Meningkatnya dugaan kasus academic misconduct atau pelanggaran akademik yang menyeret sejumlah nama guru besar, termasuk Kumba Digdowiseiso dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (UNAS) Jakarta bak fenomena gunung es yang perlahan mulai tersibak.
Kumba diduga melakukan pelanggaran akademik karena diduga mencatut nama 24 dosen Universiti Malaysia Terengganu (UMT). Dosen UMT telah melayangkan protes. Salah satu nama yang dicatut Kumba adalah Safwan Mohd Nor dalam artikel berjudul “The dean who came to visit and added dozens of authors without their knowledge,” pada 10 April 2024. “Kami tak mengenal orang ini,” ujar associate professor bidang keuangan UMT ini.
Belakangan Kumba mundur sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAS. ”Ini bentuk pertanggungjawaban akademis saya kepada Rektor UNAS dan civitas akademika agar tak membebani kampus dalam melakukan investigasi terhadap persoalan yang sedang saya hadapi,” tulis Kumba dalam keterangan tertulis, Kamis, 18 April 2024.
Dalam keterangan tertulis yang sama Kumba menyatakan bahwa tuduhan pencatutan nama dalam publikasi jurnal tak benar dan bertujuan menjatuhkan namanya. ”Saya sangat menjunjung tinggi integritas akademis,” ia mengklaim.
Pencatutan nama yang diduga dilakukan Kumba hanya satu dari pelbagai pelanggaran akademik yang kerap terjadi. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 tentang integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah telah mendefinisikan berbagai bentuk praktik pelanggaran akademis. Antara lain plagiarisme, kepengarangan yang tidak sah, termasuk pabrik artikel (paper mills), fabrikasi dan falsifikasi, pengajuan jamak, dan konflik kepentingan. Akibatnya tidak sedikit jurnal yang ditulis oleh peneliti Indonesia dicabut.
Data dari Retraction Watch Database—platform yang melaporkan pencabutan artikel ilmiah internasional, menunjukkan jumlah artikel peneliti Indonesia yang diretraksi (dicabut) meningkat ketimbang tahun lalu. Dari 18 artikel yang terdeteksi tahun sebelumnya, jumlahnya sudah mencapai 27 artikel hingga Maret 2024 ini. Peningkatan tersebut dinilai telah memperburuk reputasi Indonesia di mata internasional.
Pada awal 2024 lalu, María de los Angeles Orfila menulis di science.org—sebuah media di Peru, sempat menulis bahwa Indonesia sebagai salah satu negara dengan banyak peneliti yang “mencurigakan.” Indonesia juga menempati ranking dua setelah Kazakhstan untuk jumlah publikasi di jurnal predator, yaitu jurnal internasional yang proses penerbitannya tidak melalui proses peninjauan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Beberapa hari lalu asisten profesor bidang Ekonomi Politik Pembangunan di University of Cambridge, Dr. Ilias Alami pun menyuarakan tindakan plagiarisme yang diduga dilakukan oleh akademisi Indonesia. Melalui cuitannya di X—yang belakangan ini viral, dia menjelaskan salah satu artikelnya disalin seluruhnya. “Rupanya seseorang menyalin/menempel 100% salah satu artikel yang saya tulis bersama rekan penulis saya tentang kapitalisme negara dengan chatGPT, dan mempublikasikannya,” tulis Ilias di X, Minggu, 21 April 2024.
Ketua Dewan Profesor Ekonomi dari Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat sekaligus Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia periode 2021-2023, Arief Anshory Yusuf mengaku tak heran dengan banyaknya kasus artikel bermasalah yang dilakukan penulis Indonesia. Pada 2021 lalu saja ia bersama koleganya pernah menemukan sedikitnya seribu lebih artikel abal-abal yang terbit di pelbagai macam jurnal. “Setelah kami cek banyak terindikasi plagiarisme atau diterbitkan di jurnal predator,” katanya kepada Jaring.id, TEMPO, dan The Conversation Indonesia, Selasa, 16 April 2024.
Pelanggaran akademik tersebut, menurutnya, sudah terjadi sejak bertahun lalu. Tapi belakangan ini terasa lebih lampias seiring dengan upaya pemerintah mengejar kekurangan jumlah guru besar. Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada awal tahun ini menyebut jumlah profesor di Indonesia hanya sekitar 2 persen yang tersebar di 4.476 perguruan tinggi. Sementara di negara maju, seperti di Prancis, misalnya, mencapai 20 sampai 30 persen.
Oleh sebab itu, banyak kampus yang berlomba-lomba mempercepat pemberian kredensial berupa promosi bagi para dosen. Penerbitan publikasi di jurnal ilmiah merupakan jalan yang bisa ditempuh dosen untuk memperoleh karir akademis sesuai Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 untuk dosen negeri, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen untuk dosen swasta.
Seorang dosen yang hendak mendapatkan jabatan professor sedikitnya membutuhkan sekira 850-1050 KUM. Sedangkan jenjang lain, seperti asisten ahli (150 poin), lektor (200-300), lektor kepala (400-700). Karenanya para dosen berpacu untuk menulis di jurnal terindeks Scopus karena poin yang dapat diraih bisa mencapai 40 ketimbang kegiatan dosen lain, seperti seperti mengajar dan melakukan pengabdian pada masyarakat.
Namun sayangnya, menurut Masduki—guru besar Media dan Jurnalisme dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga seorang aktivis pro kebebasan akademis, penentuan jenjang karir atau jabatan keahlian fungsional ini melulu bertolok pada kuantitas dalam bentuk angka kredit. “Karena pendidikan tinggi di Indonesia sekarang cenderung proliberalisme. Bagaimana pun caranya jumlah guru besar harus banyak,” ujarnya.
Dampaknya sejumlah dosen menghalalkan segala cara untuk mengejar KUM melalui penerbitan artikel ilmiah internasional. Membeli artikel yang belum diterbitkan dari media sosial maupun ghostwriting adalah satu dari pelbagai modus paper mills. Padahal, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 39 Tahun 2021 tentang integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah mengidentifikasi praktik ini sebagai pelanggaran akademik. Modus lain yang belakangan muncul ialah pencatutan nama dan kolaborasi fiktif.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sigit Riyanto meyakinkan bahwa para dosen yang berani melakukan pelanggaran akademis tidak hanya mencari reputasi sebagai guru besar, melainkan juga hendak meraup keuntungan materi. Dalam hal ini kampus juga diuntungkan karena semakin banyak keberadaan guru besar akan berpengaruh terhadap akreditasi kampus. “Dan kampus biasanya memberikan insentif bagi para dosen yang berhasil mempublikasikan artikelnya,” ujar Sigit saat diwawancara melalui Zoom, Rabu, 17 April 2024.
Mekanisme dan besaran insentif yang diberikan kepada penulis jurnal bervariasi di masing-masing kampus. Di UGM, dosen yang berhasil menerbitkan karya ilmiah internasional terindeks Scopus dapat mengantongi insentif sebesar Rp30-40 juta. “Diberikan setelah proses verifikasi,” ucapnya. Jumlah insentif akan semakin besar ketika penulis dapat berkolaborasi dengan peneliti luar negeri. “Bisa Rp90 juta,” tambahnya.
Sementara di kampus swasta seperti Universitas Multimedia Nusantara (UMN), penulis bisa mendapatkan insentif paling kecil sebesar Rp1,5 juta untuk artikel yang terbit di jurnal nasional terbitan UMN. Sedangkan jumlah insentif publikasi internasional terindeks Scopus bisa mencapai Rp12-25 juta. Pihak kampus akan menanggung biaya pemuatan artikel seluruh jurnal internasional paling mahal sampai Rp26 juta atau sekitar 1800 USD.
“Insentif buku yang diterbitkan penerbit nasional sebesar Rp10 juta, sedangkan penerbit internasional Rp20 juta,” seperti dikutip dari Surat Keputusan Rektor UMN tentang Tata Tertib sebagai Pembicara, Peserta Konferensi, dan Publikasi Karya Ilmiah Dosen serta Kesertaan Proposal Hibah Dikti.
Meski begitu, menurut Herlambang Perdana Wiratraman dari Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), pihak kampus selama ini kerapkali tidak melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap jurnal yang sudah diterbitkan. Ini karena penerbitan artikel ilmiah sangat penting bagi kampus lantaran dapat memenuhi indikator klasterisasi perguruan tinggi, yakni klaster mandiri, utama, madya, pratama, dan klaster binaan. “Klasterisasi perguruan tinggi itu salah satu indikatornya adalah jumlah publikasi,” kata Herlambang dalam wawancara via Zoom, Kamis, 18 April 2024.
Ia menduga hal ini yang kemudian membuat kampus tutup mata dengan proses pembuatan artikel. Dalam kasus yang terjadi di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Tangerang, Banten, misalnya, pihak kampus terlihat tidak memiliki sistem pencegahan guna menghindari praktik culas akademik. Kolaborasi fiktif yang dilakukan Daniel baru diketahui setelah Kepala Riset dan Pengabdian Masyarakat UMN tersebut menulis 31 artikel sebelum tutup tahun 2023.
Sigit menilai maraknya kasus pelanggaran tersebut disebabkan oleh lemahnya penegakan integritas akademik yang dilakukan kampus maupun pemerintah. “Dari pengalaman saya, ada hipokrisi di berbagai level. Dari level universitas hingga Kementerian. Mestinya ketika ada bukti bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran, atau prestasinya tidak dicapai dengan cara yang benar, gelarnya dicabut,” terangnya.
Itu sebab ia mendorong agar komunitas akademis yang memiliki integritas memperkuat jaringan pemantauan. Dugaan pelanggaran akademik perlu diperiksa dan diproses secara kolektif hingga selesai. Termasuk mengajak pers untuk mengontrol dan mengedukasi publik bahwa praktik culas semacam itu merupakan kejahatan.
“Tim ini sebaiknya berisi mereka-mereka yang tidak rentan risiko semisal guru besar yang jabatan akademiknya sudah mentok, sehingga tidak perlu khawatir berurusan dengan ditjen, angka kredit, dan lain-lain,” sarannya.
Idhamsyah Eka Putra, dosen Universitas Persada sepakat bahwa evaluasi pelanggaran akademis perlu melibatkan evaluator eksternal, termasuk pelibatan media. “Saya kira itu penting. No viral, no justice,” ucapnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Abdul Haris, saat dikonfirmasi, hanya mengomentari singkat dengan menyebut kasus dugaan pencatutan nama oleh Kumba berkaitan dengan integritas individu bukan tingginya tuntutan kuantitas publikasi jurnal ilmiah dari pemerintah.
Artikel berjudul “Simalakama Perburuan Gelar Guru Besar” merupakan hasil kolaborasi Jaring.id, dengan Tempo, dan The Conversation Indonesia untuk mengungkap praktik pelanggaran akademis di Indonesia. Dua wartawan Jaring.id yang terlibat dalam kerja bersama ini ialah Abdus Somad dan Sonya Andomo.