Perempuan Cantik Harus Berkulit Putih? No! Bongkar Obsesi Kecantikan di Indonesia

perempuan-cantik-harus-berkulit-putih?-no!-bongkar-obsesi-kecantikan-di-indonesia
Perempuan Cantik Harus Berkulit Putih? No! Bongkar Obsesi Kecantikan di Indonesia

Apa itu ‘cantik’? Apa saja yang membuat seseorang atau sesuatu dapat disebut ‘cantik’? Benarkah cantik harus ‘putih’ atau cerah, dan jika ‘hitam’ atau ‘gelap’ maka tidak cantik?

Mungkin sekarang, seseorang disebut ‘cantik’ jika memiliki warna kulit ‘putih seperti ras di Asia Timur, contohnya orang Korea. Beberapa dekade sebelumnya, kulit ‘putih’ yang dipuja masyarakat adalah seperti orang Barat. Waktu demi waktu, semua orang seakan harus tampil ‘putih’ untuk dapat ‘cantik’. Ketika kata ‘putih’ atau ‘pemutih’ dilarang pada produk-produk kecantikan, diksinya berubah menjadi ‘bening’, ‘cerah’, ‘berpendar’, dan sebagainya. Namun maknanya lebih-kurang sama: ‘cantik’ itu ‘bersih’, dan ‘bersih’ yang dimaksud pada akhirnya adalah ‘putih’.

Sesungguhnya, ‘putih’ seperti apa yang menjadi standar kecantikan di Indonesia? Penulis L. Ayu Saraswati berusaha mengkaji hal ini dalam bukunya, ‘Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional’. Buku ini awalnya merupakan disertasi Saraswati untuk meraih gelar Doktor. Karya yang akhirnya diterbitkan sebagai buku ini juga merupakan ‘gugatan’ Saraswati atas standar kecantikan di Indonesia.

Baca Juga: Dear Kamu, Tak Harus Glowing dan Punya Tubuh Sempurna untuk Nikmati Hidup

Di bagian awal, ia menggarisbawahi temuan penting: bahwa definisi ‘putih’ sebagai standar kecantikan di Indonesia bukan baru-baru ini muncul. Ia sudah ada sejak zaman Nusantara masih terdiri dari berbagai kerajaan. Ia bukannya baru muncul saat masa kolonialisme Belanda dan Jepang. Apa lagi jika dikira warna kulit dalam kecantikan baru hadir di tengah massifnya karya media populer di Indonesia saat ini.

Standar kecantikan ‘putih bercahaya’ senantiasa hadir di Indonesia. Hanya satu yang berubah seiring zaman: acuan ‘putih’ pada standar kecantikan yang berlaku di tengah masyarakat.

Mitos Abadi ‘Terang’ versus ‘Gelap’ dan Eksotisme

Apa pun yang ‘putih’ identik dengan ‘bersih’, ‘bersinar’, dan ‘bercahaya’. Sedangkan hitam diasosiasikan dengan ‘kusam’, ‘dekil’, ‘gelap’, dan sebagainya. Dalam konteks masa kini, kulit terang kerap disebut ‘bening’ dan dibentuk menjadi idaman semua orang—terutama perempuan. Sedangkan kulit gelap kerap mendapat julukan derogatif seperti ‘gelap’ hingga istilah terbaru ‘aura Maghrib’—merujuk pada langit temaram saat waktu Maghrib tiba. Ini bukan hal baru; mitos kecantikan seperti itu telah dikonstruksi jauh sebelum negara Indonesia merdeka.

Buku 'Putih' karya L. Ayu Saraswati (foto: dok. Konde.co)
Buku ‘Putih’ karya L. Ayu Saraswati (foto: dok. Konde.co)

Saraswati menelusuri epos ‘Ramayana’ untuk melihat penerapan warna kulit dalam media pada masa pra-kolonial, yang berujung pada rasisme. Dalam ‘Ramayana’ dan mungkin banyak karya kuno lainnya, tokoh protagonis atau perempuan berparas cantik, seperti Sita, dideskripsikan memiliki kulit ‘terang bak rembulan’. Sedangkan sosok antagonis atau karakter jahat dalam karya-karya ini kerap digambarkan memiliki penampilan dan aura ‘gelap’. Perempuan yang tampak ‘cantik’ dan ‘terang’ pun disebut sebagai incaran para lelaki; semua orang ingin mempunyai keturunan dari perempuan tersebut.

Kemudian acuan kulit putih dalam standar kecantikan Indonesia bergeser. Standar warna kulit ‘putih’ bergeser ke Kaukasian di era kolonialisme. Belakangan, ketika Jepang hadir dalam peta geopolitik internasional, acuannya adalah warna kulit a la orang Asia (Timur). Pasca-kemerdekaan—medio tahun 1960-an—masuknya budaya pop Amerika mulai mendefinisikan ‘cantik putih’ ideal a la Indonesia. Definisi kecantikan ideal Indonesia yang baru pun menjadi antitesis standar kecantikan Kaukasia dan Jepang.

Baca Juga: Sudah Waktunya Bicara Beauty Bullying, Ketika Kecantikan Jadi ‘Pedang Bermata Dua’

Tapi formulanya sama: kecantikan seakan baru tercapai dengan warna kulit putih, terang, bercahaya, atau berbagai julukan serupa. Sedangkan warna kulit yang tidak terang lekat dengan diksi ‘hitam’, ‘gelap’, ‘kusam’, ‘muram’, dan makna buruk lainnya. Dan itulah yang dihindari setiap orang.

Perempuan Indonesia berkulit gelap juga dilekatkan pada istilah yang seakan menjadi tanda apresiasi, padahal sebetulnya liyan. Istilah itu adalah ‘eksotis’. Pertama kali digunakan pada tahun 1599, kata ‘eksotis’ hadir untuk menjelaskan sesuatu yang asing atau tidak ‘asli’. Dalam pandangan kolonial, ketika ada perempuan berkulit gelap yang paras atau penampilannya menarik bagi mereka tapi warna kulitnya tidak terang, ia akan disebut ‘cantik eksotis’. Seakan-akan kecantikannya tidak lazim di tengah lazimnya standar kecantikan kulit terang.

Kecantikan, Kolonialisme, dan Kontrol atas Tubuh dan Emosi Perempuan

L. Ayu Saraswati juga membedah fenomena standar kecantikan di Indonesia menggunakan perspektif sejumlah feminis terkemuka. Antara lain Judith Butler, Teresa Brennan, dan Alison Jaggar. Dengan perspektif tersebut, Saraswati menganalisis standar kecantikan dalam bentuk definisi warna kulit ideal pada diri perempuan di Indonesia. Pilihan warna kulit tersebut juga terbentuk menjadi konstruksi standar ‘cantik’ dan ‘tidak cantik’ bagi perempuan di tengah masyarakat.

Menurut Saraswati, emosi seseorang merupakan hasil dari konstruksi sosial. Termasuk emosi yang dirasakan terkait kecantikan dan penampilan diri. Konstruksi ini sudah hadir sejak masa pra-kolonialisme; jadi standar kecantikan bukannya baru hadir sejak bangsa Barat menginjakkan kaki di Indonesia. Ia hadir dalam karya-karya sastra dan kitab-kitab kuno sebelum itu. Namun, jika warna kulit dalam definisi ideal kecantikan belum berinteraksi dengan isu ras pada masa pra-kolonial, baru di era kolonialisme ia berkelindan dan menjadi dasar dari rasisme di Indonesia.

Saraswati melihat adanya hierarki warna kulit di Indonesia. Makanya, meski definisi kulit ‘putih’ atau ‘terang’ kerap berubah seiring pergeseran zaman, hierarki ini tetap bertahan. Superioritas kulit ideal putih—kemudian berganti istilah menjadi ‘terang’ atau ‘bening’—tetap eksis di sekitar kita.

Baca Juga: Korean Wave Menggebrak Kecantikan Korea atau Ini Bentuk Kapitalisme Baru?

Hierarki sosial di tengah masyarakat muncul secara alamiah dari warna kulit dalam standar penampilan ideal. Hal ini juga berpengaruh terhadap rasa dan emosi seseorang, yang diartikulasikan melalui relasi-relasi kuasa. Menggunakan istilah feminis Alison Jaggar, hal ini menjelma sebagai ‘hegemoni sosial’. Warna Kulit yang ‘menikah’ dengan isu perbedaan ras di era kolonial juga membentuk ‘kecepatan kolonial (perampasan kolonial)’ atau standar ‘emosi’. Jadi, para perempuan Belanda berkulit putih maupun yang non-Eropa dengan status sosial tinggi seperti priyayi, bersikap dan bereaksi secara emosional sesuai kepantasan standar kolonial. Hal ini juga disebut sebagai ‘emosionologi kolonial’ dalam buku Saraswati.

Akhirnya bukan hanya penampilan perempuan yang distereotipe dan dikontrol; reaksi emosionalnya pun diatur. Emosionologi kolonial membuat para perempuan ‘ningrat’ tidak boleh menunjukkan emosi secara berlebihan karena tidak patut dan tidak sesuai standar yang berlaku. Ia dianggap tidak dapat menjaga kehormatannya sebagai perempuan jika reaksi emosionalnya tidak terkontrol. Di sisi lain, ‘kepantasan kolonial’ tidak berlaku bagi perempuan berstatus sosial rendah. Dalam warna kulit yang berlaku di Indonesia pada masa kolonialisme, perempuan yang status sosialnya lebih rendah biasanya identik dengan warna kulit gelap, atau setidaknya lebih gelap dari warna kulit perempuan pada status sosial tinggi seperti mengkudu Belanda atau priyayi.

Penampilan dan Kecantikan Sebagai Kapital

Hierarki sosial di era kolonialisme bukannya berhenti begitu Indonesia merdeka. Sampai saat ini, kecantikan dan status sosial masih identik dengan warna kulit seseorang. Ini bisa dilihat dari judul berita media yang ‘heboh’ dengan, misalnya, temuan perempuan pedagang asongan ‘cantik’. Frasa ‘cantik’ biasanya digunakan karena perempuan yang dimaksud memiliki warna kulit lebih terang daripada perempuan lain di bidang serupa yang orang ketahui. Artinya, warna kulit terang dan ‘cantik putih’ masih dianggap tidak lazim berada pada lapisan kelas sosial rendah.

Dalam konteks kelas sosial, sejarah Indonesia memang membuktikan bahwa kelas pekerja masuk dalam kategori kelas sosial yang rendah sejak masa Orde Baru. Kata ‘buruh’ dianggap rendah dan diganti menjadi ‘karyawan’ hanya satu contoh. Dari aspek penampilan, lagi-lagi, seakan tidak wajar jika ada pekerja perempuan yang berparas cantik dan berkulit terang. Hal itu seolah menjadi anomali atau prestasi di tengah anggapan bahwa perempuan pekerja mestinya berpenampilan biasa saja, kulitnya gelap dan sebagainya.

Baca Juga: Beauty Privilege Hanya Mitos, Tapi Nyata Di Sekitar Kita

Selain itu, kita tentu familier dengan lowongan kerja bersyarat ‘cantik’, ‘tampan’, dan sebagainya. Padahal, banyak dari jenis industri tersebut juga tidak secara langsung membutuhkan syarat-syarat penampilan seperti itu dalam praktik kerjanya. Penampilan dalam tatanan sosial membuat perempuan kerap mengalami diskriminasi karena penampilannya. Lantas, demi mencapai standar ideal kecantikan, perempuan mesti bekerja keras agar mendapatkan penghasilan lebih tinggi. Sehingga mereka dapat melakukan ‘perawatan’ dan memenuhi syarat penampilan yang berlaku untuk bekerja di tempat yang lebih layak. Kecantikan menjadi kapital yang diatur sebagai sesuatu yang harus dicapai perempuan.

Secara umum, buku ‘Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional’ karya L. Ayu Saraswati menggali sedalam-dalamnya mengenai obsesi warna kulit terang yang bertransformasi di Indonesia. Mungkin masih banyak ruang yang sebetulnya bisa dibahas dalam buku ini. Misalnya tentang diskriminasi kecantikan yang secara spesifik dialami perempuan berkulit gelap di wilayah Indonesia Timur, atau tentang tren produk-produk kecantikan yang mempromosikan kulit ‘cerah’ atau ‘berpendar’. Namun setidaknya, buku ini ampuh menggedor kesadaran kita atas fenomena kecantikan transnasional yang intinya satu: bahwa ‘cantik’ itu (seolah-olah) harus ‘putih’, ‘terang’, atau ‘bening’ sejak dulu.

(foto: dok. Konde.co)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Perempuan Cantik Harus Berkulit Putih? No! Bongkar Obsesi Kecantikan di Indonesia

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us