Peningkatan harga-harga, terutama bahan-bahan pokok, telah memicu penurunan daya beli masyarakat. Terkait kondisi ini, Bank Dunia pun meninggikan standar garis kemiskinan moneter terbaru.
Melalui rilis perkembangan ekonomi terbaru di negara-negara Kawasan Asia dan Pasifik, Bank Dunia memberikan update penghitungan kemiskinan berdasarkan pemasukan, yang berdampak pada jumlah penambahan orang miskin. Batasan pendapatan harian yang masuk dalam kemiskinan ekstrem – berdasarkan purchasing power parity (PPP) terbaru – adalah sebesar US$2,15 (Rp 33.756) per hari. Standar sebelumnya adalah sebesar US$1,9 per hari.
Dari laporan Bank Dunia ini, tercatat bahwa 33 juta orang kelas menengah ke bawah di Asia turun kelas menjadi kategori orang miskin ekstrem. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, Cina dan Indonesia menyumbang penurunan jumlah orang kelas menengah terbanyak, yakni masing-masing 18 dan 13 juta orang.
Sementara, menurut rilis terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2022, penduduk miskin Indonesia tercatat sebesar 9,54% dari populasi, atau setara 26,16 juta orang. Ini menurun 0,17% dibanding September 2021. Basis perhitungan BPS adalah menggunakan garis kemiskinan nasional berdasarkan pengeluaran, yakni sekitar Rp 550 ribu rupiah per kapita per bulan.
Perlu dicermati, kemiskinan berbasis konsumsi atau pendapatan oleh Bank Dunia, BPS, dan mungkin lembaga-lembaga keuangan lain baru mengantarkan kita untuk melihat muka kemiskinan yang ada. Aspek kemiskinan non-moneter yang seringkali menyangkut kualitas hidup masyarakat selama ini belum mendapat perhatian serius.
PBB telah mencantumkan pengentasan kemiskinan yang perlu diselesaikan dari segala bentuknya di manapun sebagai poin pertama dari 17 poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Meski tidak ada prioritas dari semua tujuan, poin pertama seharusnya menyiratkan bahwa poin ini adalah komitmen utama.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan kualitas hidup masyarakat, tidak lagi hanya berdasarkan data-data pendapatan atau pun pengeluaran, namun juga standar hidup layak.
Menyikapi hal ini, kemiskinan multidimensi muncul sebagai konsep yang lebih relevan, luas, dan ideal untuk menghitung dan menyediakan bukti-bukti kemiskinan.
Alternatif penghitungan dan kondisi Indonesia
Sejak tahun 2010, Oxford Poverty and Human Initiatives (OPHI) dari University of Oxford telah mengembangkan dan memberikan alternatif penghitungan Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM). Indeks ini bisa menjadi alternatif sekaligus memberikan gambaran dimensi kemiskinan yang bisa ditargetkan spesifik oleh pemerintah, selain juga untuk membandingkan kemiskinan antar wilayah atau negara.
Dengan menekankan pada standar kelayakan, IKM Global menghitung tingkat kemiskinan di tiga dimensi dasar – kesehatan, pendidikan, dan standar hidup – yang membandingkan situasi dan kondisi antar negara. Sedangkan, IKM nasional merupakan pengembangan dari IKM global yang lebih relevan dan fleksibel untuk mengetahui kondisi dan ketercapaian pengentasan kemiskinan di lingkup negara atau regional sehingga bisa menjadi dasar prioritas kebijakan.
Menggunakan metode Alkire-Foster dan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, the Prakarsa sedang menghitung IKM nasional berdasarkan elaborasi lima dimensi yakni kesehatan, pendidikan, perumahan, layanan dasar, serta partisipasi sosial.
Temuan awal menyebut jumlah individu miskin dalam rumah tangga di Indonesia ada sebesar 38,9 juta jiwa atau sekitar 14,3% dari total penduduk pada 2021. Persentase kemiskinan ini relatif menurun drastis dibandingkan dengan tahun 2020 dan 2019 yang masing-masing sebesar 17,5% dan 23%.
Indikator material rumah tinggal dan akses air minum layak menjadi dua indikator terbesar yang mempengaruhi jumlah kemiskinan multidimensi di rumah tangga ini. Hasil ini juga sejalan dengan data Kementerian Pembangunan Umum dan Perumahan Rakyat bahwa masih ada hampir 30 juta rumah tidak layak di Indonesia pada 2021 dan 57,15% desa di seluruh Indonesia juga belum memiliki akses air minum pada 2022.
Temuan kami juga menunjukkan bahwa berdasarkan provinsi, Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur menjadi tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan multidimensi terbesar yakni masing-masing 27,1%, 21,8%, dan 20,7% dari total populasinya.
Meski jumlah penduduk miskin secara multidimensi tercatat relatif lebih besar dibanding moneter, tentu tren penurunan kuantitas dan kualitas kemiskinan secara multidimensi di masyarakat menjadi sinyal baik adanya perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin.
Penargetan kebijakan pengentasan kemiskinan esktrem
Melalui instruksi presiden, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengentasan kemiskinan ekstrem secara penuh pada 2024.
Mempertimbangkan temuan kemiskinan multidimensi, langkah pemerintah dianggap sejalan. Kebijakan pemerintah baik pusat dan daerah untuk memperbaiki kualitas perumahan dan permukiman kumuh masyarakat sudah cukup beragam dan lintas sektor, misalnya melalui program penyediaan satu juta rumah dan perbaikan rumah tidak layak huni.
Dari sisi akses air bersih dan air minum, pemerintah secara lintas sektor telah banyak menginisiasi target-target capaian. Bahkan, Kementerian Kesehatan menargetkan 100% akses air minum layak pada 2024.
Sayangnya, capaian selama proses implementasi hingga evaluasi program-program ini tidak disuguhkan secara terbuka dan komprehensif kepada publik.
Di lain sisi, kami melihat bahwa dalam upaya pengentasan kemiskinan selama ini, pemerintah justru masih cenderung memprioritaskan cara-cara lama dan instan dengan pemberian subsidi serta berbagai bentuk bantuan tunai yang hanya efektif dalam jangka pendek. Subsidi bahan bakar, misalnya, perlahan dikurangi akibat harga global yang semakin meningkat. Hasilnya, subsidi upah dan bantuan tunai dianggap belum bisa mengkompensasi dampak peningkatan harga-harga kebutuhan pokok lain.
Pemerintah perlu memiliki kesadaran dan kemauan politik yang kuat untuk dapat memprioritaskan penggunaan bukti yang kuat, efektif, dan bisa dipercaya.
Hitungan kemiskinan multidimensi yang menggambarkan kondisi Indonesia sudah tersedia setidaknya sejak 2015. Indikator ini seharusnya bisa dimaksimalkan dengan bijak untuk memfokuskan dan memprioritaskan pembangunan berdasarkan aspek yang bisa menurunkan derajat kemiskinan masyarakat tanpa terlalu boros anggaran untuk program-program jangka pendek.
Dengan kemampuan fiskal terbatas, ketika kemiskinan non-moneter bisa dipetakan dengan data yang mumpuni, pemerintah hingga level kecamatan pun tahu prioritas kebijakan pembangunan seperti apa yang bisa menurunkan angka kemiskinan secara signifikan di wilayah tersebut dalam jangka panjang.
Kemiskinan multidimensi tidak perlu menggantikan hitungan moneter. Akan tetapi, perlu saling melengkapi dalam prioritas pengukuran kemiskinan oleh pemerintah di semua level sehingga perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan semakin efektif dan efisien.