Peluncuran laporan ini menandai puncak dari kerja kolaboratif tiga lembaga yang dimulai sejak Desember 2019.
Sejak itulah, ketiga lembaga ini telah berkomitmen untuk secara bersama-sama menyajikan data kekerasan terhadap perempuan di Indonesia melalui sistem pendokumentasian yang terpadu.
Peluncuran laporan gerak bersama dalam data ini dilakukan sebagai bagian dari laporan data kekerasan terhadap perempuan. Pemaparan laporan data dilakukan oleh tiga perwakilan, M. Sulistyo Wibowo, Kepala Biro Data dan Informasi KPPPA, Bahrul Fuad, Komisioner Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan, dan Novita Sari, Sekretaris Nasional FPL.
Sebaran wilayah dan karakteristik korban kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan mencakup berbagai jenis data. Antara lain korban, kasus, karakteristik korban, ranah kekerasan, hubungan korban dengan pelaku, karakteristik pelaku, jenis kekerasan, dan bentuk layanan.
M. Sulistyo Wibowo menyampaikan dalam pemaparannya bahwa terdapat peningkatan jumlah perempuan korban kekerasan yang melapor berdasarkan provinsi. Tercatat provinsi tertinggi ada di Pulau Jawa.
“Banyak hal yang menjadi faktor tingginya pelaporan kekerasan di Pulau Jawa, salah satunya adalah infrastruktur. Dukungan jalan raya, kendaraan, jaringan internet, dan listrik dapat menjadi faktor penting yang menjadi penunjang proses pelaporan di Pulau Jawa jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya,” kata M. Sulistyo dalam peluncuran yang diadakan pada 12 Juni 2024
Tingkat Kekerasan yang Tinggi
Data yang dikumpulkan oleh Simfoni Kemen PPA dan Titian Perempuan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan perempuan korban kekerasan yang melapor.
Hal ini dapat dimaknai adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, berdasarkan data yang diperoleh Simfoni PPA, usia terbanyak yang menjadi korban kekerasan terhadap perempuan adalah 0-17 tahun, sementara Sintas Puan dan Titisan Puan adalah 18-40 tahun.
Berdasarkan kegiatan utamanya, Sulistyo Wibowo menyampaikan bahwa terlepas dari apapun aktivitas utamanya, perempuan sangatlah rentan terhadap kekerasan. Namun, persentase tertinggi perempuan korban kekerasan adalah yang kegiatan utamanya pelajar yang kemudian diikuti oleh perempuan yang bekerja dan mengurus rumah tangga.
Tingkat kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan pun masih tinggi, yaitu sebanyak 6.919 korban dalam periode Januari-Desember 2023. Kekerasan dalam ranah personal pun lebih tinggi dibanding dalam ranah publik. Sulistyo Wibowo pun menyoroti salah satu faktor tingginya kekerasan dalam ranah personal biasanya terjadi karena adanya hubungan emosional antara pelaku dan korban juga adanya relasi kuasa hegemonik.
“Terdapat tiga jenis kekerasan tertinggi, yaitu kekerasan seksual dengan 12.056 korban, kekerasan fisik sebanyak 7.807 korban, dan kekerasan psikis dengan 7.507 korban.”
Beberapa data mengenai pelaku kekerasan terhadap perempuan pun dipaparkan oleh Bahrul Fuad. Dijelaskan bahwa secara keseluruhan, data jumlah korban lebih banyak dibanding data jumlah pelaku. Hal itu dapat terjadi karena kemungkinan seorang pelaku kekerasan memiliki korban lebih dari situ dan tidak tercatatnya data pelaku dalam sistem basis data.
Baca juga: Dugaan Kekerasan Seksual SM, Pendiri Kelas Isolasi, Korban Diajak Pacaran Hingga Hubungan Seksual
Dari segi usia, ditemukan bahwa pelaku kekerasan tertinggi adalah pada kelompok umur 18-40 tahun, tetapi banyak data yang tidak tercatat karena kemungkinan identitas pelaku yang tidak dikenali oleh korban.
Lain halnya dengan data korban kekerasan terhadap perempuan, data pelaku kekerasan berdasarkan status perkawinan menunjukkan bahwa yang tertinggi adalah pelaku dengan status kawin, yaitu 38,47%. Data ini pun berkaitan dengan tingginya kekerasan dalam ranah domestik atau rumah tangga di mana budaya patriarki masih sangat mendominasi.
“Jika ditilik berdasarkan hubungan pelaku kekerasan dengan korban, data tertinggi menunjukkan bahwa suami menjadi pelaku kekerasan tertinggi. Ini membuktikan bahwa kasus marital rape merupakan isu yang nyata dan patut diberi perhatian lebih. Relasi personal lain seperti pacar, teman, dan orangtua pun menyusul menjadi salah satu data tertinggi sebagai pelaku korban kekerasan terhadap perempuan.”
Selanjutnya, dibahas pula mengenai perempuan korban dengan HIV, dengan 1,8% korban positif HIV berdasarkan Titian Perempuan. Perempuan dengan keragaman gender dan seksualitas, yaitu transpuan, biseksual, lesbian, dan kelompok dengan keragaman gender lainnya pun tercatat dalam data. Ditunjukkan bahwa yang tertinggi adalah perempuan dengan orientasi heteroseksual dan disusul dengan transpuan. Perempuan dengan status positif HIV atau dengan identitas gender yang berbeda tentunya mengalami kesulitan lain yang dialami. Seperti adanya stigma yang meningkatkan kerentanan.
Baca juga: Kekerasan Seksual di Universitas Mulawarman: Ada 11 Macam Kekerasan, Terduga Pelaku Melenggang Bebas
Tak hanya dalam dunia nyata, perempuan pun masih menjadi kelompok rentan dalam dunia digital. Berdasarkan penelitian dari Sintas Puan, ditemukan sebanyak 447 perempuan yang menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender Online. Di akhir pemaparan, perwakilan dari FPL, Novita Sari, menyampaikan beberapa kesimpulan dan rekomendasi. Novita menekankan bahwa perlu adanya perhatian bersama terkait kelompok rentan, khususnya disabilitas, perempuan korban HIV, dan keberagaman gender.
“Karena menjadi perempuan saja untuk akses-akses yang ada itu masih sangat terbatas, bagaimana dengan tiga kelompok rentan tadi?,” ujar Novita.
Terdapat beberapa rekomendasi yang dicatat oleh ketiga lembaga terkait. Rekomendasi tersebut antara lain desakan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk berkomitmen dalam penanganan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan. Memastikan implementasi UU TPKS dilakukan. Menguatkan koordinasi antara koordinator lembaga.
Selain itu, mendorong Polri untuk merumuskan dan menerapkan mekanisme penanganan perempuan berhadapan dengan hukum. Mendorong Kejaksaan Agung juga Mahkamah Agung untuk mengimplementasikan kebijakan yang lebih ramah terhadap perempuan. Mendorong pemerintah untuk penguatan infrastruktur, dan menguatkan jaringan penanganan di daerah.