak-hak mereka masih terus berlangsung. Meskipun sudah ada berbagai upaya dan dukungan dari berbagai pihak, tantangan besar masih harus dihadapi. Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi langkah penting dalam memberikan pengakuan dan perlindungan yang layak bagi masyarakat adat di Indonesia. Dukungan dari pemerintah, organisasi, dan masyarakat luas sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dihormati dan dilindungi.

(Foto: dok. Konde.co)

(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co yang mendapatkan dukungan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Meneropong Hilal RUU Masyarakat Adat dari Lensa Perempuan Adat

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us