Pembaruan sering kali dilakukan oleh seorang tokoh, umumnya tokoh agama. Mereka tidak puas melihat lingkungan atau kebiasaan yang dipraktikan oleh masyarakat secara turun temurun dan bersifat kolot.
Para pembaru pastinya akan berhadapan langsung dengan kaum tradisonalis, bahkan mendapat tentangan dari mereka. Kaum tradisonalis itu selalu terancam dengan hal-hal yang bersifat baru. Mereka khawatir jika hal baru tersebut menggeser tardisi yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat.
Namun, di sini mungkin bisa dicermati terlebih dulu bahwa tidak semua tradisi itu baik. Ada juga tradisi yang buruk, seperti sabung ayam, judi, mabuk, dan lain sebagainya.
Nah, para pemuka agama inilah yang ingin menyingkirkan tradisi-tradisi yang buruk tersebut malalui pembaruan. Sejatinya agama Islam mengajarkan moralitas dan kemanusiaan. Maka, para pembaru memperjuangkan dua nilai tersebut agar tumbuh dalam masyarakat (Azra, 1999).
Banyak pembaru Islam di akhir abad 19 sampai awal abad 20 misalnya seperti KH. Ahamd Dahlan, KH. Hasyim Asyari, Syeikh Ahmad Surkati, Syeikh Jamil Jambek, dan H. Ahmad Hasan Bandung.
Para pembaru itu membawa gerbong masing-masing. Ada yang menawarkan Islam tradisionalis, Islam purifikasi, dan Islam modernis. Semua pembaru punya pengikutnya masing-masing. Terkadang menjadi pertentangan juga antarkelompok di lapisan masyarakat bawah. Namun, segala ketegangan dapat diatasi dengan jalan musyawarah atau dialog.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas pembaharuan Islam yang dilakukan ulama Minangkabau, yaitu Syeikh Muhammad Jamil Jambek. Mungkin namanya kurang popular. Tidak bisa dipungkiri bahwa namanya sering tertutupi oleh tokoh lain seperti Syekh Ahmad Katib al-Minangkabawi ulama yang mendunia atau Doktor Abdul Karim, ayah dari Buya Hamka (Azra, 1999).
Syeikh Jamil Jambek lahir di Bukittinggi pada tahun 1860. Ayahnya bernama Muhammad Saleh Datuk Maleka seorang penghulu dan kepala nagari kurai sementara ibunya orang Sunda.
Masa kecil Syekih Jamil Jambek kurang begitu terlacak tetapi bisa kita lihat dari tutur cerita murid-muridnya. Syekh Jamil Jambek memulai pendidikannya dari sekolah praguru. Lalu pada saat menginjak usia 22 tahun mulailah ia tertarik dengan ilmu agama.
Melihat ketertarikan Jamil remaja pada agama, maka ayahnya mengirim putranya tersebut ke Makkah dan belajar ilmu agama di sana bersama ulama-ulama besar di Makkah kurang lebih 7 tahun (Sanusi Pane, 2017).
Pada awalnya ketika di Makkah Syekh Jamil Jambek malah tertarik mendalami ilmu sihir. Namun, hal itu diketahui gurunya yaitu Syekh Ahmad Katib Minangkabawi, dan ia meminta Syeikh Jamil untuk bertaubat dan kembali kejalan yang benar. Mendegar nasehat gurunya tersebut akhirnya Syekh Jamil insyaf dan mulai mempelajari ilmu-ilmu ushuluddin dari Syekh Ahmad Katib.
Pada saat di Makkah, Syaikh Jamil belajar tarekat secara mendalam sampai ia menjadi seorang sufi dan mendapatkan ijazah dari Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah.
Selain memperdalam dunia mistik atau tasawuf, Syekh Jamil juga mendalami ilmu falak. Ilmu ini di kemudian hari membuat Syekh Jamil terkenal dan mendapatkan banyak murid dari berbagai daerah (Ismail Yakub, 1980).
Setelah dirasa cukup menimba ilmu di Makkah, maka Syekh Jamil kembali ke tanah air dan mengajar mengaji dan ia fokus mengajar tauhid. Kebanyakan dari murid Syekh Jamil adalah ahli tarekat sehingga ia sangat disegani sebagai mursyid tarekat.
Namun, Syekh Jamil tidak senang dengan hal itu. Ia lebih senang menjadi pendakwah daripada mursyid taerkat. Ia lebih suka berdakwah tentang tauhid agar masyarakat memiliki iman yang kokoh.
Lalu pada tahun 1918 Syekh Jamil mendirikan dua surau, yaitu Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Kedua surau ini dikenal sebagai surau Inyak Jambek (Azra, 1999). Sejak pendirian surau itu Syekh Jamil mengalami perubahan. Ia lebih suka berdakwah keliling kampung daripada ngaji kitab seperti ulama tradisonalis lainnya.
Ia merasa metode klasik itu perlu diubah dengan dakwah, sebab dengan berdakwah pesan agama akan lebih mudah diterima dan dimengerti masyarakat awam. Maka Syekh Jamil memperkenalkan istilah bertablig di muka umum, istilah ini sama artinya berdakwah bil lisan.
Peringatan maulid nabi yang biasanya membaca kitab al-Barzanji (lagu puji-pujian pada nabi dengan bahasa Arab) diganti oleh Syekh Jamil dengan bertabligh menceritakan riwayat nabi dengan bahasa Melayu (Ismail Yakub, 1980).
Maka, Syekh Jamil melakukan pembaruan dalam dakwah dengan tujuan agar dakwah itu sampai kepada masyarakat awam. Tradisi membaca kitab berbahasa Arab oleh Syekh Jamil diganti dengan membahas persoalan hidup sehari-hari, entah ekonomi, pertanian, dan lain sebagainya.
Pembaruan ini tidak muncul begitu saja, melainkan melalui pengalaman panjang sampai pada titik nadir, sehingga Syekh Jamil merombak semua sistem klasik menjadi sistem yang lebih modern.
Tentunya dalam mewujudkan pembaruan ini, Syekh Jamil mendapat banyak tantangan dari para ulama-ulama yang masih mempertahankan konservatisme. Syekh Jamil Jambek berjalan melawan arus tradisi yang sudah mapan. Ia banyak mengkritik praktik ritual keagamaan kaum tradisionalis khusunya dari kalangan tarekat (Ismail Yakub, 1980).
Jadi, dapat dilihat bahwa Syekh Jamil Jambek melakukan reformasi dalam bidang agama melalui tablig. Ia berani merombak kemapanan yang sudah bertahan berabad-abad lamanya dan ia menentang segala kejumudan.
Jika diamati perjalanan intelektual Syekh Jamil Jambek, pada awalnya ia orang yang di posisi tradisionalis dan sangat mendukung tarekat. Namun, sepulang belajar dari Makkah, ia berubah pandangan menjadi lebih modernis dan mengamini bentuk-bentuk purifikasi Islam.
Pada masa Syekh Jamil Jambek memang banyak sekali pembaruan yang dilakukan ulama setelah pulang dari Timur Tengah. Sebagian besar mereka dipengaruhi oleh Jamaluddin al-Afghany, Rasyid Ridha, dan Muhammad Abduh, Ketiga tokoh tersebut merupakan pembaru di Timur Tengah dan rupanya pemikiran mereka banyak diikuti ulama Indonesia. [AR]