Edisi Kemerdekaan: Perempuan Muda Atasi Krisis Iklim dan Lingkungan (2)

edisi-kemerdekaan:-perempuan-muda-atasi-krisis-iklim-dan-lingkungan-(2)

Generasi muda sangat lantang bicara krisis iklim dan lingkungan. Mereka sadar atas ancaman yang sedang dan akan mereka hadapi akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Mulai dari cuaca ekstrem, bencana yang makin intens, pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat tambang, hingga perampasan hutan dan alih fungsi lahan oleh korporasi.

Konde.co berbincang dengan enam perempuan muda dari berbagai daerah yang bergerak di isu lingkungan dan menuliskan kisah mereka. Mereka adalah Antonia Maria Oy, Cindy Silviana Br.Sihotang, Hamra, Qatrunnada H. Melati, Sucia Lisdamara dan Tri Oktafiani.

Keenam perempuan muda dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan NTT ini melakukan kampanye, edukasi, pendampingan dan advokasi. Sebagian besar dari mereka sudah selesai kuliah dan memilih pulang ke kampung halaman. Ada juga yang masih menyelesaikan kuliahnya.

Perempuan-perempuan muda ini tidak ingin menjadi korban sekaligus pelaku yang mewarisi dan merusak lingkungan. Mereka ingin memutus mata rantai kejahatan lingkungan dan penghancuran ruang hidup yang dibuat generasi sebelumnya. Mereka melakukannnya lewat aktivitas dan gerakan bersama komunitas di lingkaran terdekat.

4. Qatrunnada H. Melati: Perempuan Berkolektif Lawan Kerusakan Lingkungan

Perjuangan perempuan di isu lingkungan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Qatrunnada H. Melati—biasa dipanggil Nada—menegaskan hal tersebut. Bagi Nada, gerakan kolektif adalah kunci perempuan melawan kerusakan lingkungan.

Nada adalah bagian dari kolektif Sindikat Aksata di Malang, Jawa Timur sejak 2022. Sindikat Aksata merupakan kolektif lingkungan berisi orang-orang yang bergabung dengan sekolah keadilan ekologi WALHI Jawa Timur. Meski demikian, semua orang bebas untuk bergabung dan tidak harus merupakan alumni pendidikan WALHI.

Bersama Sindikat Aksata, Nada mengadvokasi isu-isu krisis lingkungan di Malang. Salah satunya konflik terkait mata air Kasinan. “Teman-teman dari dulu udah melakukan advokasi bersama warga tentang satu mata air di kota Batu. Namanya mata air Kasinan,” tutur Nada kepada Konde.co, Kamis (15/8/2024). “Mata air itu di dalam hutan lindung Kasinan. Dan mata air itu dikelola sendiri oleh warga sejak dari zaman dahulu. Memang warga tidak memprivatisasi air tersebut, murni dikelola warga sendiri, dipergunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Cukup membayar uang maintenance untuk pipanya dan lain-lain.”

Lalu pada suatu hari, investor dari luar pulau datang dan hendak membuat hutan lindung Kasinan menjadi ekowisata. Namun, lanjut Nada, ‘ekowisata’ tersebut rupanya tidak memiliki unsur-unsur ekologi sama sekali. Ini lantaran mereka menggunakan beton dan lain-lain di kawasan hutan lindung. Bahkan, beton didirikan di atas sumber mata air.

“Jadi beberapa mata air itu sempat tertutup. Karena di sana sistemnya mata airnya itu rembesan. Bukan yang keluar di satu titik memancar dengan lebat,” terang Nada.

Tindakan yang mengganggu akses warga terhadap air pun memicu kemarahan warga. Mereka, bersama Sindikat Aksata dan berbagai organisasi lain, memprotes hingga audiensi ke DPRD Jawa Timur. Upaya-upaya memperjuangkan hak mereka pun berbuah hasil. Proyek kegiatan pariwisata itu dihentikan dan izin dari walikota dicabut.

Baca juga: Edisi Kemerdekaan: Perempuan Muda Atasi Krisis Iklim dan Lingkungan (1)

“Terus juga warga itu melakukan aksi-aksi penanaman kembali di tempat-tempat yang dulunya dibangun wisata—yang tidak ekologi, yang sebenarnya tidak ‘ekowisata’ itu,” terang Nada. “Sampai sekarang, warga terus menanam setiap bulan dan terus-terus dirawat. Sampai sekarang.”

Nada mengaku, dalam hal ini, ia dan Sindikat Aksata tidak berperan banyak untuk ‘menyelamatkan’ warga Kasinan. Mereka justru cukup berdaya untuk mempertahankan hak atas tanah mereka sendiri. Sementara itu, Nada dan kawan-kawannya terlibat dalam penulisan riset tentang pentingnya mata air Kasinan bagi warga. Serta berbagai ancaman atas mata air itu. Jadi mereka bersama warga melakukan pendokumentasian mata air Kasinan. Mulai dari mendokumentasikan cerita-cerita mitologi lokal, hingga rekam waktu pertama kali mata air tersebut dikelola sendiri oleh warga.

“Sebelumnya ingin menunjukkan legitimasi bahwa warga dari dulu sudah mengelola ini,” tutur Nada. “Dan mata air ini tidak seharusnya diapakan oleh pihak lain.”

Selain mata air Kasinan, Nada dan kolektif tempatnya bernaung juga sedang mengawal proyek geothermal Arjuno-Welirang. Hal ini didasari pengamatan dari proyek geothermal di berbagai daerah lainnya, seperti Dieng dan NTT. Namun, gerakan terkait geothermal Arjuno-Welirang ini belum sampai pada tahap lebih lanjut. Sebab, pihak perusahaan maupun akademisi baru melakukan sedikit sosialisasi yang juga hanya menyasar orang-orang tertentu. Warga juga masih belum banyak yang memahami implikasi geothermal terhadap kehidupan mereka.

“Kami juga sekarang sedang menyusun strategi untuk terus melawan hal ini,” Nada menegaskan. Pasalnya, menurut kabar dari kawan-kawan mereka di Dieng, geothermal dapat berdampak parah pada warga sekitar. Warga juga terancam kriminalisasi jika menolak proyek tersebut. 

Baca juga: Edisi Kemerdekaan: 6 Perempuan Muda Marjinal Bergerak, Jauh Dari Hingar-Bingar (1)

Kata Nada, “Kami berharapnya yang di Malang ini enggak akan terjadi begitu. Karena dampaknya, mata air di Batu saja dari—kalau enggak salah—500 mata air, itu sekarang sudah menyusut. Benar-benar menyusut drastis dari 500 sampai sekarang tinggal 100 atau bahkan kurang dari itu.” Imbuhnya, ia khawatir mata air di wilayah Batu dan Malang akan semakin menyusut dengan adanya geothermal.

Dari berbagai kasus lingkungan di Malang dan Jawa Timur, Nada merasa bahwa peran warga perempuan belum terlihat secara gamblang. Aktivisme warga masih didominasi oleh laki-laki dewasa. Bahkan, ketika ia mencoba membuka obrolan dengan para ibu terkait isu lingkungan, ia justru diarahkan untuk membicarakan itu dengan warga laki-laki yang lebih ‘paham’. 

“Cuma yang tidak terlihat itu sebetulnya adalah peran-peran ibu ini. Terlihat dari bagaimana mereka itu men-support secara konsumsi dan lain-lain,” Nada berkata. “Cuma yang jadi PR ya itu, gimana harusnya ibu-ibu ini tuh juga punya ruang untuk, ketika rapat, itu sama-sama ngobrol bareng dan lain-lain.”

Tugas Nada dan kolektif kini adalah mencari cara untuk melibatkan para perempuan lebih aktif dalam ruang-ruang publik, Dengan demikian, mereka dapat menyampaikan keresahan mereka terkait krisis lingkungan. Sebab isu lingkungan berdampak langsung pada perempuan. Ia mencontohkan masalah hilangnya mata air dan dampaknya kepada perempuan.

“Kalau misalkan air ini hilang, maka kami perempuan akan susah. Karena air itu yang dibutuhkan perempuan ketika menstruasi, ketika melahirkan,” tukas Nada.

“Dan karena perannya ibu-ibu yang ada di desa ini adalah memasak dan lain-lain, ketika air itu hilang, maka ibu-ibu inilah yang pertama kali merasakan susahnya. Dampaknya itu ketika air itu hilang, ketika air itu tidak ada, dan lain-lain, sebenarnya itu bisa apa?”

Baca juga: Edisi Kemerdekaan: 6 Perempuan Muda Marjinal Bergerak, Jauh Dari Hingar-Bingar (2)

Kasus hilangnya mata air juga pernah terjadi di kawasan Gemulo. Bedanya, ujar Nada, para warga perempuan lebih terlihat perjuangannya. Mereka turun berdemo tanpa suruhan siapa pun. Sebab mereka merasakan kehilangan atas mata air di Gemulo akibat proyek investor hotel. Sementara ibu-ibu berdemo, para bapaklah yang menjalankan peran domestik untuk mengurus anak di rumah dan lain-lain.

“Terus juga cara-cara yang dilakukan ketika mereka melakukan demonstrasi itu juga halus,” Nada berkisah. “Ibu-ibu mengajak polisi-polisinya untuk ikut makan dan lain-lain, ketika ada salah satu warga yang ditangkap polisi dan yang mau di-BAP.”

Saat itu, semua warga bersolidaritas dengan tidur di depan kantor polisi. Hal itu juga dilakukan ibu-ibu sembari membawa anak-anak mereka. Bahkan, para ibu mengajak polisi ikut makan bersama.

“Sampai akhirnya membuat polisinya merasa tidak nyaman. Akhirnya dibebaskan orangnya, yang di-BAP.”

Namun, patriarki di isu lingkungan juga masih kuat terasa bagi Nada. Kondisi ini pula yang membatasi pengetahuan perempuan tentang lingkungan; padahal, jika bencana terjadi, merekalah yang bakal paling terdampak. Kapitalisme juga membuat budaya kumpul-kumpul warga, khususnya perempuan, saat memproduksi bahan pokok, jadi berkurang. Pengetahuan dan pengalaman lokal yang biasanya diturunkan dalam budaya guyub, jadi mulai menghilang.

“Jadi kayak, ternyata kapitalisme itu juga berdampak atas hilangnya pengetahuan perempuan,” ujar Nada getir.

“Pembagian peran antara perempuan dan laki-laki juga ternyata berpengaruh terhadap bagaimana akhirnya hubungan perempuan dengan alam terputus. Dan akhirnya mereka nggak tahu mana daerah yang rawan bencana dan mana yang tidak. Itu juga berbahaya bagi mereka.”

Baca juga: 15 Transpuan Seroja Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah: Lawan Krisis Iklim Dan Diskriminasi

Di sisi lain, Nada kurang sepakat dengan sebutan bahwa perempuan ‘lebih dekat dengan alam’ dan dibebani tanggung jawab sendiri atas alam. Baginya, menjaga alam adalah tugas bersama. Namun justru yang harus dipahami adalah bahwa ketika bencana alam terjadi, yang paling terdampak adalah perempuan.

“Banyak juga yang akhirnya bilang bahwa, ‘perempuan lebih dekat dengan alam’. Dan, ya udah, ‘perempuan yang harusnya menjaga alam’,” Nada berujar. “Ada di satu waktu itu malah jadi membuat penindasan sendiri bagi perempuan. Karena jadinya yang punya tanggung jawab merawat alam itu malah hanya perempuan saja.”

“Padahal tanggung jawab untuk merawat lingkungan itu tanggung jawab semua, tidak memandang gender. Tapi ketika kita melihat dampak dari kerusakan lingkungan, itu juga akan berbeda apa yang dirasakan perempuan dengan laki-laki. Akan salah jika kita mengkultuskan bahwa perempuan selalu dekat dengan alam dan akhirnya, itu malah jadi hanya dibebankan kepada perempuan.” 

Sementara itu, terkait aktivisme perempuan di isu lingkungan, Nada juga merasa dominasi laki-laki masih membuat ruang ekspresi perempuan terbatas. Namun, ia berusaha melampaui hal tersebut dengan berkolektif. 

“Aku juga melihatnya, sebetulnya banyak perempuan di Malang yang punya concern terhadap isu lingkungan. Tapi ya itu, enggak banyak yang percaya diri untuk ngomong di depan,” Nada berkata. “Enggak banyak yang percaya diri untuk ngambil kepemimpinan dan lain-lain.”

Baca juga: Forum WPS High Level ASEAN di Yogyakarta, Bakal Bahas Isu Migrasi Hingga Perubahan Iklim

“Tapi aku sangat bersyukur sih, bisa berjejaring dan terus belajar bareng dan lain-lain. Akhirnya sekarang lebih percaya diri dan kami bisa mengambil ruang untuk ngomong,” sahut Nada. “Mungkin dikasih ruang aja sih semuanya. Cuma saya merasa enggak punya pengetahuan yang sama. Dan enggak ada proses belajar bersamanya itu.”

Nada merespons momen peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 dengan miris. “Kita setiap tahun merayakan kemerdekaan. Tapi ya itu sih, setiap tahun juga saya merasa kalau kita semua belum merdeka. Tetap dalam penjajahan. Bedanya, dulu yang menjajah adalah kolonial. Tapi sekarang adalah elit-elit negara dan juga korporasi besar.”

“Jadi ya, sama aja sih. Sebetulnya kita merayakan ‘kemerdekaan’, tapi sebenarnya kita belum merdeka. Kita tetap aja masih ada zaman kolonial, tapi ada di zaman kolonialisme baru.”

Nada berharap, terutama untuk para perempuan pejuang lingkungan, agar semua bisa berjejaring melawan krisis iklim dan kerusakan lingkungan. 

“Pada akhirnya, isu lingkungan itu sangat berhubungan satu dengan yang lain dan kita semua akan merasakan dampaknya. Dan yang paling terdampak itu juga perempuan,” ucap Nada. “Jadi aku berharap perempuan-perempuan di seluruh Indonesia—seluruh dunia mungkin, kalau bisa—ayo kita berkolektif. Kita bersama-sama melawan kerusakan lingkungan. Aku merasa bahwa saling terhubung itu penting juga, supaya kita bisa saling menguatkan. Dan kita bisa tahu bahwa kita tidak sendiri melawan krisis lingkungan.”

5. Cindy Silviana: Tumbuhkan Kesadaran dan Penguatan Perempuan Terdampak PLTU Pangkalan Susu

Sabtu (10/8/24) siang saya berbincang via telepon dengan Cindy Silviana Boru Sihotang (23 tahun) di sela-sela aktivitasnya. Hari itu Cindy bersama alumni Green Leadership menanam mangrove di Pantai Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara.

Terlibat dalam aktivitas semacam ini menjadi bagian keseharian Cindy selain kuliah di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Sumatera Utara. Isu soal lingkungan dan krisis iklim sudah jadi perhatian Cindy sejak duduk di bangku kuliah.

Kondisi bumi yang makin tidak stabil menggugah keingintahuannya. Seperti cuaca yang tak menentu, waktu tanam yang sulit diprediksi, dan bencana yang terjadi dimana-mana. Semua fenomena ini mendorong Cindy untuk mencari tahu.

Ia pun menelusuri internet, mencari tahu soal lingkungan dan tersentak saat tahu kondisinya sudah sangat darurat. Namun orang-orang di sekitarnya hampir tidak ada yang membicarakan soal lingkungan hidup atau krisis iklim. Hal ini mendorong Cindy untuk memulai dari dirinya.

“Kondisinya darurat banget. Tapi aku ngeliat sedikit banget bahkan di sekeliling aku kayak hampir gak ada yang bener-bener speak up soal isu-isu lingkungan hidup atau krisis iklim. Dan karena aku tidak menemukan orang-orang seperti itu di lingkungan aku, jadi aku yang mau membentuk lingkungan itu. Jadi akhirnya aku mulai untuk pertama kalinya gabung di organisasi,” papar Cindy.

Ia bergabung dalam gerakan lingkungan dan terlibat bersama Extention Rebellion dalam aksi Global Climate Strike di Medan. Ia menginisiasi kegiatan ini di Titik Nol, Lapangan Merdeka Medan bersama teman-teman yang lain pada 2022. Setelah itu Cindy makin intens bergerak di isu lingkungan.

Baca juga: Menghadang Banjir Rob: Jalan Terendam dan Gelap, Perempuan Melahirkan di Perahu

Seiring dengan aktivitasnya, Cindy merasa melakukan kampanye melalui media sosial dan aksi tidaklah cukup. Karena ia tinggal di kota, jadi dampak krisis iklim atau kerusakan lingkungan tidak terlalu besar ia rasakan. Cindy ingin melihat langsung situasi di tapak dan yang dirasakan oleh masyarakat yang terdampak.

Sampai akhirnya Cindy bertemu dengan Yayasan Srikandi Lestari yang bergerak untuk isu keadilan ekologis lewat advokasi dan pendidikan. Lembaga ini berfokus mendampingi masyarakat terdampak polusi dan limbah PLTU Pangkalan Susu yang memakai energi batubara.

Awalnya Cindy ikut pelatihan resolusi konflik yang diadakan Yayasan Srikandi Lestari. Dari situ Cindy dan teman-temannya diajak ke tapak oleh Direktur Yayasan Srikandi Lestari, Mimi Surbakti. Kunjungan pertama tersebut kemudian berlanjut, Cindy juga pernah live in atau tinggal di rumah warga. Hingga Cindy menjadi volunteer di bagian publikasi dan kampanye Yayasan Srikandi Lestari.

Pertemuan Cindy dengan warga terdampak PLTU Pangkalan Susu ini memberi pengalaman tersendiri dan meneguhkan komitmennya untuk mendampingi dan membersamai warga.

“Aku berkesempatan untuk melihat langsung masyarakat yang berada di dekat lokasi PLTU. Perubahan sosial dan ekonomi yang mereka rasakan itu sangat menyentuh hati aku. Aku merasa situasinya bukan lagi individual sifatnya, tapi memang bener-bener sistemik,” ujar Cindy.

“Dan akhirnya aku memutuskan akan berkomitmen untuk berada di isu lingkungan. Untuk bersama-sama dengan masyarakat menyuarakan apa yang menjadi keresahan mereka,” tambahnya.

Penghidupan dan Kesehatan Warga Terancam

Keberadaan PLTU Pangkalan Susu membawa dampak buruk bagi warga desa yang lokasinya berdekatan dengan pembangkit listrik tersebut. Penghidupan warga desa yang bekerja sebagai petani, nelayan dan petambak jadi terganggu.

Cindy menjelaskan warga desa mengungkapkan penghasilan mereka dari bertani banyak berkurang. Pada saat panen raya dari yang biasanya bisa menghasilkan sampai 7 ton beras, turun jadi 1 ton per masa panen. Biasanya rata-rata panen bisa mendapatkan hasil 5 ton per panen. Penurunan produksi ini terjadi mulai tahun 2019 atau ketika PLTU mulai beroperasi.

Gagal panen jadi sering terjadi. Biasanya karena padi gosong atau mereka menyebutnya dengan istilah cekek leher. Padi jadi berubah warna dan tidak layak untuk dipanen. Tanaman padi juga jadi pantang kena angin. Kalau kena angin sedikit, langsung tumbang.

Kondisi tanaman padi yang tumbang karena angin.

Hama juga jadi lebih banyak jenisnya dan jadi lebih resisten. Jika dulu hanya ada 1-2 jenis hama, sekarang jadi tambah banyak. Karena sudah resisten, dosis untuk pembasmi hama jadi naik. Kalau dulu misalnya pakai merk A, sekarang sudah tidak mempan. Jadi mereka harus ganti merk pembasmi hama yang lebih kuat, jelasnya.

Kondisi ini menyebabkan biaya produksi jadi naik tapi tidak sebanding dengan hasilnya. Warga jadi harus pinjam uang untuk kembali menanam. Sedang hasil panennya tidak cukup untuk melunasi utang dan di sisi lain mereka butuh modal untuk kembali menanam. Kondisi ini membuat warga jadi terlilit utang.

Berkurangnya pendapatan juga dirasakan nelayan. Kalau dulu sebelum PLTU beroperasi, pendapatan nelayan sekali melaut bisa mencapai 300 hingga 500 ribu. Sekarang mereka hanya bisa mendapat 50 sampai 70 ribu.

Baca juga: Mengapa Para Perempuan Berani Hidup di Lingkar Tambang? 

“Bahkan ada warga yang menjual sampan atau perahunya agar dia bisa berangkat ke Aceh untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Karena kebutuhan mereka nggak tercukupi,” ujar Cindy.

Kondisi serupa juga dialami para petambak udang. Ibaratnya kalau mereka menebar seribu bibit, maka yang bertahan hanya setengahnya bahkan hanya seperempatnya. Kondisi ini membuat para tauke tambak gulung tikar.

“Dari cerita Ibu N, dulu warga bisa memenuhi kebutuhan sekunder bahkan tersier. Kayak ibaratnya mereka masih bisa beli motor atau pergi jalan-jalan. Sekarang jangankan untuk mikirin jalan-jalan, untuk kebutuhan pokok seperti makan dan uang sekolah saja kurang,” terang Cindy.

Karena itu warga di sana banyak yang tidak hanya mengandalkan pada satu pekerjaan. Mereka harus punya sumber pendapatan lebih dari satu.

Keluhan dan gangguan kesehatan juga dirasakan oleh warga akibat pencemaran PLTU Pangkalan Susu yang memakai batubara untuk sumber energinya. Banyak masyarakat terutama anak-anak yang mengeluh gatal-gatal, bahkan sampai merah-merah dan bernanah. Mereka harus mengonsumsi obat setiap hari agar gatal-gatalnya tidak kambuh. Kalau berhenti minum obat gatal-gatal akan muncul lagi.

Penyakit gatal hingga bernanah yang dialami salah satu warga.

Anak-anak yang mengalami gatal-gatal menerima bully karena tangan dan kulit mereka berdarah dan bernanah. Mereka juga tidak bisa memegang pensil untuk menulis akibat gatal. Anak-anak tersebut akhirnya tidak bersekolah.

Baca juga: Kupatan Kendeng: Mengurai Konflik Akibat Tambang dan Ajakan Menjaga Ibu Bumi

Data yang dihimpun Yayasan Srikandi Lestari terhadap warga di sekitar lokasi PLTU pada semester pertama 2022 menunjukkan lima jenis penyakit yang banyak dikeluhkan warga. Data ini berasal dari 333 orang yang terdiri dari 202 laki-laki dan 131 perempuan. Adapun rentang usia 1 sampai 19 tahun berjumlah 98 orang. Sedang usia 20 hingga 75 tahun berjumlah 235 orang.

Jenis Penyakit Jumlah
Gatal-gatal 243
Batuk/Sesak nafas & ISPA 42
Hipertensi 39
Paru hitam 4
Kelenjar/Tiroid 4
Sumber: Yayasan Srikandi Lestari

Kasus paru-paru hitam juga ditemui di masyarakat sebanyak 4 kasus. Dari jumlah tersebut sebanyak 3 orang meninggal karena paru-paru hitam dan 1 orang paru-parunya hancur.

Ada juga kasus anak yang menjadi obesitas diduga karena konsumsi obat gatal-gatal. Menurut ibu si anak, dia tidak mengonsumsi obat lain kecuali obat gatal dan porsi makannya tidak berubah. Namun perubahan berat badannya tampak setelah anak minum obat gatal.

Dengan gangguan kesehatan yang dialami warga, mereka harus menyisihkan pendapatannya untuk berobat. Jumlahnya pun tidak sedikit karena seperti gatal misalnya, mereka harus terus-terusan mengonsumsi obat agar tidak muncul gatal-gatal kembali. Kondisi ini makin memberatkan warga karena ada biaya kesehatan yang harus mereka tanggung.

Edukasi Untuk Tumbuhkan Kesadaran dan Penguatan Ekonomi

Kondisi ruang hidup warga yang tinggal di sekitar PLTU sudah tercemar bahkan bisa dibilang kawasan ini berbahaya bagi warga sekitar. Namun pemerintah tampak abai atas hal ini, tidak ada upaya edukasi yang dilakukan terhadap masyarakat. Apalagi upaya perlindungan, pemulihan dan perbaikan.

Bersama Yayasan Srikandi Lestari, Cindy melakukan advokasi dan pendampingan kepada masyarakat di sekitar PLTU Pangkalan Susu. Wilayah dampingan Yayasan ini mencakup lima desa yakni Desa Pulau Sembilan, Pintu Air, Tanjung Pasir, Beras Basa, dan Lubuk Kertang.

Mereka mengadakan pelatihan untuk masyarakat terutama kelompok perempuan di sejumlah desa tersebut. Mereka juga melakukan monitoring terhadap kondisi masyarakat di tapak dan memberikan edukasi soal bahaya limbah PLTU. “Kita juga sering monitoring di sana situasinya gimana. Setiap bulan tuh pasti akan monitoring untuk melihat kondisi di tapak itu udah kaya gimana,” ujar Cindy.

6. Sucia Lisdamara: Pulang ke Kampung, Perkuat dan Jaga Masyarakat Adat

Pulang ke kampung dan kembali ke komunitas adat adalah jalan yang dipilih Sucia. Perempuan bernama lengkap Sucia Lisdamara Yulmanda Taufik ini berasal dari Bayah, Kasepuhan adat Banten Kidul, Jawa Barat.

Setelah menyelesaikan kuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Banten, Sucia memilih untuk kembali ke kampung halaman. Ketka kuliah dan merantau ke kota, ia sempat berpikir akan terus merantau dan mencari pekerjaan di kota.

“Awalnya mikirnya ya setelah kuliah aku mau merantau, mau nyari kerja di kota. Karena bayangan aku tuh dulu ya kehidupan di kota itu jauh lebih menyenangkan, ramai, terus peluang pekerjaan banyak,” tutur Sucia kepada Konde.co, Sabtu (10/8/24).

Namun pandangannya berubah ketika ia mulai mengenal organisasi masyarakat adat dan terlibat dalam aktivitas bersama komunitas adat. Ia merasa beruntung karena dikenalkan dengan organisasi masyarakat adat setelah lulus sekolah dan kuliah. Dari situ Sucia mulai berubah pikiran, ia menyadari pentingnya menjaga alam dan memperkuat kampung.

Sucia akhirnya memutuskan untuk pulang kampung setelah lulus kuliah pada 2021 dan menetap di kampung sampai sekarang. Perempuan berusia 25 tahun ini kemudian bekerja di desa sebagai perangkat desa.

Kegiatan nonton bareng film gerakan pulang kampung di Sekolah Adat Rompok Aksara pada Maret 2024

Ia juga aktif di organisasi masyarakat adat, yakni Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Saat ini Sucia diberi amanat sebagai Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Jawa. BPAN adalah organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mewadahi kelompok muda adat.

“Harapan aku meskipun dampak aku tidak terlalu besar untuk kampungku tapi teman-teman yang lain bisa melihat dan termotivasi untuk mulai sadar. Bahwa kalau bukan kita yang menjaga kampung, mau siapa lagi?” tuturnya.

Perusahaan Masuk di Desa Ancam Penghidupan Warga

Sehari-hari Sucia bekerja sebagai staf ekonomi pembangunan dan kesejahteraan rakyat di desa. Posisinya sebagai perangkat desa membuatnya menjadi tahu lebih banyak tentang kondisi masyarakat dan keadaan desanya.

Seperti masuknya perusahaan-perusahaan besar atau korporasi di desa dan mengubah kondisi desa. Salah satunya dilakukan PT Cemindo Gemilang yang selama 10 tahun terakhir mengubah kondisi desanya secara drastis. Perusahaan tersebut beroperasi di Bayah, Kabupaten Lebak, Banten sejak 2015 dan memproduksi semen dengan merk Semen Merah Putih. Selain menambang karst, perusahaan tersebut juga mengoperasikan pabrik semen.

Keberadaan perusahaan besar juga mengundang perusahaan-perusahaan lain untuk masuk dan beroperasi di desa. Sucia menuturkan beberapa tahun terakhir kondisi udara di Bayah sudah tak beda jauh dengan Jakarta, pengap karena polusi. Belum lagi hutan dan wilayah-wilayah adat yang dicaplok perusahaan dan terancam beralih fungsi.

Bahkan sungai yang melintasi desanya juga mulai tercemar. Tadinya warga biasa memakai air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mandi. Namun sekarang warga sudah tidak bisa menggunakannya karena kotor.

“Tadinya bisa dipakai mandi, airnya bersih. Sekarang sudah tidak bisa lagi, airnya sudah kotor dan tercemar oleh limbah pabrik,” jelas Sucia.

Pencemaran laut juga terjadi akibat kapal-kapal tongkang pengangkut batubara yang akan dikirim ke PT Cemindo Gemilang terdampar di pantai Bayah. Kejadian seperti ini tak hanya sekali dua kali, terakhir awal Agustus kemarin. Dalam kejadian itu tak hanya tongkang pengangkut batu bara yang terdampar. Kapal tugboat yang hendak menyelamatkan dengan menarik tongkang tersebut, justru ikut terseret dan terdampar di bibir pantai.

Baca juga: Edisi Kartini: Pergi ke Morowali, Kutemui Para Perempuan Muda Pekerja Tambang

Batu bara yang tumpah akibat tongkang terdampar menyebabkan laut tercemar. Selain itu aktivitas tongkang juga mengakibatkan beberapa kali perahu nelayan tertabrak. Sejauh ini belum pernah ada korban yang meninggal dunia. Biasanya perahu nelayan jadi rusak.

Aktivitas tongkang juga menyebabkan nelayan tradisional terpaksa mencari ikan ke lokasi yang lebih jauh. Sementara nelayan di Bayah umumnya nelayan tradisional dengan perahu kecil. Mereka akan membutuhkan bahan bakar lebih banyak kalau harus melaut di tempat yang lebih jauh.

Polusi udara akibat aktivitas pabrik dan penambangan juga sangat mengganggu. Disinyalir sistem dust collector perusahaan bermasalah. Warga beberapa kali sudah melaporkan soal ini. Laporan itu ditanggapi Dinas terkait dengan pengecekan. Namun memang sebelum melakukan pengecekan biasanya Dinas mengirimkan surat pemberitahuan akan adanya pemeriksaan.

“Anehnya setiap kali pemerintah datang ke situ untuk mengecek kualitas udara di Bayah, hasilnya selalu bersih.”

Pemerintah desa juga sudah pernah mengeluarkan surat teguran. Tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

“(Pemerintah) desa juga pernah mengirimkan surat teguran gitu. Tapi, ujung-ujungnya damai.”

Sucia menuturkan masyarakat tidak tinggal diam melihat kerusakan lingkungan yang terjadi di daerahnya. Masyarakat Adat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Bayah (JMPB) beberapa kali menggelar aksi. Sucia juga terlibat dalam aksi tersebut.

Baca juga: Edisi Khusus Feminisme: Ekofeminisme Perjuangkan Lingkungan Ramah Perempuan

Mereka pernah menggelar aksi berupa penanaman kembali di daerah tangkapan air di Sumber Mata Air Cipicung, pembagian bibit pohon dan pembagian masker gratis.

Selain itu nelayan juga pernah melakukan aksi di tengah laut di dekat dermaga dengan membentangkan spanduk menuntut tanggung jawab perusahaan. Mereka juga menggelar aksi dan membentangkan spanduk di area jalan yang dilalui mobil-mobil perusahaan.

JMPB juga bekerja sama dengan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) untuk memberikan pelatihan paralegal kepada warga. Dengan begitu warga bisa mengadvokasi persoalan lingkungan yang terjadi di Bayah.

Hingga hari ini perusahaan masih beroperasi dan masyarakat adat di Bayah masih berjuang menjaga ruang hidupnya dari kerusakan. Apalagi PT Cemindo Gemilang sudah mengeklaim hutan titipan milik masyarakat adat dengan memasang plang yang menyebutkan tanah tersebut milik perusahaan.

Leuweung titipan (hutan titipan) adalah kawasan yang dikeramatkan. Kawasan hutan ini juga tidak boleh diganggu atau dirusak.

Leuweung titipan itu memang hutan yang tidak boleh diproduksi karena di dalamnya mengandung banyak sekali sumber daya alam. Ada mata air, flora, fauna, terus kekayaan alam lain yang sangat dijaga oleh masyarakat adat,” terang Sucia.

Masyarakat Adat Penjaga Alam

Perkenalan Sucia dengan akar budayanya bermula dari ajakan paman atau uwak untuk melihat ritual adat, sebuah tradisi yang biasa dijalankan masyarakat adat. Meski Sucia merupakan bagian dari masyarakat adat Kasepuhan Bayah, tapi sebelumnya ia awam dan tidak mendalami adat-istiadat komunitasnya.

Latar belakang pendidikannya yang dari SD sampai SMA berbasis agama membuat Sucia sempat memandang sebelah mata terhadap ritual masyarakat adat. Namun setelah Sucia mengenal dan mendalami nilai dan tradisi masyarakat adat, ia pun berubah pikiran.

Sucia mulai menyadari bahwa masyarakat adat sangat dekat dengan alam. Alam bukan hanya menjadi sumber ekonomi tapi sekaligus sumber penghidupan bagi masyarakat adat. Ia juga makin sadar bahwa masyarakat adat justru adalah penjaga alam.

Sucia menambahkan upacara dan ritual adat yang dijalankan masyarakat adat merupakan upaya untuk menjaga alam. Ia sekaligus merupakan bentuk rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan anugerah yang luar biasa melalui alam.

Kegiatan penyusunan rencana pemetaan wilayah adat Kasepuhan Cicarucub pada Maret 2024

“Nah dari situlah Cia mulai sadar bahwa alam penting sekali untuk saya jaga dan saya lestarikan,” katanya.

Pengetahuan dan praktik hidup yang dijalankan masyarakat adat selalu berpulang pada upaya untuk menjaga agar alam tetap seimbang. Karena itu menurut Sucia persoalan krisis iklim dan lingkungan bisa dicari jawabannya dengan bercermin pada masyarakat adat yang menjaga alam.

Baca juga: Menghadang Banjir Rob: Jalan Terendam dan Gelap, Perempuan Melahirkan di Perahu

Ia menjelaskan masyarakat adat punya praktik menjaga alam salah satunya dengan zonasi wilayah. Seperti yang ada di Kasepuhan, mereka membagi wilayah adat dalam zona-zona tertentu. Ada hutan tutupan, yakni kawasan hutan yang harus benar-benar dijaga. Kawasan hutan yang seluruh sumber dayanya dilindungi dan tidak bisa digunakan kecuali sumber daya airnya saja sebagai sumber pengairan.

Selain itu ada leuweung cadangan/cawisan (hutan cadangan), yaitu kawasan hutan yang saat ini tidak boleh diganggu dan dirusak. Tetapi suatu saat bisa digunakan sebagai cadangan bagi incu putu atau generasi penerus. Terakhir leuweung garapan (hutan garapan) yaitu kawasan yang bisa digarap dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian, kebun, pemukiman, dan sarana lainnya.

“Kita punya zonasi wilayah, mana hutan tutupannya, mana wilayah yang bisa menjadi sumber perekonomian atau yang bisa digarap. Dan mana yang bisa dijadikan cadangan untuk masa depan,” paparnya.

Ia menambahkan praktik lain yang dijalankan masyarakat adat adalah mereka memulai setiap kegiatan dengan ritual.

“Masyarakat adat ini setiap menjalankan apapun itu dengan ritual. Bukan berarti ritual itu hanya seremoni saja, tapi di dalamnya terkandung banyak sekali makna dan ajaran-ajaran.”

“Tujuannya itu yang pertama selain untuk bersyukur juga untuk membatasi diri. Bahwa yang akan kita ambil itu harus kita kembalikan lagi dengan cara kita menjaganya dengan baik. Tidak mengambilnya dengan serakah. Itu praktik-praktik yang dilakukan masyarakat adat terutama yang ada di Kasepuhan,” pungkasnya.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Edisi Kemerdekaan: Perempuan Muda Atasi Krisis Iklim dan Lingkungan (2)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us