Takbir berkumandang “Allaahu akbar, Allahu akbar.” Benar, ini adalah pertanda berakhirnya bulan suci Ramadan. Tidak terasa air mataku jatuh. Ini adalah hal yang setiap tahun menjadi tangis haruku.
Tahun ini tidak seperti biasanya, saat malam takbiran aku masih di kantor, melakukan editing hingga larut malam, kejar jam tayang live report. Tapi, aku tidak sendiri. Masih bersama beberapa seniorku yang menemani. Setelah semua pekerjaan aku unggah dan selesai, kita menggelar tikar, menyalakan televisi dan memutar takbir. Sangat hangat kebersamaan ini, dan malam larut aku pulang.
Keesokan harinya, aku pergi berangkat ke masjid untuk mendirikan salat Idulfitri. Seperti biasanya, pemandangan masjid di tempatku sangat indah. Pemandangan hijau, udara segar, bersih, dingin, ramai, dan sangat terasa bahagia.
Aku tinggal di lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk. Suasananya terasa sangat hikmat. Pelaksanaan ibadah salat menjadi puncak akhir Ramadan ini. Khotbahnya juga semakin bisa kupahami. Karena menggunakan bahasa Jawa Krama, jadi aku harus berpikir lebih keras. Sebelumnya aku tidak terlalu paham. Sering kali khotbah menggunakan bahasa Indonesia, tapi di sini menggunakan bahasa Jawa. Asyik sekali rasanya.
Selesai salat, kami jemaah satu desa bersalaman. “Ngapunten sedoyo kelepatan” (mohon maaf atas segala kesalahan), kataku kepada orang-orang yang lebih tua dariku. Sedikit sedikit, bisalah aku berbicara bahasa Jawa krama. Kami semua ramah tamah, bertemu, bersapa, berbahagia, saling memaafkan, dan tentunya bertemu orang-orang yang lama tidak bertemu. Ini hanya terjadi satu tahun sekali, tidak lebih. Antusias sekali rasanya.
Namun, tiba-tiba sebuah kalimat terlontar oleh temanku, “Mbak, rasanya sudah biasa saja ya lebaran, nggak seperti biasanya.” Aku seketika diam, padahal aku melihat dia beramah tamah dan bersalaman dengan orang-orang tapi masih bisa bilang biasa saja. Tidak masalah.
Yang dia rasakan adalah rasa subjektivitas. Jadi dia berbeda dengan cara pandangku. Mungkin karena dia tidak merantau dan sering kali bertemu dengan orang-orang yang dia sapa dan dia salami. Beda denganku, yang pulang dari merantau, tidak pernah bertemu, jadinya sangat excited saat bertemu dengan orang-orang.
Selepas dari masjid, aku pulang. Di tempatku setelah pelaksanaan salat Idulfitri tidak langsung perayaan Hari Raya. Akan tetapi, masih ditunda. Kami memiliki adat, namanya “aboge” (Ahad, Rabu, Wage). Orang-orang berhari raya di hari Rabu, sedangkan di tempatku di hari Jumat selepas zuhur. Tujuannya menghindari tiga hari itu, hari ahad (minggu), hari rabu dan hari Wage.
Tidak masalah, karena kita tinggal di Indonesia, suku dan budayanya banyak sekali. Namun, mengenai “aboge” ini pun berbeda-beda cara penafsirannya, sehingga berbeda pula penerapan di setiap daerahnya, salah satunya di tempatku. Jadi, saat di hari Rabu aku dan keluarga tetap menjalani aktivitas rumah seperti biasa.
Tibalah di hari Jumat, kami merayakan Hari Raya. Aku sungkem kepada ayah ibu, saling bermaafan bersama kakak. Kemudian keliling bersilahturahim ke rumah saudara se-RW. Ini juga termasuk budaya kita. Saudaraku banyak yang berkunjung ke rumah, saling menceritakan keberhasilan mereka, saling bertukar cerita tepatnya.
Namun, fenomena ini membuatku tersadar akan teori Erving Goffman. Aku menyambungkannya dengan teori dramaturgi. Benar sekali teori tua ini—teori banyak muka, katanya. Ada front stage, back stage, bahkan off stage. Teori yang muncul di tahun 1959 dan ternyata masih valid sampai sekarang. Ini bukan teori biasa saja. Teori peramal menurutku.
Saat perayaan Hari Raya zaman sekarang hal ini benar-benar terjadi. Yang dulu katanya saling memaafkan, sekarang menjadi pura-pura memaafkan. Semua orang berpura-pura tidak menjadi diri sendiri, sangat disayangkan. Bulan penuh ampunan ini tidak menjadi sakral kembali, karena banyak yang tidak memahami.
Kembali ke perkataan temanku tadi, bagaimana ini jadi terasa hambar. Sebenarnya ini tetap seperti bulan biasanya, tetapi kita saja yang tidak paham maknanya. Semua orang boleh berpendapat, semua orang juga dapat merasakan, dan semua orang pasti berdramaturgi. Namun, alangkah baiknya kita menjadi lebih baik, hamba yang pemaaf, dan lebih memahami agama lagi.
Teori dramaturgi ini akan selalu ada dan dinamis sepanjang masa. Terkadang yang baik di depan kita, ternyata di belakang sebaliknya. Bahkan di off stage ternyata ada hal yang tidak dapat diceritakan ke orang lain. Fenomena dramaturgi di Hari Raya ini sangat terlihat jelas, utamanya di kaum milenial. Merasa bertemu orang banyak menguras energi, memutuskan untuk berdiam diri di bilik, tanpa menggubris saudara yang berkunjung mendatangi.
Tulisan ini bukan untuk menggurui, tetapi untuk menampar diri. Bagaimana tidak, diri pribadi ini juga masih jauh dari kata memahami intuisi agama ini. Selamat Hari Raya Idulfitri—mari kembali menjadi fitri. [AR]