Dian Purnama Sari (36 tahun), bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya. Selain berjibaku menabung untuk bayar cicilan rumah, sebagai perempuan, ia juga sering digoda dan kena teror karena tinggal sendiri.
“Ada bapak-bapak tetangga chat-chat nggak jelas. Misalnya bilang mbak Dian lagi dandan ya di kamar? Dan memang aku sedang dandan di kamar. Darimana dia bisa tahu? Aku merasa diawasi, diperhatikan. Dulu pengembang bilang ada satpam, tapi ternyata nggak ada. Posisi rumahku tidak ada tetangga di kanan kiri. Di sebelah kanan kiri hanya ada 2 rumah kosong dan tanah kosong,” lanjut Dian menceritakan kehidupannya di rumah.”
Perempuan asli Nganjuk ini telah belasan tahun tinggal di kota Surabaya. Sejak kuliah ia tinggal di kamar indekos dekat kampusnya, namun setelah bekerja, ia memutuskan untuk membeli rumah di Kota Gresik.
Jarak dari rumah ke kampus tempat Dian mengajar di Surabaya ke Gresik, kurang lebih memakan waktu 45 menit hingga 1 jam. Waktu tersebut adalah waktu yang sangat lama untuk sebuah perjalanan kantor bagi pekerja di Surabaya seperti Dian.
Baca Juga: Gaji Pekerja Freelance Dipotong 3 Persen, Tapera Bikin Sengsara
Dian mulai kepikiran untuk memiliki hunian sendiri sejak 2015. Nyatanya persyaratan untuk memiliki rumah di Surabaya tidaklah mudah, harganya mahal. Dian yang masih berstatus lajang harus memiliki penghasilan minimal 6 juta rupiah per bulan untuk mengajukan kredit. Hal ini menjadi persyaratan yang susah dipenuhi karena pada tahun itu jumlah gajinya tidak mencukupi.
Singkat cerita setelah itu, ia berusaha mencari bank yang bisa memberikan kredit, ia bisa mendapatkan kredit dari salah satu bank negeri dengan cicilan 2,5 juta rupiah per bulan.
“Survei sejak 2015 tapi baru dapat tahun 2017. Buat dapat kredit itu menyesuaikan dengan pendapatan. Mengajukan ke beberapa bank, minimal 6 juta untuk pemohon yang berstatus lajang baru bisa sesuai untuk kredit. Dulu ngga bisa dibawah 20 tahun. Waktu itu aku cari sendiri banknya dan pengembang membantu melobi. Kemudian ada bank negeri yang mau membiayai” jelas Dian mengingat awal perjuangannya memiliki rumah.
Dian memutuskan untuk membeli rumah yang berada di Gresik tersebut dengan skema cicilan selama 20 tahun. Dian terpaksa mengambil keputusan itu karena profesinya sebagai dosen menghambatnya untuk mendapatkan rumah subsidi. Padahal, di lokasi yang sama, terdapat rumah subsidi yang harganya hampir setengah harga dari rumah yang dibeli Dian.
“Sebenarnya ada rumah subsidi harganya 160-180 juta. Tapi pihak bank bilang: masak dosen ambil rumah bersubsidi?,” terang Dian.
Baca Juga: Balada Anak Muda Susahnya Punya Rumah, Bukan Hanya Soal Gaya Hidup dan Paylater
Lokasi perumahan yang dipilih Dian berada di kota sebelah. Awalnya Dian mengaku tidak mengetahui lokasi perumahannya lantaran pengembang tidak begitu transparan. Selain itu ia baru tahu kalau lokasi perumahannya harus menempuh jarak yang jauh dari tempatnya bekerja.
“Lokasi tidak ada transparansi di awal. Aku kira di Surabaya karena kantor pengembangnya di Surabaya. Ternyata di Menganti Gresik. Bangunan rumahnya belum ada, untuk tanda jadi, kita bayar sejuta dulu lalu dibangunkan pondasinya. Di situ ada lebihan tanah, kita dirayu buat beli tanah itu sekalian sebesar 50 jutaan. Jaraknya sendiri kalau dari kampus paling kelakar (cepat) 40 menit, kalo santai bisa 1 jam. Capek. Dengan lokasi agak jauh dan gelap yang dilewati akhirnya aktivitas lain seperti diskusi dan ngumpul dengan teman-teman, tidak dilakukan. Nanti repot pulangnya,” ungkap Dian.
Dian mengungkapkan alasan awalnya ia ingin memiliki rumah. Dian menjelaskan bahwa ia telah menetap di Surabaya selama 12 tahun dengan ngekos. Barang-barang pribadi yang semakin banyak dan keinginan untuk memiliki aset membuatnya mulai memberanikan diri melakukan survei hunian.
“Waktu itu sudah 12 tahun belanja, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, bukunya sudah banyak. Pekerjaan online butuh ruang yang cukup bukan? Kalau kena kontrak, jadi malas bergerak lagi. Saya pikir di usia saya, saya harus memiliki aset. Karena sudah hampir 10 tahun pengerjaan dari 2009-2017,” lanjut Dian.
Hunian atau tempat tinggal adalah bagian dari kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Namun, seiring pertumbuhan populasi yang sangat cepat dan habisnya luas lahan perkotaan membuat para pekerja tidak punya banyak pilihan untuk memenuhi kebutuhan hunian mereka. Lahan perkotaan yang ukurannya tidak berubah, harus berhadapan dengan jumlah penduduk yang makin meningkat.
Baca Juga: ‘The Architecture of Love’, Sembuhkan Luka dengan Pergi Sejenak dari Rumahmu
Data Badan Pusat Statistik/ BPS menyebutkan, di Indonesia terjadi kenaikan jumlah penduduk sekitar 30 juta orang selama 10 tahun terakhir (2013-2023). Sementara itu luas lahan di perkotaan tentu saja tidak bertambah. Mengutip KompasKetua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) Joko Suranto menyebutkan, angka kekurangan rumah terus bertambah dan terakumulasi. Persoalan permukiman kian pelik karena 60 persen orang Indonesia diprediksi tinggal di perkotaan.
Ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pemenuhan pemukiman ini adalah masalah jaminan simpanan yang akan menjadi bom waktu jika dibiarkan. Hal ini diperparah karena minimnya wewenang pemerintah daerah untuk mengintervensi pemenuhan kebutuhan hunian layak bagi masyarakat.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, tidak mengatur kewenangan pemerintah daerah untuk program perumahan. Sejak tahun 2014, penyediaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah dikelola oleh pemerintah pusat. Hal ini menghambat pemenuhan hunian layak di daerah.
Herry Trisaputra Zuna, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR) menglaim bahwa backlog perumahan (angka ketimpangan pemilikan rumah) masih menjadi tantangan klasik, karena angkanya tak kunjung menurun. Ia mengklaim bahwa penyebab terbesarnya adalah kecilnya porsi anggaran pemerintah untuk sektor perumahan. Maka dari itu, menurutnya, iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan backlog tersebut.
The Conversation menuliskan, keyakinan pemerintah bahwa Tapera bisa atasi jaminan simpanan kepemilikan rumah tidak bisa diverifikasi. Pasalnya, belum tentu Tapera akan efektif mengatasi masalah tersebut dengan masih besarnya angka ketimpangan pemilikan rumah, karena persoalannya, kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat.
Baca Juga: Pekerjaan Rumah Tangga Dianggap Bukan Pekerjaan, Ini Asal Mula Penindasan Dalam Rumah Tangga
Dian yang memutuskan hidup sendiri sebagai perempuan lajang harus menghadapi tantangan saat tinggal di rumah sendiri. Mulai dari mengurus diri sendiri saat sakit hingga menghadapi teror dari orang tak dikenal.
“Tinggal di rumah sendirian itu ya ada tantangannya, tiba-tiba di rumah depan ada yang buang air pil KB. Ada tiang listrik digambari alat genital laki-laki. Aku nanam kaktus di bawah jendela kamar, ada botol aqua dimasukkan ke kaktus itu sampai dua kali. Teror semacam itu pernah kualami.”
Beruntungnya Dian yang memiliki dasar beladiri karate dan kempo bisa sedikit percaya diri menghadapi teror tersebut. Namun, hal lain selain gangguan eksternal adalah masalah yang terkadang muncul dari diri sendiri, misalnya Dian yang sakit harus mengurus dirinya sendiri.
“Waktu itu aku pernah keserempet truk, ngga bisa jalan 2 hari. Aku di rumah saja obati sendiri. Aku selalu sediakan P3k di rumah. Ada grab atau layanan online gitu membantu perempuan banget. Syukurnya di sini rumah sakit deket. Waktu itu aku ngga hubungi ortu, semua hadapi sendiri. Misal untuk mengobati ini tuh gimana, aku tanya google. Pernah suatu ketika membersihkan telinga, kapasnya ketinggalan di telinga. Akhirnya ya lihat internet, Siapin lidi, ditekuk,akhirnya bisa” jelas Dian.
Selain soal urusan diri sendiri, Dian juga harus bertanggung jawab untuk mengurus rumahnya. Ada hal-hal teknis yang tidak semua orang pahami seperti permasalah kelistrikan hingga perbaikan alat-alat dapur seperti kompor. Dian mengaku memiliki beberapa tetangga yang baik yang bisa membantunya saat ia membutuhkan.
Baca Juga: Film ‘Mothers’ Instinct’ berkisah tentang persahabatan wanita dan kehidupan ibu rumah tangga
“Pernah sekali waktu listrik tiba-tiba mati. Yang rusak puteran on off-nya. Untungnya ada pak RT membantu secara cuma-cuma. Pernah juga kompor tiba-tiba mati, aku lihat di google ternyata jalan gas nya bermasalah. Setelah perbaiki akhirnya bisa. Selama kita bisa memanfaatkan semua akses, kita bisa mempermudah hidup” tegas Dian.
Memiliki rumah sendiri sudah bukan hal yang mudah, ditambah jika kita adalah seorang perempuan. selain menghadapi skema cicilan yang luar biasa tinggi, perempuan juga harus berhadapan dengan permasalahan sosial yang tidak diperhatikan oleh pengembang. Dian yang tinggal sendiri di rumah mengaku kini menyiapkan beberapa benda untuk membela diri seperti linggis yang diletakkannya di bawah sofa. Hal itu karena kekhawatiran atas keamanan diri yang tidak dijamin oleh pengembang yang sudah menjual rumah dengan harga yang tidak murah.
Konsumen yang membeli rumah setidaknya bisa mendapatkan jaminan keamanan karena sudah membayar mahal. Keamanan basic seperti adanya satpam dan CCTV bukanlah hal yang mewah yang tidak bisa disediakan pengembang. Namun tidak semua perumahan memilikinya. Selain itu permasalahan struktural yang sudah jelas-jelas di depan mata juga harus diselesaikan pemerintah.
Seorang pekerja yang tinggal terlalu jauh dari tempat kerja harus membahayakan kesehatan fisik dan mental dengan upah UMR yang biasa saja. Selain itu, resiko perjalanan jauh juga mempertaruhkan keselamatan di jalan. Hal ini terjadi karena tidak adanya transportasi publik yang tersedia secara baik. Para pekerja pada akhirnya harus merogoh kocek lagi untuk kendaraan pribadi yang membutuhkan bahan bakar.
Kerja Keras Bayar Cicilan
Cicilan KPR yang dipilih Dian pada prosesnya ternyata tidak datar. Cicilan yang awalnya sejumlah 2,5 juta rupiah, setelah 7 tahun kini menjadi 3,3 juta rupiah. Pemberitahuan akan perubahan nominal cicilan ini hanya diberitahukan via email. Hal ini terkadang mengejutkan Dian lantaran ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk rumahnya.
Sebagai langkah untuk memenuhi tagihan tersebut, Dian akhirnya mengambil proyek-proyek selain mengajar seperti mengedit buku. Namun, setelah kini tahun ke 7 ia menghuni rumah, Dian semakin membuka diri untuk alternatif lain seperti over kredit jika tidak meneruskan, ataupun menjadikannya kontrakan.
“KPR itu ngga dataradakalanya naik. KPR ku naik 2 kali, dari 2,5 juta jadi 2,8 juta lalu 3,3 juta. Kaget, tapi masih bisa ku menangani. Targetnya dalam sebulan nggak boleh dapat kurang dari sekian. Ada beberapa kerjaan yang akhirnya kuambil, ngajar di beberapa tempat dan editing buku. Nggak boleh malas dan kerja lebih semangat. Setelah 7 tahun, kini pikiranku lebih terbuka. Misal aku nggak bisa lanjutin aku bisa lebih dari kreditatau aku bangun kos-kosan, dijadiin penghasilan. 5 tahun pertama emang tegang banget gimana mempertahankan aset ini” jelas Dian.
Saat ditanya apakah Dian merasa sepadan atas cicilan KPR jika dibandingkan dengan rumah yang ia dapatkan, Dian menjawab bahwa hal itu kurang sepadan. Rumah yang didapatkan Dian pada awalnya tidak ada dapur, sehingga Dian memanfaatkan kamar kedua yang kosong sebagai dapur.
Baca Juga: PRT ‘Kabur’ dari Rumah Majikan Karena Disiksa, Bagaimana Cara Melaporkannya?
“Sebenarnya nggak sepadan. Yang dibangun pengembangkita ngga dapat dapur, l uas bangunan 82 meter persegi, teras ada sedikit aja. Akhirnya aku memanfaatkan kamar kedua untuk dapur. Memanfaatkan ruang yang ada. Karena untuk bangun itu butuh uang lagi, setelah 7 tahun, ini baru bisa bangun dapur dan pagar.”
Selain itu, jarak yang jauh dengan tempat kerja membuat kualitas hidup menurun. Ia harus berhadapan dengan macet, polusi dan kelelahan fisik hanya untuk pulang pergi bekerja. Dian juga menyarankan bagi orang yang akan membeli rumah, ia menyarankan agar mengambil termin dibawah 20 tahun, karena semakin cepat masa pelunasan cicilan maka semakin sedikit pula bunga yang harus dibayar.
“Yang lebih terasa dari dibangunnya perumahan ini tuh macet, daerah sepi menjadi macet karena banyak pembangunan di perbatasan. Wilayah sekitar jadi terdampak. Ada rasa kesal, jadi jarang kumpul teman-teman. Kesehatan terganggu, kelamaan di motor bikin sakit pinggang, sakit bokong juga. Etos kerja menurun. Mau berangkat tuh males. Mempengaruhi mood kerja juga. Dulu kalo waktu longgar bisa selesaikan artikel ilmiah 2 hari. Sekarang perlu waktu lebih banyak untuk fokus. Menurutku kesempatan buat punya rumah selalu ada, asal kita berusaha lebih keras, tapi sebagai gantinya itu kesehatan. Menurutku memang standar hidup seseorang beda-beda, mending ngontrak dulu kumpulin uangnya untuk beli rumah, Tetap ambil KPR tapi jangan ambil 20 tahun”
Baca Juga: ‘Tidak Keluar Rumah dan Menangis Setiap Malam’ Kisah Pejuang Jerawat Sulit Membangun Rasa Percaya Diri
Dian yang mengambil cicilan dalam jangka 20 tahun justru menyarankan agar tidak mengambil skema cicilan tersebut. Hal ini dirasakan Dian karena setelah 7 tahun berjalan, total bunga yang dibayarkan hampir setara harga pokok rumah itu sendiri. Harga rumah yang awalnya adalah 350 juta, membengkak hampir dua kali lipat jika dihitung dengan cicilan 2,5 juta per bulan selama 20 tahun atau 240 bulan. Total uang yang dikeluarkan adalah 600 juta itupun jika dihitung datar 2,5 juta selama 20 tahun. Sementara kini cicilan yang harus dibayar Dian sudah 3,3 juta per bulan dan tidak menutup kemungkinan akan naik lagi. Namun, tentunya tidak semua orang memiliki pilihan untuk memilih skema cicilan. Dian yang waktu itu mengajukan kredit juga hanya diberi pilihan cicilan 20 tahun.
Semua permasalan di atas pada akhirnya bukan sekadar masalah ketersediaan lahan dan tingginya jumlah populasi yang membutuhkan tempat tinggal. Namun juga akan merembet ke masalah lainnya yang lebih kompleks. Pihak yang paling menderita dari hal ini tentu masyarakat umum atau pekerja yang lebih dahulu harus menanggung akibatnya. Pemerintah, pengembang dan lembaga pembiayaan seperti abai atas implikasi yang bisa terjadi di masa depan.
Baca Juga: ‘Salon Rumah Puan’ Bercerita Tentang Hitam Putih Kehidupan Para Transpuan
Sebenarnya, masalah seputar perumahan masih belum selesai di situ saja, selain jaminan simpanan perumahan, jumlah lahan yang semakin susut juga membuat naiknya harga tanah yang nantinya berujung pada kenaikan harga hunian. Selain itu material untuk membangun rumah juga tentu mengalami kenaikan yang akan menambah biaya produksi pembangunan rumah. Dalam membangun hunian pun juga harus disediakan fasilitas, akses dan infrastruktur untuk menuju ke lokasi. Keterkaitan banyak hal ini memengaruhi kenaikan harga hunian, satu-satunya hal yang cenderung melambat hanya pendapatan sebagian besar masyarakat.
Keterbatasan lahan di perkotaan lambat laun akan membuat masyarakat menengah dan menengah ke bawah perlahan tersingkir dan menjauh dari kota, lantaran lahan yang tersedia di kota sudah tidak terjangkau lagi. Selanjutnya yang terjadi adalah jauhnya tempat tinggal yang terjangkau dengan tempat kerja yang berada di tengah kota. Hal ini semakin buruk jika tidak ada transportasi massal yang memadai, masyarakat akhirnya menggunakan kendaraan pribadi dari tempat tinggal di kota penyangga menuju lokasi kerja di pusat kota. Implikasinya adalah kemacetan.
Salah satu contoh dari rentetan permasalahan tersebut adalah seperti yang terjadi di kota Surabaya. Lahan yang terbatas dan tak terjangkau untuk sebagian besar masyarakat membuat orang-orang harus menepi ke kota penyangga seperti Gresik atau Sidoarjo.