‘Electoral Financing’ Bisa Dukung Perempuan Marginal Wujudkan Keterwakilan Substantif

‘electoral-financing’-bisa-dukung-perempuan-marginal-wujudkan-keterwakilan-substantif

Pemilu 2024 disebut menghasilkan anggota DPR RI perempuan paling banyak sepanjang sejarah pemilu pasca era Reformasi. Temuan ini dilansir dalam laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) April 2024 kemarin.

Dari 580 anggota DPR terpilih, 21,9 persen di antaranya adalah perempuan. Artinya ada peningkatan keterwakilan perempuan dari pemilu 2019 yang mencapai 20,5%.

Sayangnya kita belum bisa mengetahui latar belakang dari para perempuan yang lolos ke Senayan tersebut. Namun sejauh ini bisa dibilang perempuan dari kelompok marginal belum punya cukup keterwakilan atau representasi di parlemen.

Representasi Deskriptif dan Representasi Substantif

Salah satu paradigma yang digunakan untuk menjelaskan konsep representasi adalah paradigma yang ditawarkan Hanna Pitkin. Dalam bukunya yang berjudul The Concept of Representation Pitkin menjelaskan konsep representasi memiliki beragam tipologi dan makna.

Dalam konteks representasi atau keterwakilan politik terdapat perbedaan yang jelas antara representasi deksriptif dengan representasi substantif. Representasi deskriptif merupakan konsep yang terinspirasi dari pemikiran John Adams. Ia seorang negarawan Amerika Serikat yang mengemukakan bahwa konsepsi keterwakilan di dalam parlemen haruslah sesuai dengan keadaan sosiologis masyarakat. Dengan kata lain parlemen haruslah menjadi sebuah miniatur masyarakat (Pitkin, 1967).

Dalam konteks representasi deskriptif, perempuan diharapkan untuk mendapatkan angka keterwakilan sebesar 50% dari total populasi. Sehingga representasi deskriptif dapat didefinisikan sebagai konsep representasi yang melihat konsep keterwakilan secara kuantitatif dan statistik. Di sisi lain terdapat pula representasi substantif yang tidak terlalu mementingkan angka kuantitatif keterwakilan perempuan di dalam parlemen. Sebaliknya ia mementingkan kualitas dari legislator tersebut dalam mewakili konstituen dan bertindak dalam mewakili konstituennya.

Dalam konteks representasi substantif terhadap perempuan dapat didefinisikan sebagai tindakan seorang legislator yang bertindak seakan-akan dia adalah perempuan atau masyarakat yang sedang diadvokasi kepentinganya.

Hal menarik dari kedua konsep ini adalah bagaimana relasi antara jumlah kuantitatif perempuan di parlemen dengan keterwakilan substantif perempuan di dalam parlemen. Dalam kajian literatur yang dirumuskan para akademisi, terdapat perbedaan pendapat yang signifikan.

Di satu sisi terdapat akademisi yang mengungkapkan bahwa jumlah perempuan di parlemen menentukan representasi substantif perempuan di dalam parlemen. Misalnya Paxton & Hughes (2020) yang berargumen bahwa kehadiran perempuan secara kuantitatif di parlemen dapat meningkatkan kepekaan parlemen yang berimplikasi pada representasi substantif.

Namun di sisi lain terdapat argumen yang menyatakan representasi deskriptif belum tentu melahirkan representasi substantif, seperti disampaikan Karen Celis. Ia meneliti perilaku politik parlemen di Belgia sejak tahun 1900 – 1979. Celis berkesimpulan representasi deskriptif atau jumlah perempuan di dalam parlemen tidak secara otomatis akan meningkatkan representasi substantif perempuan (Celis, 2007).

Hal tersebut juga dikonfirmasi Garboni (2015) yang menyimpulkan dalam kasus parlemen di Romania bahwa jumlah parlemen dalam perempuan sangatlah penting. Namun tidak secara otomatis akan meningkatkan representasi perempuan di dalam parlemen.

Pentingnya Kerangka Feminisme Interseksionalitas

Dalam konteks Indonesia kita perlu bersyukur dengan penggunaan sistem pemilu proporsional yang secara teoretis dan historis lebih ramah terhadap keterwakilan perempuan (Paxton & Hughes, 2020). Ditambah lagi dengan 2 kebijakan afirmasi seperti kuota gender 30% dan zipper system yang secara empiris meningkatkan representasi deskriptif perempuan yang mencapai hampir 22% di pemilu 2024 berdasarkan proyeksi perludem.

Namun dalam membicarakan representasi perempuan, kita perlu menggunakan kerangka feminisme interseksionalitas. Kerangka ini turut melihat identitas sosial lain di luar gender yang sering kali menghasilkan opresi ganda. Dalam konteks Indonesia, sering kali perempuan-perempuan masyarakat adat mengalami opresi terhadap dirinya maupun lingkungannya serta menjadi kelompok yang dimarginalkan. Sehingga perempuan adat cenderung mengalami ketertindasan karena ia perempuan dan juga ditindas lingkunganya tempat perempuan hidup.

Bukan hanya masyarakat adat, pekerja perempuan, perempuan disabilitas, dan perempuan di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) mengalami ketertindasan yang sama. Ketertindasan yang mereka alami tidak bisa disamakan dengan permasalahan perempuan yang ada di kota. Untuk itu, ketika membicarakan representasi substantif, ada baiknya kita menggunakan kerangka interseksionalitas feminis.

Dalam konteks gerakan ekofeminisme di Indonesia, sering kali kita mendengar perjuangan perempuan-perempuan adat untuk melindungi lingkunganya. Ada Mama Aleta Baun, Yu Sukinah, dan yang terbaru gerakan Wadon Wadas. Perjuangan mereka membuka mata kita bahwa perempuan masyarakat adat berada pada posisi yang sangat rentan. Pasalnya kapitalisme terus mengeksploitasi lingkungan mereka sementara patriarki menindas keperempuanan mereka.

Sayangnya perwakilan perempuan yang ada di parlemen belum berhasil mengadvokasi kepentingan perempuan-perempuan yang dimarginalkan khususnya masyarakat adat. Fakta tersebut terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman legislator perempuan di dalam parlemen terkait permasalahan perempuan masyarakat adat. Hal ini terlihat jelas dengan pola-pola wakil perempuan yang duduk di dalam parlemen. Sebanyak 43% perempuan yang duduk di parlemen memiliki hubungan kekerabatan dengan elit-elit politik. Sehingga dinasti politik menjadi salah satu variabel yang cukup determinan dalam keterpilihan seorang legislator perempuan (Umagapi, 2020).

Dengan kata lain 43% perempuan yang terpilih merupakan kelompok menengah keatas yang punya pemahaman terbatas akan isu-isu pekerja perempuan, perempuan adat, dan perempuan difabel.

Electoral Financing Sebagai Alternatif

Berdasarkan hal tersebut, perlu ada alternatif dari kebijakan kuota gender yang dapat meningkatkan representasi deskriptif terutama substantif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan-perempuan marginal seperti perempuan masyarakat adat, perempuan papua, hingga pekerja perempuan.

Salah satu bentuk kebijakan afirmasi yang patut dicoba adalah “Electoral financing” yang sebenarnya sering kali digunakan dalam sistem majoritarian. Electoral financing atau pembiayaan politik elektoral dapat didefinisikan sebagai suatu kebijakan afirmasi yang memberikan bantuan biaya politik baik secara tidak penuh maupun secara penuh demi meningkatkan posibilitas keterpilihan suatu calon legislatif dalam hal ini perempuan. Fakta empiris menunjukan bahwa electoral financing sejatinya telah berhasil meningkatkan representasi deskriptif perempuan, sebagai contoh di Malawi yang mengalami peningkatan 9-10% akibat kebijakan tersebut (Kayuni & Muriaas, 2014).

Dalam konteks Indonesia saya melihat potensi electoral financing dapat menyasar perempuan perempuan marginal terkhusus masyarakat adat untuk berkontestasi di dalam politik, di tengah mahalnya politik di Indonesia. Urgensi masuknya perempuan marginal seperti perempuan adat, pekerja perempuan, hingga perempuan di Papua adalah demi meningkatkan representasi substantif yang ada di Indonesia, sebab dapat dikatakan bahwa perwakilan rakyat yang ada di dalam parlemen tidak terlalu paham terkait permasalahan tersebut khususnya terkait perempuan-perempuan yang berada pada posisi marginal ganda. Hal tersebut turut dijelaskan di dalam bukunya Anne Phillips yang berjudul “The Politics of Presence” yang menyebutkan bahwa kesamaan identitas merupakan hal yang penting sebab kesamaan identitas melahirkan pengalaman yang sama. Untuk itu menjadi penting untuk merumuskan kebijakan afirmasi yang menyasar pada perempuan perempuan marginal

Dalam konteks pemilu 2024, dapat kita lihat perjuangan Mama Aleta Baun sebagai salah satu aktivis masyarakat adat sekaligus salah satu aktivis Ekofeminisme di Indonesia pada pemilu 2024 telah mencalonkan diri sebagai Anggota DPR. Dikutip dari BBC Indonesia tujuan Mama Aleta Baun mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif disebabkan keinginanya yang mendalam untuk mewakili dan merepresentasikan masyarakat, Namun karena keterbatasan dana, dan kampanye yang sifatnya door-to door, ide nya tidak tersebar di seluruh dapil pemilihannya. Disinilah peran dan posisi electoral financing dalam konteks kebijakan afirmasi. Perempuan perempuan yang dimarginalkan secara esktrem seperti perempuan adat, pekerja perempuan, hingga perempuan di  daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) sering kali terhambat dengan keterbatasan dana yang menyebabkan sulit bagi mereka untuk mencalonkan diri demi mengisi posisi publik.

Baca juga: Kita Bisa Belajar dari Kartini, Pemilu Bukan Soal Perolehan Suara dan Rebutan Kekuasaan

Diharapkan dengan adanya electoral financing atau pembiayaan politik terhadap perempuan perempuan tersebut dapat meningkatkan representasi deskriptif perempuan sekaligus meningkatkan representasi substantif perempuan. Hal itu disebabkan karena perempuan tersebut memiliki pemahaman yang lebih mendalam terkait dengan problem masyarakat adat, problem kaum pekerja hingga problem masyarakat di wilayah 3T. Hal ini tentu akan membuka cakrawala parlemen yang lebih jelas terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi pada masyarakat adat, kaum pekerja, perempuan difabel dan permasalahan di wilayah 3T

Tulisan saya tidak akan membahas secara teknis bagaimana alokasi pembiayaan politik tersebut pada perempuan dengan latar belakang masyarakat adat, pekerja, maupun perempuan di wilayah 3T. Sebab dalam berbagai literatur politik terdapat berbagai model yang menjelaskan teknis “electoral financing”. Namun dapat saya konklusikan bahwa dengan fakta empiris di Malawi, Ghana, Amerika Serikat, dan Kenya bahwa terdapat peningkatan representasi perempuan secara deskriptif melalui kebijakan “electoral financing”(Muriaas et al, 2020). Terdapat celah yang dapat dimanfaatkan dalam konteks Indonesia untuk meningkatkan representasi perempuan secara deskriptif maupun substantif.

Dalam konteks representasi substantif pembiayaan politik atau “electoral financing” ditujukan untuk menyasar perempuan perempuan yang mengalami opresi ganda seperti pekerja perempuan, perempuan masyarakat adat, hingga perempuan yang berada pada wilayah 3T sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri perempuan-perempuan tersebut untuk berkontestasi politik di tengah mahalnya politik di Indonesia. Kehadiran perempuan-perempuan tersebut diharapkan dapat membuka cakrawala parlemen menjadi lebih inklusif dan dapat mengakomodasi kaum marginal secara lebih baik.

Referensi

Celis, K. (2007). Substantive representation of women: the representation of women’s interests and the impact of descriptive representation in the Belgian parliament (1900–1979). Journal of Women, Politics & Policy, 28(2), 85-114.

Garboni, E. S. (2015). The impact of descriptive representation on substantive representation of women at European and national parliamentary levels. Case Study: Romania. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 183, 85-92.

Kayuni, H. M., & Muriaas, R. L. (2014). Alternatives to gender quotas: Electoral financing of women candidates in Malawi. Representation, 50(3), 393-404.

Muriaas, R., Wang, V., & Murray, R. (2020). Gendered Electoral Financing. Abington, UK: Routledge. doi, 10, 9780429284311.

Paxton, P., Hughes, M. M., & Barnes, T. D. (2020). Women, politics, and power: A global perspective. Rowman & Littlefield Publishers.

Phillips, A. (1998). The politics of presence. OUP Oxford.

Pitkin, H. F. (2023). The concept of representation. Univ of California Press.

Umagapi, J. L. (2020). Representasi Perempuan Di Parlemen Hasil Pemilu 2019: Tantangan Dan Peluang. Kajian, 25(1), 19-34.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
‘Electoral Financing’ Bisa Dukung Perempuan Marginal Wujudkan Keterwakilan Substantif

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us