Seorang pria tua duduk di kursi berbahan kayu jati. Ia memakai baju batik dan celana kain berwarna hitam. “Nama saya Rudiyanto,” demikianlah ia memperkenalkan dirinya. Umurnya lebih dari separuh abad dengan sekujur rambut yang memutih. Namun, suara yang ia keluarkan masih terdengar jernih.
Dengan gerak tangan yang gemulai, ia bercerita bahwa dirinya adalah salah seorang penganut Teosofi. Ia mengaku sudah mempraktikkan ajaran Teosofi sebagai pedoman hidupnya sedari duduk di bangku sekolah menengah.
Kebetulan letak sekolahnya yang ada di Blitar itu berdampingan dengan sanggar Teosofi. Ketika beberapa kali mengikuti diskusi di sanggar itu, hatinya langsung terketuk untuk menjadi pengikut ajaran yang dibawa Madame Blavatsky itu.
“Teosofi itu melarang [in]doktrinasi dan menekankan rasionalitas,” ucapnya.
Karena ajaran yang demikian, ia langsung tertarik untuk menjadi penganut Teosofi. Baginya, Teosofi bukanlah doktrin yang berisi larangan dan perintah. Teosofi tak lain dan tak bukan adalah ajaran yang mengajak pengikutnya untuk berbuat baik kepada manusia dan alam semesta.
Setiap perbuatan baik yang dilakukan akan dibalas dengan kebaikan, dan setiap perbuatan jahat yang dilakukan akan dibalas dengan kejahatan. Penganut Teosofi percaya bahwa balasan itu datang bukan ketika seseorang berada di kehidupan selanjutnya, melainkan justru ketika di kehidupan ini.
Ia pun menuturkan bahwa penganut Teosofi tak boleh memaksa orang lain untuk masuk Teosofi. Ia menekankan bahwa Teosofi tak membutuhkan pengikut. Teosofi tak lain dan tak bukan adalah laku panggilan jiwa bagi orang yang ingin mereguk air spiritualitas di tengah keringnya kehidupan dunia.
“Untuk menjadi penganut teosofi, orang cuma perlu mengakui tiga tujuan dari teosofi. Pertama, menjalin persaudaran dari berbagai makhluk tanpa memandang ras, warna kulit, bangsa, dan sebagainya. Kedua, mempelajari filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama. Ketiga, menggali potensi ketuhanan yang ada dalam diri manusia,” urainya.
Ketiga hal itu mesti ditunjang dengan apa yang disebut dengan SMP (Studi-Meditasi-Praktik). Studi adalah aktivitas mempelajari apa yang ada dalam Teosofi; Meditasi adalah aktivitas untuk mencari ketenangan diri dengan duduk memejamkan mata sembari mengatur dan fokus pada arah pernapasan; dan Praktik adalah laku untuk mempraktikkan ajaran Teosofi dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, penganut Teosofi lain bernama Ifa memiliki pengalaman yang berbeda dengan Rudiyanto. Ia mengaku bahwa sebelum menjadi anggota Teosofi ia pernah dihempas musibah yang dahsyat. Selama itu ia kerap beribadah dan meminta doa kepada Tuhan. “Salat saya sampai tak terhitung. Bahkan, saya pernah berniat memakai cadar,” dakunya.
Ketika masuk Teosofi, ia merasa menemukan keteduhan dan kedamaian. Ia pun kemudian mencari keterkaitan ajaran Teosofi dengan ajaran agamanya, Islam. Setelah membolak-balik lembaran Al-Qur’an, ia menemukan keterkaitan itu dalam surah al-Hujurat [49]: 13.
Menurutnya, ayat tersebut menerangkan tentang perintah Tuhan kepada manusia untuk menghargai berbagai perbedaan agar ia menjadi bertakwa. Baginya, takwa yang dimaksud dalam ayat itu bukan soal taat atau takut kepada Tuhan, melainkan totalitas kesadaran atas Tuhan.
Dalam arti tersebut, kesadaran yang penuh terhadap Tuhan akan mendorong manusia untuk tidak mengklaim dirinya saja yang paling benar, melainkan menghormati berbagai keyakinan yang berbeda-beda.
“Setelah saya jadi seperti ini, saya tak pernah memaksa anak saya untuk memilih suatu ajaran, keyakinan, atau agama tertentu. Saya membebaskan mereka untuk memilih apa yang dikehendakinya,” tuturnya.
Kepercayaan yang demikian terpatri dalam slogan yang terpancang di dinding Sanggar Penerangan: “Satyan Nasti Paro Dharma” yang berarti “Tak Ada Agama Yang Lebih Tinggi daripada Kebenaran”.
Gunarya, penganut Teosofi lain, memahami kata “kebenaran” dalam slogan itu seperti kepingan kaca yang bertebaran di mana-mana. Namun, kebanyakan orang hanya menjumput satu kepingan kaca itu dan mengklaim bahwa itulah kebenaran—padahal ada kepingan-kepingan lain yang mereka tidak tahu.
“Kita adalah orang yang berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan kaca itu,” tutur pengagum Gus Dur itu. Memang, melakukan hal demikian tentu tak mudah dan penuh rintang halang. Namun, bagi mereka, hidup terasa kurang bermakna bila tak melakukan demikian.
Kendati demikian, sikap penghargaan mereka terhadap beragam keyakinan sering mendapatkan respons negatif dari masyarakat. Aktif sejak 1908 menjalankan kegiatan di Jalan Serayu, Darmo, Kecamatan Tenggilis, mereka kerap memperoleh cercaan dan hinaan. Anggapan aliran sesat, Yahudi, hingga Freemason laris menghampiri mereka.
Namun, mereka tak terlalu menggubris anggapan itu. Mereka tetap berpegang teguh pada apa yang mereka percayai tanpa tebersit sedikit pun keinginan untuk mencela balik. Sebab, bagi mereka, orang yang beranggapan seperti itu sebenarnya adalah orang yang belum tahu saja, dan hal itu sebenarnya lumrah didapatkan oleh para pencari kebenaran di sepanjang masa. [AR]