Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung kisah-kisah tentang kekerasan seksual dan perundungan di lingkungan sekolah. Berbagai peristiwa mungkin dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan memicu trauma bagi pembaca.
Rani, bukan nama sebenarnya, ingat akan sebuah perkelahian antar laki-laki di bangku SMA pada 2017. Seorang siswa marah setelah testisnya diremas oleh kawan sebayanya. Perkelahian di tengah kelas ini direspons dengan gelak tawa oleh siswa lain dan olokan dari pelaku.
“Mereka berantem, terus malah diketawain satu kelas. A [pelaku] meremas bola zakarnya B [korban] sambil ketawa-ketawa. Itu menggelikan; menjijikkan banget.”
Dengan nada yang menggebu, Rani menjabarkan segala bentuk kekerasan seksual berdalih kenakalan remaja yang dirinya saksikan serta terima kala itu. Mulai dari menyentuh, mencubit, atau meremas genital, mencubit payudara, menarik kaitan bra hingga lepas, memukul bokong, mengangkat rok, sampai meneriaki perempuan yang darah menstruasinya merambat ke rok. Berbagai bentuk kenakalan ini dilakukan kawan sesama jenis atau juga lawan jenis.
Rani mengaku saat di bangku sekolah dirinya juga sempat ikut menjadi pelaku walau sekarang sudah “jijik” dengan perbuatan remaja masa lalunya itu. Ia menganggap bahwa normalisasi perlakuan ini mungkin semata terjadi karena rasa insecure dengan badan dan keinginan untuk diterima. Kenakalan remaja ini memenuhi validasi diri dari laki-laki.
“Dulu, the idea of having a guy mengangkat rok aku, menarik kaitan braku, karena aku masih SD, aku masih sangat naif, aku mikirnya ‘Maybe they think that I am sexy and charming enough for them.’ Mungkin karena SD itu kan semuanya about being accepted by the whole school. Aku pengin terlihat luwes dan gaul,” ungkap Rani.
Baca Juga: Viral Kasus Perkosaan dengan Pelaku Anak dan Orang Dewasa, Bagaimana Penanganan Hukumnya?
Selain mendengarkan kisah Rani, saya juga bertemu dengan Aulia (bukan nama sebenarnya), siswa perempuan SMP kelas 2 di Depok, dan Raka (bukan nama sebenarnya), siswa lelaki SMA kelas 2 di Jakarta Barat.
Aulia menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak pernah menyaksikan “kenakalan” semacam itu selama bersekolah. Selama ini, hal yang pernah ia saksikan adalah ketika ada sesama siswa yang menarik bangku kawan saat hendak duduk dan perundungan di tangga sampai ada pelaporan ke guru BK. Apa yang dinilainya masih di batas kenakalan yang “wajar”.
“Nggak ada [kasus kekerasan seksual]. Paling kenakalannya wajar-wajar aja, kayak umpatin tas. Misalkan [juga] ada teman yang mau duduk di bangku, lalu bangkunya diseret sama teman, guru bisa datang kelas ke kelas untuk sosialisasi [bahwa itu salah].”
Sama halnya dengan Rani, Raka merasa tren kenakalan remaja ini lebih banyak dialami semasa SMP. Raka yang kini di bangku SMA kelas 2 salah satu sekolah di Jakarta Barat mulai bercerita.
“SMA sudah lebih jarang. Aku beberapa kali diisengin teman dan membalas. Ada yang sempat marah dan bete ke pelakunya, tapi [pelakunya] nyengir-nyengir aja, sih. Ketawa-tawa, gitu.”
Saking budaya kekerasan seksual ini dinormalisasi, Rani bercerita ia tidak pernah menyaksikan kawannya selama SD-SMP menangis atau sampai melapor ke guru. Sampai kejadian meremas testis siswa laki-laki disaksikannya yang berbuah amarah dari korban.
Baca Juga: Pentingnya Kolaborasi Data, Tercatat 34.682 Perempuan Jadi Korban Kekerasan
Perbedaan kawan saat SD-SMP dan SMA memberikan perubahan sudut pandang juga bagi Rani tentang dirinya. Bahkan, mengenali kenakalan ini sebagai kekerasan seksual membentuk sebuah perlawanan jika terjadi pada kawan perempuannya.
“Kalau misalnya ada teman kami yang digituin, kami yang sesama perempuan di sekolah [jawab] ‘Apaan, sih? Geli banget!’ Bisa mulai bersuara gitu,” ungkap Rani.
Sama halnya, Raka mengaku terkadang merasa tidak nyaman dengan tren ini. Apalagi saat melihat lelaki menyentuh perempuan tanpa persetujuan. Lain halnya jika kenakalan ini terjadi antarlelaki. Ia memilih untuk diam dan menjauh dari urusan mereka karena mereka biasanya tidak mendengarkan jika ditegur.
Seorang kawan lelaki Rani yang menjadi pelaku menarik kaitan bra perempuan sempat menceritakan mengapa ia berlaku demikian. Alasannya, ingin menarik perhatian dan berpikir “melakukan itu sama saja memberikan afirmasi seksual” kepada siswa perempuan.
Saya bertanya kepada seorang guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) yang juga tergabung dalam Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sekolahnya di Jakarta Pusat. Ibu Mira, bukan nama sebenarnya, mengaku tidak pernah menyaksikan kekerasan seksual berdalih kenakalan remaja semacam yang dialami Raka dan Rani selama mengajar kurang lebih 20 tahun.
“Saya nggak pernah menyaksikan. Selama ini–saya udah ngajar itu kurang lebih kan 20 tahun, ya–saya belum pernah melihat,” aku Ibu Mira.
Baca Juga: UU TPKS Bisa Jadi Momentum Berantas Kekerasan Seksual di Sekolah – Salah Satu Dosa Besar Dunia Pendidikan
Walau begitu, Ibu Mira bercerita bahwa saat di bangku SMP, tepatnya pada 1992, dirinya pernah mengalami hal serupa. Seorang laki-laki sebaya pernah menarik bra yang dikenakannya. Tren kekerasan seksual berdalih kenakalan remaja ini nyatanya pengalaman kolektif yang dirasakan lintas generasi.
“Saya menghindar. Saya juga harus tahu diri, saya nggak mungkin diam. Kalau yang saya lakukan dulu, saya lapor kepada guru. Akhirnya saya menghindar, saya nggak mau duduk dekat dia lagi,” kisahnya.
Ketidaktahuan Ibu Mira ini mungkin juga dapat berkaitan erat dengan kisah Raka. Kenakalan antar siswa yang disaksikannya seringnya terjadi bukan pada jam pelajaran, melainkan saat jam istirahat yang tidak banyak diperhatikan oleh pendidik. Bahkan sekolah Raka yang memiliki pengawasan guru yang cukup ketat, lewat monitor guru yang piket dan penguncian kelas pada jam istirahat, tidak menjadi solusi yang efektif.
Selain adanya normalisasi pelecehan seksual dan peran gender yang memaksa laki-laki untuk selalu tangguh, Rani menilai jarangnya pelaporan ke guru pada masa sekolah adalah karena guru Bimbingan dan Konseling (BK)-nya yang tidak dapat menjalankan fungsinya.
Setelah adanya implementasi Kurikulum Nasional Tahun 2013, Prof Mungin Eddy Wibowo menjelaskan bahwa guru BK diharapkan dapat menjadi konselor yang mendidik secara intensif dan pendamping siswa untuk menemukan kemampuan, bakat, serta minatnya. Jika tidak ada layanan psikolog anak di sekolah, guru BK memiliki peran penting dalam mengatasi permasalahan kesehatan mental pelajarnya.
“Guru BK di sekolahku dulu nggak berguna. Yang sepele di mata Guru BK belum tentu sepele di mata individu. Sangat useless dan hopeless kalau misalnya terjadi bully.”
Baca Juga: Bully di Sekolah Merebak, Bagaimana Cara Menghentikannya?
Tidak hanya minim perspektif gender, Rani mendapati Guru BK saat ia SMA kelas 2 berlaku misoginis dan menyalahkan korban. Kawan perempuan Rani, yang melaporkan perselingkuhan pacarnya ke Guru BK, malah mendapat respons yang tidak menyenangkan karena kedekatannya dengan pelaku.
“Gara-gara Guru BK dekat sama ini cowok, dia malah bilang, ‘Ya udahlah, namanya juga cowok. Cowok, tuh, pasti libidonya tinggi. Jadi dia pasti cari cewek lain yang lebih dari kamu.’”
Pelaporan ke Guru BK itu tidak berujung baik. Kawan perempuan Rani kehilangan kepercayaan diri, sampai mempertanyakan nilai dirinya di depan Rani. Mempertanyakan apakah dirinya harus seksi agar lelaki tertarik.
(Ilustrasi: Winatra Wicaksana)
Perihal kasus di atas, Noridha Weningsari, seorang psikolog klinis anak, menyatakan bahwa budaya misoginis dan seksis yang melekat di keseharian kita, yang direproduksi secara terus-menerus, berdampak pada perkembangan anak-remaja. Maka itu, sering kali jadi suatu pembenaran atas perilaku yang salah. Dalam lima tahun terakhir, ia telah menangani berbagai kasus pelecehan seksual yang terjadi di satuan pendidikan, seperti penyentuhan area kelamin, area tubuh privat lainnya, pengintipan, atau ajakan menonton konten pornografi.
“Kita perlu meningkatkan awareness mereka [remaja] soal penerimaan bahwa penerimaan itu artinya tidak harus mengikuti standar-standar di lingkungan yang kemudian membuat mereka tidak nyaman. Penerimaan bisa dilakukan dengan cara yang lebih positif,” ujar Noridha.
Baca Juga: Anak Saya Di-bully di Sekolah, Bagaimana Aturan Hukumnya Bagi Pelaku?
Penanganan kekerasan seksual ini menjadi semakin kompleks dengan orang dewasa–yang seharusnya dapat dipercaya oleh anak–malahan menormalisasi dan menggunakan survivor bias dalam menangani kasus anak seperti yang dialami kawan Rani. Noridha pun membagikan kasus siswi perempuan yang pernah ia tangani karena seorang lelaki seusianya menyentuh area payudaranya tanpa persetujuan. Berulang kali ditegur, pelaku selalu merespons bahwa dirinya “hanya bercanda”. Pelaporan ke sekolah tidak berujung sesuai ekspektasi. Sekolah berupaya untuk “mendamaikan” pelaku dan korban sebagai bentuk penanganan kasus kekerasan seksual.
“Beberapa kasus di mana respons yang ditunjukkan sekolah itu tidak sesuai harapan mereka. Jadi misalnya, sekolah menganggap [cukup] ditegur, disuruh tidak mengulangi, disuruh untuk berdamai–salaman gitulah, ya.”
Permendikbud PPKSP: Efektifkah Berjalan?
Pada 2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan peraturan No. 46/2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) sebagai upaya melakukan pendekatan yang lebih komprehensif. Pasalnya, aturan sebelumnya, Permendikbud No. 82/2015, belum mencakup subjek kekerasan selain peserta didik, bentuk kekerasan seksual, rincian tugas satuan pendidikan dan pemerintah, mekanisme pencegahan, serta alur koordinasi penanganan secara spesifik.
Bentuk kekerasan yang diatur kini meliputi kekerasan fisik, psikis, perundungan, seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, serta bentuk kekerasan lainnya. Penjabaran bentuk-bentuk kekerasan seksual menjadi penting di tengah munculnya hasil Asesmen Nasional Kemendikbudristek pada 2022 yang menunjukkan bahwa satu dari tiga peserta didik di Indonesia berpotensi mengalami kekerasan seksual. Sesuai Pasal 15 ayat (1e), satuan pendidikan perlu membentuk TPPK dalam mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan pendidikan.
Apa yang disaksikan Rani serta Raka di sekolah adalah bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2l), yaitu “perbuatan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban”. Kekerasan seksual ini sudah lama dibiarkan, bahkan dari generasi ke generasi lain, membuatnya menjadi suatu norma tersendiri di lingkungan remaja. Pelaporan menjadi sulit di tengah adanya olokan bagi korban yang terlihat marah saat orang lain melecehkannya.
Baca Juga: Curhat Chikita Meidy Dibully Saat Sekolah: Tidak Ada Solusi dan Meninggalkan Trauma
Noridha menilai penerbitan Permendikbudristek PPKSP dapat menjadi awal mula yang tepat untuk memberantas normalisasi budaya kekerasan seksual di sekolah. Sebab, aturan ini sudah cukup rinci membahas upaya menciptakan lingkungan dan ekosistem sekolah yang aman serta nyaman, lewat poin pemenuhan hak korban, pemulihan, penanganan kasus, mitigasi risiko keberulangan, juga pembentukan TPPK.
Ia juga mengapresiasi satuan pendidikan yang mulai sadar akan kekerasan dan intoleransi, serta menguatnya kolaborasi antara sekolah dan lembaga berwajib untuk memberantas kekerasan seksual. Walau begitu, Noridha menyayangkan bahwa Permendikbudristek PPKS masih lemah dalam menekankan aspek pemeriksaan yang berbasis trauma-informed bagi korban.
Berada di fase perkembangan, anak sebagai korban perlu didukung dengan pendekatan pemeriksaan psikologis yang berbeda dari orang dewasa pada umumnya. Sebab, identitas mereka sebagai anak menajamkan kompleksitas sesilangan (intersectionality) yang membuat mereka lebih rentan. Segala proses wawancara, tes, observasi, dan mencari informasi kolateral tetap harus memperhatikan kemungkinan reviktimasi dan retraumatisasi kepada korban. Maka, penting menurut Noridha untuk menggunakan pendekatan trauma-informed investigation dalam kerja-kerja penanganan kasus kekerasan terhadap anak.
Ibu Mira menjelaskan bahwa tanpa adanya Permendikbud PPKSP yang terbit 2023 lalu, sekolah tempat ia mengajar sudah punya mekanisme penanganan komplain siswa selama berdekade. Sistem yang selama ini berjalan adalah pelaporan ke wali kelas, guru BK, lalu ke wakil kepala kesiswaan (wakasis). Ia menilai bahwa guru, selain punya peran mengajar, juga sudah sepatutnya dapat membina.
Baca Juga: Tanda Bahaya Jika Permendikbud Stop Kekerasan Seksual Tersendat di Kampus
Perbedaan yang Ibu Mira rasakan setelah adanya Permendikbud PPKSP ini adalah pembentukan TPPK, yang terdiri dari struktural, wakil kepala sekolah, guru lintas mata pelajaran, dan perwakilan siswa tiap kelas.
Selain itu, ada juga penambahan materi soal isu kekerasan dalam kurikulum nasional. Misalnya, materi stop perundungan dan kekerasan dalam rumah tangga dimasukkan dalam topik hak asasi manusia mata pelajaran PKN. Atau, ada juga materi edukasi seks yang menjadi program seminar tahunan guru BK.
Dalam upaya menjadikan program pencegahan kekerasan ini efektif, sekolah tempat Ibu Mira bekerja berkolaborasi dengan Fakultas Kedokteran berbagai universitas dan menerapkan aturan memisahkan siswa laki-laki serta perempuan dalam diskusi soal seksualitas. Mereka juga menyediakan satu guru BK lelaki dan satu perempuan. Setiap bulannya, sekolah kedatangan pengawas dari pihak Pemerintah untuk memonitor proses kegiatan belajar mengajar dan kerja TPPK.
Walau begitu, sekolah Ibu Mira masih luput akan implementasi Pasal 25 ayat (2c), sebagaimana satuan pendidikan memiliki tanggung jawab melaksanakan sosialisasi kebijakan dan program, termasuk apa saja bentuk kekerasan seksual.
“Nah, kita lebih kepada [kekerasan seksual] secara umum ya, gitu. Tapi, kalau secara spesifik harus ke mana, itu saya belum melihat hal itu,” ungkap Ibu Mira.
Baca Juga: Sudah Waktunya Bicara Beauty Bullying, Ketika Kecantikan Jadi ‘Pedang Bermata Dua’
Dari aspek perkembangan anak, Noridha menekankan ada dua hal tentang anak yang perlu dievaluasi dan didalami, yaitu perilaku seks wajar (normal sexual behavior) dan berbahaya (harmful sexual behavior). Jika salah satu pihak merasa tidak aman atau nyaman, jelasnya, itu sudah termasuk harmful sexual behavior. Ini menjadi penting diketahui TPPK agar ke depannya dapat mengidentifikasi pola perilaku anak.
Sekolah juga perlu memastikan bahwa pendidik, khususnya anggota dalam TPPK, mampu memahami gender dan seksualitas, mengidentifikasi normal vs harmful sexual behavior, serta menantang nilai, pandangan, atau pengalaman yang selama ini diyakini benar juga wajar.
“Di-challenge, sebelum akhirnya kita semacam di-install framework baru, cara pandang baru mengenai apa itu seksualitas, perkembangan, dan perempuan serta laki-laki tanpa berdasarkan stereotip tertentu,” jelas Noridha.
Sekolah Aulia dan Raka pun sama. Mereka menyatakan belum menerima sosialisasi tentang apa saja bentuk kekerasan seksual dan bagaimana pencegahannya di lingkungan sekolah. Belum juga ada sosialisasi apakah ada atau siapakah pendidik, tenaga pendidikan, dan orang tua yang tergabung dalam TPPK.
Baca Juga: Webtoon ‘The Real Lesson’ dan Bagaimana Mengatasi Bullying di Sekolah
Seluruh siswa di sekolah mereka sebatas tahu bahwa pelaporan dapat dilakukan ke wali kelas dan guru BK. Raka dan Aulia mengaku dapat merasa aman dan nyaman karena memiliki guru BK yang terbuka untuk konsultasi apa pun, termasuk kasus dijauhkan teman sekelas, perundungan fisik, atau permasalahan keluarga.
Akibat dari luputnya sekolah melakukan sosialisasi tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual, peserta didik belum satu suara apa yang masuk dalam kategorisasi dan apa yang tidak. Saya sempat membuat kuesioner kecil saat melakukan wawancara dengan tiga peserta didik ini. Raka menilai bahwa bersiul saat lawan jenis lewat bukan bentuk kekerasan seksual. Jawabannya tidak selaras dengan apa yang sudah diatur dalam Permendikbudristek PPKSP Pasal 10 ayat (2c).
Walau bentuk kekerasan seksual belum dijabarkan secara komprehensif oleh sekolahnya, Raka bercerita pernah menerima sosialisasi soal penanganan. Pelaporan kekerasan seksual disebutkan dapat dilaporkan ke pihak internal sekolah atau pihak berwajib.
Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Idealnya Bagaimana?
Menjalani SMA pada 2016–2019, Rani mengaku edukasi kesehatan seksual dan reproduksi (kespro) yang diterima terbatas pada topik menstruasi saja. Ia menyayangkan pembahasan menstruasi pun tidak diimbangi antara lelaki dan perempuan. Menjadikan pembahasan soal darah dan pembalut tabu. Ia bercerita soal pelecehan seksual yang dialaminya, fungsi alat reproduksinya direndahkan kawan sebaya.
“Ada satu kejadian, waktu itu aku pakai rok putih. Aku menstruasi dan bocor ke rok aku saat menghapus papan tulis. Satu kelas, terutama cowok-cowok, bilang ‘Ih, mens! Mens! Ih, roknya merah!’ Diteriaki begitu.”
Sekolahnya kala itu juga belum dapat menangani kekerasan seksual dengan perspektif yang tepat. Rani menceritakan kejadian siswa perempuan SMP yang hamil setelah diperkosa pacarnya saat di bawah pengaruh alkohol. Alih-alih memberi solusi bagi Korban, sekolah malahan berusaha menutupi kasus itu. Tak dapat dimungkiri, cerita itu terus berulang sampai empat angkatan di bawahnya tanpa kejelasan solusi sekolah, termasuk Rani yang mendengar. Korban akhirnya keluar dari sekolah, sedangkan sang pelaku masih melenggang bebas untuk bersekolah di sana dengan tenang–bahkan membanggakan perbuatan tercelanya.
“Aku inget banget waktu itu aku SMP ke kantin. Aku melihat dia [pelaku] ketawa-ketawa. Temannya ada yang ngomong ‘Ya, jagoan, lah, dia! Ngehamilin anak orang,’” ulang Rani.
Baca Juga: Yuk, Berani Bersuara Menentang Hoaks Pembalut dan Seksisme Kesehatan Reproduksi
Alih-alih berasumsi negatif, Ibu Mira menilai alasan terjadi kekerasan seksual berdalih kenakalan remaja yang terjadi saat ini adalah karena para siswa tidak memahami dan minim pengetahuan tentang seksualitas. Pendekatan dengan asas praduga tak bersalah bisa jadi dapat berpengaruh positif pada anak.
Selama ini, ia terus mendorong siswa untuk tanpa takut melaporkan kekerasan yang dialaminya ke orang tua atau guru. Walau begitu, penting bagi sekolah untuk juga memperhatikan relasi kuasa atau gender yang mungkin terjadi antara pelaku dan korban, sebagaimana definisi kekerasan seksual dicatat dalam Permendikbudristek PPKSP Pasal 10 ayat (1).
“Kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau Gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.”
Ibu Mira sempat menceritakan salah satu kasus pelecehan yang pernah ditanganinya. Seorang siswa lelaki dengan ekspresi gender feminin merasa dijauhi oleh kawan sebayanya. Ia menasehati pelaku untuk menghargai perbedaan, tetapi juga meminta Korban untuk tidak “terpengaruh LGBT”.
“Kita [guru] harus kasih tahu jalur-jalurnya karena nilai-nilai [agama] itu. ‘Kamu laki-laki jangan sampai terpengaruh’. Kita tahu sendiri sekarang ini, kan, LGBT makin ngeri.”
Baca Juga: 5 Anggapan Salah tentang LGBT
Tanggung jawab “moral” untuk mengikuti konstruksi peran gender menjadi masalah lain di tengah sekelumit masalah kekerasan seksual yang jauh lebih tampak. Kekerasan verbal berdalih penyesuaian norma seperti ini dapat terjadi bahkan tanpa sepengetahuan pelaku.
Kita tidak dapat memungkiri adanya perbedaan latar belakang membuat setiap individu punya nilai yang berbeda, termasuk orang tua atau petugas kantin yang masih di dalam lingkup satuan pendidikan.
Maka, penting bagi sekolah untuk menerapkan standar minimal edukasi kesehatan seksual reproduksi. Noridha menekankan bahwa proses mengubah nilai yang diyakini seseorang bisa saja membutuhkan waktu yang panjang, yang mungkin dapat menjadi tantangan bagi sekolah itu sendiri untuk menghapus kekerasan di dunia pendidikan.
“Upaya-upaya perlu dilakukan, tapi kita juga perlu meng-embrace bahwa guru itu juga manusia. At least, kita punya bare minimum, standar minimal mengenai edukasi kespro dan pendidikan seksual yang disesuaikan dengan perkembangannya,” terang Noridha.
Saat ditanya soal apa yang akan dilakukan sekolah jika terjadi kehamilan tidak diinginkan di lingkungan sekolah, Ibu Mira menjawab ada kemungkinan kedua siswa akan dikembalikan ke orang tua. Kasus-kasus yang belum dimasukkan ke dalam aturan sekolah Ibu Mira, sesuai prosedur, akan dibawa ke dalam rapat dewan.
“Mungkin akan dikembalikan ke orang tua, ya, karena juga nggak ada aturan itu. Harus dua-duanya [yang dikembalikan]. Itu lebih adil. Karena tidak mungkin hanya satu pihak jadi korban [pemulangan]. Sampai itu terjadi kehamilan dan sebagainya itu pasti sudah melibatkan dua orang.”
Baca Juga: Bukan Tabu: Kampanye Digital Hak Tubuh Perempuan Dan Kesehatan Reproduksi
Ibu Mira menilai bahwa edukasi kespro untuk memahami alat reproduksi menjadi penting diterima para siswa. Ia berharap tidak terjadi “penyimpangan” karena tidak paham tubuhnya sendiri.
Edukasi kespro yang selama ini dilakukan di sekolahnya lebih dengan pendekatan pantang (abstinence–only), yaitu menjelaskan risiko berhubungan seksual saja. Keputusan ini lantaran, menurut Ibu Mira, sebagai bentuk ajaran yang berdasarkan nilai agama yang dianut sekolahnya. Walau begitu, dirinya mengakui sampai kini belum menemukan metode yang tepat untuk mengajarkan edukasi kespro kepada siswa.
Raka, Rani, dan Aulia bercerita bahwa selama ini pelajaran tentang seksualitas sebatas pada anatomi genital dan siklus menstruasi belaka. Aulia menambahkan bahwa di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam Bab Berkembang Biak dan Reproduksi, ia mendapatkan pelajaran soal bentuk kekerasan verbal dan nonverbal.
Dirinya mengaku berharap ada penjelasan lebih lanjut lewat pelajaran khusus terkait kespro. Berbeda dengan Aulia, Raka menilai pemahaman soal seksualitas selebihnya dapat dipelajari dengan sendirinya atas “kewarasan” individu.
“Harusnya, sih, cukup. Kalau memang masih waras, seharusnya tahu, bisa bedain mana yang lebih baik dilakukan, mana yang nggak. [Risiko] hamil, penyakit menular, dan penyakit karena seks ‘bebas’ [hubungan seksual di luar pernikahan] yang suka ganti-ganti cewek. Kalau memang nalarnya masih jalan, seharusnya tidak dilakukan,” pungkas Raka.
Indonesia Darurat Kesehatan Reproduksi, Tapi Belum Siap dengan Edukasi Komprehensif
(Ilustrasi: Errizdwi)
Awal Agustus lalu, Pemerintah baru saja menerbitkan PP No. 28/2024 tentang Kesehatan yang beberapa bagiannya menuai kontroversi. Dewan Perwakilan Rakyat, salah satunya, menilai penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja yang tertuang pada Pasal 103 ayat (4) dapat memengaruhi remaja untuk berhubungan seksual di luar pernikahan. Istilah yang sering digunakan oleh Parlemen, bahkan sejak pengesahan RUU TPKS, adalah aturan yang melegalkan seks “bebas”.
Padahal, tanpa kedua aturan itu pun, remaja Indonesia sudah mengalami krisis kesehatan reproduksi. Menurut laporan Bank Dunia pada 2018, sebanyak 46,9% dari 1.000 remaja di Indonesia berusia 15–19 tahun pernah melahirkan. Pada 2021, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa setara satu dari lima remaja berusia 14–19 tahun mengalami kehamilan tidak diinginkan. Data soal kekerasan pada anak sayangnya begitu terbatas, mengingat isu ini sensitif dan mengalami stigma jika didiskusikan.
Berkaca dari rumitnya pembahasan PP Kesehatan dan UU TPKS sendiri, kita dapat menakar bahwa Negara pun masih belum siap untuk mengimplementasi edukasi kespro dengan pendekatan yang komprehensif.
Edukasi seksualitas yang komprehensif, dalam buku International Technical Guidance on Sexuality Education (ITGSE), didefinisikan sebagai proses belajar seksualitas secara holistik mencakup aspek kognitif, emosi, fisik, dan sosial. Tujuannya adalah untuk memberdayakan orang muda untuk menyadari kesehatan, kesejahteraan, dan martabat diri, serta membangun hubungan interpersonal yang penuh hormat.
Baca Juga: Kenapa Pendidikan Seksual Penting? Anak Muda Indonesia Hadapi Isu-Isu Seksualitas
Alih-alih sebatas menakuti anak akan risiko dari hubungan seksual di luar pernikahan, edukasi seksualitas yang komprehensif mengajarkan anak untuk memahami dampak dari perbuatannya dan hak mereka sebagai manusia. Pembahasan dalam pedoman teknis keluaran UNFPA ini terbagi dalam 4 kategorisasi umur, yaitu 5–8 tahun, 9–12 tahun, 12–15 tahun, dan di atas 15 tahun.
Salah satu organisasi masyarakat sipil yang menggunakan metode ITGSE adalah Yayasan Tabu Indonesia Berdaya. Sejak Februari 2018, @tabu.id via Instagram bergerak mengampanyekan dan mengedukasi kespro dengan komprehensif.
Neira Ardaneshwari Budiono, salah satu pendiri @tabu.id, menilai edukasi kespro menjadi penting karena begitu lekat dan relevan dengan aspek kehidupan sehari-hari manusia, bahkan sejak kita masih seorang anak. Sayangnya, ada miskonsepsi bahwa edukasi kespro hanya terkait dengan istilah asing atau hubungan seksual belaka.
“Relevansinya sangat banyak di kehidupan sehari-hari kita. Perempuan payudaranya mulai tumbuh, perlu memilih bra yang tepat, mulai suka sama orang, punya gebetan, mengalami hubungan romantis, melewati pubertas, perubahan emosi dan gairah seksual. Kita semua mau nggak mau mengalami, tapi nggak ada yang omongin,” jelas Neira, dalam siniar Bicara Tabu: “#1 Pendidikan Kesehatan Seksual dan Reproduksi? Ih.. Kan TABU!”.
Baca Juga: Melalui Pembelajaran Kontekstual, Ignatia Rini Purwati Mengajar tentang Menstruasi dan Mimpi Basah Tanpa Bayang-Bayang Tabu
Alvin Theodorus, pendiri @tabu.id lain, menilai bahwa ada miskonsepsi yang muncul karena penggunaan istilah pendidikan seksual. “Seksual” memiliki konotasi yang negatif: “jorok”, “kotor”, dan “tabu” untuk didiskusikan.
“Ada semacam penolakan dari diri kita atas aspek seksualitas diri. Padahal, seksualitas adalah bagian inheren dari diri kita sebagai manusia. Jika menolak, kita sama saja menolak bagian diri kita sebagai manusia. Seksualitas seharusnya juga perlu kita embrace,” tambah Alvin dalam siniar yang sama.
Pernyataan Raka sebelumnya, soal edukasi seksualitas yang cukup dipahami individu dengan “nalar” dan “kewarasan” belaka, menunjukkan bahwa masih ada jalan terjal dan panjang dalam menangani kekerasan seksual di lingkungan sekolah.
Jika ada anak perempuan yang hamil, misalnya, dirinya akan menjadi korban setidaknya dua kali: korban hamil di luar keinginannya dan korban stigmatisasi bahwa dirinya tidak bernalar serta tidak waras.
Berkaca dari kasus kawan Rani yang hamil dan keluar dari sekolah, kita dapat menemukan bahwa masih ada stigmatisasi perempuan yang berhubungan seksual, miskonsepsi tentang persetujuan seksual dalam hubungan pacaran, dan miskonsepsi tentang persetujuan seksual di bawah pengaruh alkohol. Tidak hanya di lingkungan sekolah, berbagai kasus pemerkosaan dalam pacaran atau pernikahan berujung tidak digubris aparat penegak hukum. “Kan, suka sama suka” adalah ucapan yang kerap dilontarkan polisi saat ada pelaporan.
Baca Juga: Jangan Lewatkan 5 Hal Penting Ini Saat Kamu Belajar Pendidikan Seksual
Padahal, sebuah riset yang dilakukan UNESCO pada 2009 mengungkapkan bahwa edukasi seksualitas, baik di dalam maupun luar sekolah, tidak berdampak pada penambahan risiko infeksi penyakit menular seksual dan aktivitas atau perilaku berisiko seksual. Malahan, program yang mempromosikan edukasi seksualitas dengan pendekatan abstinence-only ditemukan tidak efektif dalam menunda inisiasi seksual, mengurangi frekuensi seks, dan mengurangi jumlah pasangan seksual.
“Ada ironi. Jadi ketika awal tujuannya ‘Tidak boleh ada pendidikan seksual nanti dia malah seks ‘bebas’.’ Ternyata, saat hal itu diaplikasikan, dampaknya malah berlawanan dari apa yang diinginkan. Ketika tidak diberikan pendidikan seksual yang komprehensif, anak jadi lebih rentan dan riskan melakukan hubungan seksual yang berisiko,” ungkap Alvin.
Menurut Noridha, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk mulai mengajarkan edukasi kespro yang komprehensif ke peserta didik di tengah stigma tabu. Pertama, terbuka dengan orang tua tentang isu remaja terkini. Harapannya, orang tua juga dapat paham urgensi dari edukasi kespro yang selama ini masih terhambat oleh berbagai stigma dan miskonsepsi.
Kedua, melibatkan orang tua dalam mendidik anak bersama guru. Sebab, masih ada pandangan bahwa pengajar utama anak adalah guru. Orang tua atau wali juga memiliki peran besar untuk memenuhi kebutuhan dan memberikan wawasan kepada anak.
Baca Juga: Marak Konten FWB di Sosmed, Komentar Warganet Buktikan Minimnya Pendidikan Seksual
Ketiga, menghilangkan asumsi salah bahwa memberikan informasi terkait kespro sama saja membuat anak jadi penasaran tentang seksualitasnya. Padahal, melihat tren sekarang, ucap Noridha, banyak sekali perilaku seksual remaja yang sudah masuk dalam kategorisasi harmful.
“Tapi, di sisi lain, kalau kita ngelihat perilaku remaja sekarang, banyak sekali perilaku seksual yang sudah harmful. Orang tuanya berpikir nggak perlu [edukasi kespro], anak-anaknya [malah] sudah lebih advanced,” tambahnya.
Keempat, melakukan asesmen yang berbasis bukti. Sekolah dapat membuat penelitian tentang pengetahuan dan perilaku seksual anak di sekolahnya. Lalu, hasil asesmen ini didiskusikan bersama orang tua untuk selebihnya ditentukan standar dan kebutuhan edukasi kespro di sekolahnya.
Di Balik Ini, Ada Negara yang Menelantarkan Warganya
Dilansir dari CNN Indonesia, Presiden Joko Widodo menyayangkan peringkat pendidikan dan kesehatan Indonesia yang masih jauh tertinggal, yaitu pada posisi ke-57 dan ke-58. Peringkat ini dikeluarkan oleh Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness pada Juni 2024.
Padahal, menurut Jokowi, pendidikan dan kesehatan sangat berpengaruh dalam penciptaan sumber daya manusia yang unggul di Indonesia. Infrastruktur sebagus apa pun tidak akan baik jika tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang mumpuni, tambahnya.
Ironisnya, Jokowi sebenarnya punya peran besar dalam memperbaiki kondisi negara. Pernyataannya ini menunjukkan bahwa komitmen nasional yang dibuatnya selama menjabat presiden selama 10 tahun tidak berjalan dengan sukses. Berbagai programnya (RPJMN 2015–2019, RAN-PA 2015–2019, Inpres No. 5/2014 tentang GN-AKSA, dan STRANAS PKTA 2016–2020) yang menjanjikan perlindungan pada anak, termasuk dari kekerasan seksual, untuk meningkatkan sumber daya manusia, masih nihil perubahan.
Sampai kini, kita dapat menemukan kasus dispensasi nikah di mana-mana, pemerkosaan anak yang tidak berujung keadilan, pelecehan antarsiswa yang masih dinormalisasi, putus sekolah, aparat penegak hukum yang menyalahkan korban kekerasan seksual, juga hambatan akses aborsi bagi anak korban pemerkosaan.
Sebuah artikel berjudul “Child sexual abuse in Indonesia: A systematic review of literature, law and policy” yang terbit pada 2019 menjabarkan faktor masih terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, yaitu tabu dan stigma soal seks, kemiskinan dan kerentanan ekonomi, program proteksi anak milik Pemerintah yang belum komprehensif, serta definisi anak dalam produk hukum yang masih tumpang tindih.
Baca Juga: ‘Saya Jalan Lebih Jauh’ Cerita Perempuan Hindari Pelecehan di Ruang Publik
Pada KUHP, perempuan dapat memberikan persetujuan seksual pada usia 15 tahun, sedangkan lelaki tidak diatur. Dalam UU Pernikahan, perempuan dan lelaki dapat menikah setelah menginjak usia 19 tahun, kecuali terjadi dispensasi nikah yang disetujui pengadilan setempat. Dalam UU Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Regulasi pemerintah yang kontradiktif ini berdampak pada definisi dari persetujuan seksual sehingga akan berdampak juga pada penanganan kasus anak.
Selain itu, melansir dari Harian Kompas, Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia, Anjali Se, menyatakan bahwa tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan, baik secara nasional maupun global, menunjukkan akses yang tidak merata tentang layanan kesehatan seksual dan reproduksi.
Melansir dari Amnesty International, kekerasan pada anak, terlebih perempuan, tidak hanya berbuah rasa takut dan sakit, tetapi juga menurunkan rasa percaya diri dan kelangsungan mereka di sekolah. Dampak dari kekerasan yang dialami perempuan, di tengah balutan stigma pada korban, berpengaruh signifikan pada kesempatan bekerja dan kemandirian finansial mereka. Korban pun jauh lebih rentan ditargetkan dalam kasus perdagangan orang.
Jokowi seakan melupakan bahwa dampak kesehatan dan keamanan peserta didik di lingkungan sekolah dapat memengaruhi pendidikan. Jika memang Negara memiliki prioritas untuk meningkatkan sumber daya manusia, seharusnya ada inisiasi yang jauh lebih matang dan tanggap untuk mengatasi kekerasan pada anak.
Baca Juga: Kekerasan pada Anak, Pandanglah Pelaku dan Jangan Salahkan Ibu
Kurikulum yang membatasi edukasi kespro menjadi semata dengan perspektif abstinence-only, sistem sosial patriarki yang menyalahkan korban kekerasan dan menjadikan perempuan warga kelas dua, serta negara yang belum cukup berintegritas dan terintegrasi dalam menyelesaikan permasalahan menjadi lingkaran setan dalam memerangi risiko pada anak. Kekerasan seksual masih terjadi di tingkat pendidikan dasar dan menengah karena warga negara tidak dididik untuk mengerti apa itu kekerasan seksual.
Pada 2016, UNESCO menemukan bahwa edukasi seksualitas akan paling berpengaruh baik jika program dilakukan dengan pelbagai elemen komunitas, termasuk layanan kesehatan, orang tua, dan guru untuk menjangkau orang muda yang dimarginalisasi. Upaya lewat Permendikbudristek PPKSP saja tidak cukup untuk memberantas kekerasan di lingkungan sekolah jika tidak diimbangi dengan upaya kolektif Pemerintah yang menggandeng lembaga lintassektor.
Pihak sekolah perlu berkolaborasi dengan lembaga-lembaga yang fokus pada isu anak dan gender, seperti Komnas Perempuan, KemenPPPA, dan akademisi atau praktisi isu gender. Selain itu, dalam upaya mendorong peserta didik untuk berani melapor, sekolah juga perlu menciptakan lingkungan yang ramah gender salah satunya dapat dengan merekrut lebih banyak pendidik perempuan, melatih edukator sebaya untuk berpartisipasi aktif, melibatkan kawan sebaya (peer support), dan menerapkan prinsip ITGSE dalam edukasi kespro.
Baca Juga: Pameran ‘Speak Up’, Anak-Anak Bersuara Melawan Isu Kekerasan Seksual
Tentu pihak sekolah juga perlu mendapatkan dukungan dan dorongan dari Negara dalam melaksanakan program rekomendasi di atas. Selain itu, Negara perlu memperbaiki definisi anak yang masih tumpang tindih dalam produk hukum. Selain itu, mengembangkan perspektif gender pada aparat penegak hukum dan tenaga kesehatan, serta meningkatkan kapasitas kepala daerah di setiap wilayah.
Mekanisme desentralisasi yang diterapkan Pemerintah menjadikan regulasi bergantung pada kepemimpinan kepala daerah masing-masing. Walau juga memiliki kekuatan sendiri, desentralisasi menjadi tantangan jika ada ketimpangan kemauan politis (political will) antarpejabat daerah.
Sudah seharusnya Negara menepati janji konstitusi untuk memberikan akses pendidikan yang layak bagi warganya. Termasuk menciptakan ruang yang aman dan nyaman untuk peserta didik belajar.