Agama sering kali diyakini sebagai sebuah komunitas ilahiyah yang ajaran-ajarannya dianggap sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan kenikmatan pascakematian nanti.
Teks-teks keagamaan yang dijadikan sebagai acuan dalam nilai-nilai kehidupan menjadi kunci utama untuk menjalankan segala perintah dan larangan sang pencipta. Padahal, agama tidak hanya tentang aspek ilahiyah semata, melainkan termasuk komunitas sosial
Di dalam agama terdapat sekumpulan orang-orang dengan keyakinan yang sama dan di dalamnya juga terdapat anjuran untuk berbuat baik antarsesama.
Sebagaimana sebuah komunitas, tentu saja Tuhan tidak menciptakan komunitas (agama) tunggal untuk menempati bumi, melainkan Tuhan menciptakan berbagai komunitas dalam rangka meramaikan bumi dan melihat sejauh mana manusia dapat bertahan dengan berbagai perbedaan ini—entah bisa menerima perbedaan atau justru menolak adanya perbedaan tersebut.
Kaitannya dengan hal tersebut, hari ini kita bisa melihat, bagaimana respons manusia dalam melihat perbedaan. Ada yang dapat menerima, dan begitupun sebaliknya, ada yang menolak perbedaan tersebut.
Biasanya orang-orang yang menolak perbedaan adalah mereka yang menggunakan teks-teks keagamaan secara tekstual serta mencintai agama dengan berlebihan. Akibatnya, muncullah sikap paling benar sendiri dan gampang menyalahkan orang lain.
Larangan Fanatisme Beragama
Fanatisme beragama merupakan salah satu sikap yang terbentuk dari mencintai agama yang berlebihan. Mencintai sebuah keyakinan yang telah mendarah daging dalam jiwa kita memang sebuah perbuatan yang tidak bisa disalahkan.
Akan tetapi, semua itu terdapat koridor-koridor serta batasan sampai sejauh mana seseorang harus mencintai keyakinannya. Jika seseorang telah melewati koridor tersebut, maka bisa jadi tidak berdampak positif, justru sebaliknya dapat berdampak negatif untuk dirinya dan orang lain.
Dalam surat Saba’ ayat 24-25, Allah berfirman yang artinya:
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan dari bumi?” katakanlah: “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanyai menyangkut dosa yang telah kami perbuat dan kami tidak akan ditanyai tentang apa yang kamu perbuat.”
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan bahwa ayat-ayat di atas menggambarkan bagaimana seharusnya seorang muslim berinteraksi dengan penganut agama dan kepercayaan yang berbeda dengannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa seitap penganut agama selalu meyakini sepenuhnya kebanaran agama yang diyakini serta kesalahan yang bertentangan dengan agamanya. Walaupun begitu, hal tersebut tidak perlu untuk diperlihatkan di tengah-tengah masyarakat yang plural.
Dua ayat di atas memang tidak membahas secara utuh terkait fanatisme beragama. Tetapi, pada konteks ini, ayat di atas menunjukkan adanya indikasi larangan dalam bersikap fanatik terhadap sesuatu yang kita yakini.
Ayat di atas juga tidak menyatakan kemutlakan kebenaran ajaran Islam dan kemutlakan kesalahan pandangan yang lain. Kepercayaan kita memang berbeda, bahkan bertolak belakang, sehingga di antaranya pasti ada yang benar dan ada yang salah.
Menunjukkan keislaman dalam rangka berdakwah memang harus dilakukan, dengan catatan tanpa ada paksaan apalagi kekerasan. Lakukanlah dengan sebaik-baiknya, karena ayat di atas juga menunjukkan untuk bersikap toleransi dengan agama lain.
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” Oleh sebab itu, menganggap keyakinan kita yang paling benar adalah bentuk fanatisme beragama yang dapat berdampak negatif bagi orang lain.
Tawassuth fi al-Din
Tawasuth merupakan salah satu dari empat pilar beragama dalam Nahdlatul Ulama. Dalam hal ini tawassuth dimaknai dengan sikap moderat yaitu berada di tengah-tengah, tidak terjebak pada titik ekstrem, tidak condong ke kiri dan ke kanan, seimbang antara dalil aqli dan naqli, dan tidak memihak kepada siapa pun dan lebih bersifat menengahi.
Pada konteks tulisan ini, sikap tawasuth merupakan counter terhadap sikap fanatisme beragama. Menurut penulis, secara substansial, tawassuth tidak hanya diartikan sebagai moderat saja, tetapi dengan makna yang lebih luas, sebagai bersikap sewajarnya dalam hal apa pun—tidak berlebihan dan juga tidak kurang. Semua yang dilakukan sesuai dengan porsinya.
Sebagaimana penulis katakan, agama mempunyai syariat-syariat yang harus dijalankan. Syariat yang dianjurkan tentu mempunyai batasan agar manusia yang menjalaninya tidak melewati batasan tersebut.
Sebagai manusia tentu saja batasan yang dimiliki hanya sebatas hamba, bukan Tuhan. Maka, dalam menjalani syariat, lakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, lakukan sesuai porsi manusia sebagai hamba.
Fanatisme beragama merupakan sikap dari seorang hamba yang melewati batasan serta porsinya dalam menjalani syariat sebagai hamba sehingga berani untuk menganggap keyakinannya yang paling benar dan menyalahkan keyakinan orang lain.
Terlebih lagi di Indonesia yang merupakan negara dengan ideologi Pancasila yang di dalamnya meliputi perbedaan dan keragaman dari berbagai hal seperti suku, agama, budaya, keyakinan, dan ras.
Bersikap sewajarnya dalam beragama merupakan hal yang penting. Berada di posisi tengah-tengah dengan tidak berlebihan menjalankan syariat, tetapi juga tidak mengurangi aturan-aturan keberislaman. Wallahualam. [AR]