Tahun 2021, British Council Indonesia menerbitkan laporan hasil studi untuk merespons kebijakan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar atau English as a medium of instruction (EMI) yang marak diterapkan oleh beberapa universitas di Indonesia sebagai bagian dari program internasionalisasi perguruan tinggi.
Kebijakan EMI ‘mengharuskan’ semua bentuk komunikasi, baik itu instruksi dari pengajar, materi, serta interaksi antara pengajar dan pelajar di kelas dilakukan hanya dalam bahasa Inggris.
Sayangnya, penerapan kebijakan EMI ini tidak selalu berjalan dengan efektif. Sebuah penelitian di Swedia bahkan menyimpulkan bahwa EMI, dalam keadaan tertentu, dapat mempunyai konsekuensi negatif terhadap kinerja akademik siswa.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Kompromi demi gengsi
Laporan studi dari British Council Indonesia menemukan bahwa kebijakan penerapan EMI di Indonesia menyebar secara lebih cepat di institusi yang lebih bergengsi sebagai upaya mempertahankan prestise mereka dan umumnya disambut oleh staf pengajar secara positif dan antusias.
Namun, secara garis besar, penerapan EMI ini tidak berjalan baik karena banyak mahasiswa yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih kurang memadai.
Sebuah penelitian di Indonesia tahun 2013, contohnya, menemukan bahwa meskipun dosen dan mahasiswa menyadari pentingnya memiliki kemampuan berbahasa Inggris, mereka mengalami kesulitan ketika bertransisi secara mendadak menggunakan bahasa Inggris saja di kelas.
Selain itu, mayoritas dosen belum memahami cara mengadaptasi metode pengajaran mereka dalam bahasa Inggris. Sebuah riset tahun 2018 di sekolah pendidikan guru di Indonesia menemukan bahwa meskipun beberapa dosen merasa percaya diri menerapkan kebijakan EMI, kemampuan menulis mereka dalam bahasa Inggris masih kurang memadai. Silabus yang mereka tulis dalam bahasa Inggris mencerminkan kesalahan-kesalahan penggunaan gramatika dan pemilihan kata dalam bahasa Inggris.
Alhasil, penerapan kebijakan menjadi tidak maksimal. Baik pengajar atau murid mencampur bahasa Indonesia dan Inggris di kelas.
Tidak otomatis fasih
Ahli-ahli pendidikan bahasa Inggris juga mengkritik kebijakan EMI. Mereka membantah pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris saja di kelas akan membuat pelajar otomatis fasih berbahasa Inggris. Ernesto Macaro, Profesor Emeritus di University of Oxford, Inggris, misalnya, menyatakan bahwa keyakinan tersebut tidak dapat dibuktikan.
Miles Turnbull dari University of Prince Edward Island, Kanada dan Jennifer Dailey-O’Cain dari University of Alberta, Kanada, juga menambahkan bahwa kebijakan ini justru merugikan pelajar. Mereka berpendapat bahwa bagi pelajar-pelajar bilingual atau multilingual (berbicara lebih dari satu bahasa, seperti di konteks Indonesia), code-switching (berganti dari satu bahasa ke bahasa lain) berlangsung secara alami dan tidak dapat dihindari.
Kebijakan menggunakan bahasa Inggris saja di kelas di tingkat universitas justru dapat menimbulkan diskriminasi terhadap mahasiswa yang kemampuan bahasa Inggrisnya belum memadai serta menghambat mahasiswa memaksimalkan pengetahuan akademisnya.
Sebuah penelitian di Israel menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Inggris saja di kelas mengesampingkan fakta bahwa sebenarnya mahasiswa memproses pengetahuan yang mereka pelajari di kelas melalui lebih dari satu bahasa yang mereka miliki. Kebijakan ini memaksa mahasiswa untuk berpikir dalam satu bahasa saja dan ‘mematikan’ fungsi bahasa-bahasa lain yang mereka miliki. Padahal, bahasa-bahasa tersebut mereka gunakan untuk mencoba memahami pembelajaran dan membuat proses pembelajaran mereka lebih bermakna.
Ketidakpercayaan diri dalam berbahasa
Kebijakan penggunaan bahasa Inggris saja di kelas juga dapat mengakibatkan ketidakpercayaan diri dalam berbahasa karena biasanya penggunaan bahasa-bahasa lain yang dimiliki mahasiswa (seperti bahasa ibu mereka, bahasa lokal, dan bahasa nasional) dianggap sebagai kelemahan atau kekurangan, bahkan dilarang untuk digunakan.
Dalam konteks perguruan tinggi Indonesia, ini berarti kebijakan EMI ‘memaksa’ mahasiswa meninggalkan bahasa-bahasa lain mereka, atau dengan kata lain, meninggalkan identitas bilingual atau multilingual mereka.
Padahal, Lourdes Ortega, peneliti bahasa dari Georgetown University, Amerika Serikat (AS), menyatakan bahwa semua orang berhak untuk merasa percaya diri dengan kemampuan linguistik mereka dan dalam menggunakan bahasa-bahasa yang mereka miliki.
Metode translanguaging sebagai alternatif
Studi-studi yang dipaparkan di atas membuktikan bahwa kebijakan EMI di kelas-kelas di Indonesia tidak efektif.
Sebuah riset juga menunjukkan berpendapat bahwa kebijakan pengajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi di Indonesia harus memperhitungkan karakteristik Indonesia yang multibahasa dan multikultural.
Metode pengajaran translanguaging bisa menjadi alternatif yang lebih sesuai untuk karakteristik tersebut. Translanguaging, yang dipopulerkan oleh Ofelia Garcia dari City University of New York, AS dan Li Wei dari University of London, Inggris, dapat diartikan sebagai “proses menggunakan semua sumber daya linguistik dan kognitif, termasuk bahasa asal seseorang, untuk memahami konten akademis yang disampaikan dalam bahasa lain”.
Yvonne Freeman dan David Freeman dari University of Texas, AS memberikan contoh bagaimana metode pengajaran translanguaging dapat diterapkan di kelas.
Dalam menerangkan suatu konsep, dosen dapat bertanya “What is Concept X in your own language(s)?” (“Apa konsep X di bahasamu sendiri?”)dan “What are some examples of this concept in your real life?” (“Apa contoh dari konsep ini di kehidupanmu?”).
Contoh lain, misalnya dalam kelas bahasa Inggris, dosen dapat bertanya, “What is folktale in your own language?” (“Apa cerita rakyat dalam bahasamu?), ”What are some examples of folktales in your local language?“ (“Apa contoh cerita rakyat dalam bahasa lokalmu?”).
Mahasiswa diperbolehkan untuk menulis catatan dalam bahasa mereka, serta membandingkan konsep dalam bahasa Inggris dengan konsep yang bisa mereka pahami di bahasa mereka sendiri.
Alih-alih memaksa mahasiswa untuk menggunakan bahasa Inggris saja di kelas, konsep translanguaging ini bisa memberi beberapa manfaat, yaitu: (1) Membantu mahasiswa mengasah kemampuan berbahasa Inggris mereka; (2) Membantu mahasiswa memahami konten yang mereka pelajari di kelas; dan (3) Mengapresiasi dan mempertahankan bahasa-bahasa lain yang mereka miliki, serta pengetahuan lokal yang kadang tidak bisa diterjemahkan atau diekspresikan dalam bahasa Inggris.