Mengapa Kita Memilih Pangan Ultra-Processed dan Meledek Rempah?: Refleksi Jalur Rempah dari Perempuan Adat

mengapa-kita-memilih-pangan-ultra-processed-dan-meledek-rempah?:-refleksi-jalur-rempah-dari-perempuan-adat
Mengapa Kita Memilih Pangan Ultra-Processed dan Meledek Rempah?: Refleksi Jalur Rempah dari Perempuan Adat

Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan rempah-rempah, dan kekayaan ini telah menarik perhatian dunia sejak berabad silam. Namun, seiring kemajuan zaman dan globalisasi, terjadi pergeseran gaya hidup yang mengarah pada kecenderungan mengonsumsi makanan diproses secara ultra.

Makanan diproses secara ultra adalah makanan yang telah melalui berbagai tahap pemrosesan industri dan kebanyakan mengandung bahan-bahan kimia tambahan. Seperti pengawet, pewarna, perasa buatan, dan pengemulsi. Beberapa contoh makanan diproses secara ultra meliputi sereal sarapan instan, minuman manis berkarbonasi, makanan siap saji, camilan ringan instan, roti atau kue kemasan, dan makanan cepat saji.

Kebiasaan konsumsi santapan diproses secara ultra dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan seperti obesitas, penyakit jantung, diabetes tipe 2, hipertensi, depresi atau kecemasan, serat rendah, dan masalah usus.

Deliana Winki, pegiat Masyarakat Adat sekaligus Laskar Rempah dari program Jalur Rempah turut menyayangkan tren tersebut. Tren yang menurutnya dapat dilawan dengan cara tradisional melalui pengenalan kembali rempah sebagai warisan kebudayaan yang memiliki nilai kebanggaan.

“Mungkin kalau melihat dari kekayaan rempah yang kita miliki, Nusantara khususnya, ya. Karena Indonesia memiliki beberapa pulau. Nah, itu menjadi suatu kebanggaan, apalagi untuk orang muda seperti Deli, yang sekarang di dunia yang modern itu bisa memamerkan apa yang dimiliki oleh Indonesia, salah satunya rempah-rempahnya,” ungkap Deliana.

“Melalui rempah itu bisa menunjukkan bahwa ternyata kognitif budaya, dan juga kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat dalam membuat suatu ramuan atau dalam membuat suatu kuliner, menjadi ciri khas yang membuat Indonesia berbeda dari negara lain,” tambahnya.

Dalam hal ini, Masyarakat Adat memiliki pengetahuan mendalam tentang rempah dan ramuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu, pengakuan Masyarakat Adat beserta hak-haknya sebagai penjaga warisan rempah berkelindan dengan pelestarian rempah. Hal ini pada gilirannya dapat mendorong pembentukan gaya hidup sehat.

Masyarakat Adat Sebagai Pewaris Rempah

Rempah memiliki peran penting dalam budaya dan sejarah Indonesia. Pelestarian dan pewarisannya turut digawangi oleh Masyarakat Adat yang hidup berdampingan dengan alam dan menjalankan nilai-nilai tradisional. Oleh karena itu, pengakuan Masyarakat Adat merupakan aspek penting dalam upaya pelestarian alam di Indonesia.

“Masyarakat Adat itu (perlu) untuk diakui. Karena hutan-hutan itu kalau bukan Masyarakat Adat, siapa yang menjaga? Apakah orang-orang kota? Sebenarnya orang-orang kota bisa, mereka membantu menjaga dengan, entah itu berdonasi atau berdonasi pohon. Ataupun mereka mengurangi penggunaan lampu, penggunaan listrik, penggunaan motor, atau apa itu kan untuk menjaga polusi. Itu yang bisa mereka bantu,” kata Deliana.

Masyarakat Adat senantiasa memainkan perannya i penjaga hutan dan sumber daya alam. Mereka memiliki hubungan yang erat dengan alam, melihat hutan sebagai ibu yang harus dijaga, dan mesti membaktikan diri kepadanya.

“Kalau dari Masyarakat Adat itu menganggapnya seperti ini, hutan itu adalah ibu kami. Hutan itu adalah rumah kami, yang kami itu bisa mengambil apa saja dari hutan. Jadi, kalau hutan itu dibabat, hutan itu dirusak, hidup kami mau gimana, begitu,” ungkap Deliana.

Pelestarian rempah juga menjadi bagian dari advokasi hak-hak Masyarakat Adat. Deliana juga mendirikan Sekolah Adat Kualan bersama kakaknya. Ia turut melakukan advokasi pada isu-isu Masyarakat Adat, termasuk soal hutan yang menjadi muara rempah.

Baca juga: Meneropong Hilal RUU Masyarakat Adat dari Lensa Perempuan Adat

“Jadi kami sudah mulai tahun 2014 mengadvokasi tentang hak-hak Masyarakat Adat yang dirampas, yang hutannya dibabat, yang suaranya tidak didengar. Itu alasan sebenarnya kenapa kami dirikan sekolah adat ini menjadi suatu wadah untuk kami menggaungkan tentang hak-hak Masyarakat Adat ,” kata Deliana.

Salah satu contoh upaya pelestarian adalah program pendidikan adat yang fokus pada ramuan-ramuan tradisional.

“Yang harus Deli kerjakan setelah menjadi Laskar Rempah adalah membuat kurikulum pendidikan adat yang berfokus pada ramuan-ramuan tradisional. Nah itu salah satu contohnya,” jelas Deliana. Program ini menunjukkan bagaimana pendidikan dapat memberikan kontribusi kepada upaya pelestarian pengetahuan tradisional dan rempah-rempah.

Namun, upaya pelestarian tidak selalu mudah. Dengan berbagai kerentanan yang ada, Deli berkali-kali mendapat penolakan ketika mengadvokasi hak kelompoknya untuk hidup dan menghidupi ibu bumi.

“Sejujurnya memang tahun-tahun dulu itu memang berat, jadi kami harus berjuang untuk cari tautan. Kami sudah melakukan lobi dengan masyarakat lokal, dengan NGO yang ada di sana, lalu dengan pemerintah daerah, tapi kami tidak dihiraukan,” ungkap Deliana. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk melestarikan rempah dan hak-hak Masyarakat Adat membutuhkan upaya sekuatnya.

Pelestarian rempah juga memiliki dampak ekonomi bagi Masyarakat Adat. Dengan mengenalkan kembali nilai rempah serta pentingnya tanah ulayat, Masyarakat Adat dapat memanfaatkan kekayaan alam sebagai hak mereka. Dengan demikian, pelestarian rempah juga berarti pelestarian kehidupan dan kesejahteraan Masyarakat Adat.

Muhibah Jalur Rempah, Sebuah Upaya Pewarisan

Program Muhibah Jalur Rempah (MBJR) adalah salah satu inisiatif penting Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang dilakukan untuk melestarikan dan mempromosikan kekayaan rempah Indonesia. Program ini tidak hanya fokus pada rempah sebagai komoditas, tetapi juga pada nilai-nilai budaya dan sejarah yang terkandung. Salah satu tujuan utama MBJR adalah untuk mengupayakan pengakuan rempah Nusantara sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.

“Tujuan dari MBJR ingin menggaungkan jalur rempah ini, khususnya jalur rempah Nusantara sebagai titik utama, agar disahkan oleh UNESCO menjadi warisan dunia,” kata Deliana.

Meski begitu, Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menyatakan ada beberapa tantangan pemerintah untuk menjadikan Jalur Rempah sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada tahun 2024, salah satunya minimnya kajian akademis. Melalui Susur Kultur, diharapkan agar hasil muhibah dapat dipublikasikan sebagai bahan untuk memperkaya penelitian terkait Jalur Rempah.

“Tantangan terbesar dalam kesiapan Indonesia untuk menominasikan Jalur Rempah sebagai Warisan Budaya Dunia adalah perlunya kajian akademis mulai dari penguatan narasi hingga penyusunan rencana pengelolaan Jalur Rempah yang logis dan konkret,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hilmar berharap ketika Jalur Rempah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, masyarakat semakin terdorong menjadikan kebudayaan sebagai pondasi utama pembangunan. Hal ini akan dimulai dari berbagai lokasi terkait Jalur Rempah kemudian meluas ke berbagai wilayah di Indonesia bahkan di luar negeri.

Senada dengan Hilmar, Deliana menganggap pengakuan ini penting untuk melindungi dan melestarikan kekayaan rempah Indonesia dari klaim negara lain.

“Potensi rempah-rempah yang ada di Indonesia itu sangat sayang sekali kalau kita tidak patenkan secara internasional,” terang Deliana.

Sejak pelaksanaannya untuk pertama kali pada 2021, MBJR terus melibatkan berbagai pihak. Termasuk media dan komunitas lokal, untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya rempah.

Baca juga: Deurbanisasi dan Kekuatan Perempuan Desa Datah Dian: Revolusi Tenang dari Pedesaan

“Kami sering menyampaikan bahwa jalur rempah ini salah satu kebanggaan dari negara kita. Dan yang patut kita banggakan kepada orang muda. Salah satu contohnya seperti jamu itu bukan minuman yang kuno, padahal jamu itu memiliki manfaat, entah itu untuk tubuh, ataupun nilai historisnya, dan juga suatu kebanggaan untuk kita,” ungkap Deliana.

Program ini juga mendorong partisipasi aktif dari Masyarakat Adat, yang menjadi garda terdepan dalam pewarisan pengetahuan mendalam tentang rempah dan ramuan tradisional.

“Air adalah darah kami. Kalau air kami dirusak, kami akan mati. Nah, itu yang selalu kami gaungkan kepada orang-orang di luar komunitas kami, salah satunya di Jalur Rempah juga. Dan Jalur Rempah juga mendukung dengan pernyataan kami itu dan mereka juga menganggap bahwa iya, masyarakat adat itu adalah orang-orang yang menjaga dan menjadi tombak utama untuk pelestarian lingkungan seperti itu,” kata Deliana.

Deliana menekankan pentingnya pertukaran budaya yang terjadi melalui rempah. Sebagai contoh, saat berlayar ke Malaka, ia menyadari bahwa hubungan antara Indonesia dan Malaysia sudah terjalin lama melalui jalur rempah.

“Di situ kita bisa melihat bahwa ternyata kita itu ada konektivitas antara negara Indonesia yang kebanyakan kan selalu memandangnya itu tentang kalau dengan Malaysia itu kayak sensitif begitu. Itu kayak, ‘oh mereka mengambil budaya kita’. Padahal itu ada nilai ideologi di situ yang maksudnya bahwa kebudayaan kita dan kebudayaan mereka itu hal yang unik dan sama, yang membuat kita bisa rukun,” jelas Deliana.

Melalui rempah, Deliana ingin menunjukkan bahwa hubungan Indonesia dengan negara lain bukan soal persaingan dan adu urat, melainkan persaudaraan yang hangat.

“Nilai ideologi atau saling menghormati itu yang bisa kita angkat di jalur rempah ini,” ujarnya.

Argumen Deliana didukung oleh pernyataan Hilmar Farid yang mengharapkan Jalur Rempah dapat menjadi reinkarnasi pertukaran dan pergaulan budaya masa lampau lewat kekayaan alam.

Baca juga: Kisah Para Perempuan Penjaga Hutan Merawat Peradaban Pengetahuan di Dayak Kualan

“Jalur Rempah bukan hanya perdagangan rempah semata, tetapi juga terjadi pertukaran budaya. Kita berharap para Laskar Rempah dapat menghidupkan kembali pertukaran dan pergaulan budaya seperti yang terjadi ribuan tahun lalu melalui Jalur Rempah,” tegas Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid.

Indonesia memiliki kekayaan rempah yang luar biasa, yang tidak hanya berfungsi sebagai bumbu masakan. Tetapi juga sebagai jembatan budaya dan warisan sejarah yang perlu dilestarikan. Pelestarian ini juga akan sangat berguna bagi perubahan hidup sehat di masyarakat luas. Oleh karenanya, keterhubungan masa lalu dan masa depan menjadi akar program ini.

“Tentu tujuan akhir dari perjalanan ini bukan hanya demi minat pada sejarah semata, tetapi juga ada hubungannya dengan masa sekarang dan masa depan,” kata Hilmar Farid.

Upaya pelestarian ini memerlukan kerjasama antara pemerintah, Masyarakat Adat, dan generasi muda. Program Muhibah Jalur Rempah (MBJR) adalah salah satu langkah penting dalam menjaga dan mempromosikan kekayaan ini.

Penting untuk adanya pengembangan lebih luas dari pemerintah dengan pembentukan lembaga mandiri yang mengurusi lingkup kebudayaan secara utuh, seperti Kementerian Kebudayaan. Di samping itu, perlu juga upaya implementasi konkret seperti pemenuhan hak Masyarakat Adat. Termasuk advokasi hukum seperti pengesahan RUU Masyarakat Adat, dan perlindungan tanah ulayat mereka.

Upaya pelestarian rempah ini tidak hanya berhenti pada tercatatnya Jalur Rempah Nusantara di atas kertas sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO. Melainkan juga dapat memantik perubahan gaya hidup. Sebab, sebagai negara dengan angka hipertensi, diabetes, dan obesitas yang mengkhawatirkan, banjirnya pangan diproses secara ultra di pasar Indonesia berpotensi besar memperparah kondisi yang ada. Pendayagunaan rempah secara melimpah yang diikuti edukasi untuk menghapus stigma ‘kuno’ pada rempah merupakan tawaran strategi untuk menyelesaikan perkara laten yang menyangkut kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Foto: Koleksi pribadi Deliana Winki

(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co yang mendapatkan dukungan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Mengapa Kita Memilih Pangan Ultra-Processed dan Meledek Rempah?: Refleksi Jalur Rempah dari Perempuan Adat

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us