#JusticeforMoumita dan Krisis Ruang Aman bagi Perempuan

#justiceformoumita-dan-krisis-ruang-aman-bagi-perempuan

Mubadalah.id – Jagad sosial media saat ini tengah gempar dengan viralnya kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Dr Moumita. Ia adalah seorang dokter muda perempuan yang hendak beristirahat usai menjalankan shift jaga yang panjang selama 36 jam.

Dr Moumita disebut tengah menempuh pendidikan pascasarjana di Kolkata R. G. Kar Medical College and Hospital (RGKMCH). Dalam berbagai sumber pemberitaan media massa menyebutkan bahwa Dr Moumita terakhir kali terlihat memasuki ruang seminar rumah sakit untuk mengistirahatkan diri pada 9 Agustus 2024 pukul 02.00 dinihari waktu Kolkata.

Lalu keesokan paginya, rekan sejawat Dr Moumita melaporkan kehilangan karena korban tak terlihat di tempat kerja. Akhirnya pada pukul 11.00 korban mereka temukan di ruang seminar rumah sakit dalam keadaan meninggal dunia dengan kondisi yang sangat tragis. Fakta ini semakin menegaskan tak ada ruang aman bagi perempuan.

Hasil otopsi mengungkap bahwa Dr. Moumita mengalami berbagai luka-luka dan cedera pada tubuhnya. Seperti pendarahan di kedua mata, pendarahan di area mulut, cedera di wajah dan kuku, dan pendarahan pada vagina. Lalu cedera di kaki kiri, cedera di area perut, cedera di leher, cedera di tangan dan pergelangan tangan kanan, jari patah, serta cedera di bibir. Selain itu, mereka temukan pula cairan sperma sebanyak 150 ml di dalam tubuh korban.

Memicu Gelombang Protes

Kejadian tragis yang merenggut nyawa korban ini kemudian memicu gelombang protes dari asosiasi profesi maupun masyarakat di Kolkata India. Namun, Kepala Kolkata R. G. Kar Medical College and Hospital (RGKMCH) Dr Sandip Ghosh justru memberikan tanggapan yang cenderung menyalahkan korban. Ia menyebut bahwa tindakan Dr Moumita tergolong tak bertanya jawab karena pergi ke ruang seminar yang kosong pada malam hari sendirian.

Duka dan amarah saya menjadi-jadi ketika mengetahui kejadian tragis ini. Terlebih saat mengetahui bahwa pihak-pihak otoritatif tidak berada pada sisi korban. Namun justru menyalahkan perbuatan korban. Sialnya, hal semacam ini terjadi tidak hanya 1-2 kali, tetapi berulang kali di berbagai belahan dunia. Seolah mengatakan kepada seluruh dunia bahwa setiap kekerasan yang terjadi kepada perempuan adalah akibat dari ulahnya sendiri.

Di Indonesia saja, sudah tak terhitung banyaknya cerita tentang penyidikan kasus kekerasan seksual yang berhenti, karena penyidik menganggap kasus tersebut terjadi akibat kelalaian korban.

Misalnya seperti kasus pemerkosaan wisatawan di Labuan Bajo yang mandek 4 tahun, dan kasus pemerkosaan anak di bau-bau. Dan lagi-lagi hal ini terjadi terus menerus di berbagai belahan dunia, termasuk di India saat ini.

Ruang Aman bagi Perempuan

Cara berpikir yang demikian bukan saja menguntungkan dan melegitimasi tindakan pelaku kekerasan seksual. Namun juga memberangus ruang aman bagi perempuan. Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2024 melaporkan bahwa kekerasan seksual dalam bentuk fisik termasuk kekerasan seksual mendominasi jenis kekerasan terhadap perempuan di ruang personal. Pelakunya pun didominasi oleh orang terdekat seperti pacar, suami, ayah kandung, ayah tiri, dan lain-lain.

Apakah kemudian di ruang publik perempuan lebih aman? Ternyata tidak. Catahu 2024 mencatat ada lebih dari 2911 kasus kekerasan terhadap perempuan di ruang publik yang terjadi di lingkungan kerja, sekolah, fasilitas umum hingga lingkungan sekitar tempat tinggal. Di ruang publik, pelakunya mayoritas oleh orang tidak dikenal, teman, rekan kerja, tenaga profesional hingga aparat.

Dengan kata lain, perempuan nyaris tak memiliki ruang aman untuk diri sendiri. Ancaman kekerasan terhadap perempuan ada di mana-mana. Di ruang privat yang tertutup maupun ruang publik yang terbuka.

Kasus Dr Moumita ini menunjukkan betapa mengerikannya dunia bagi perempuan. Bahkan ketika ia ingin beristirahat usai kelelahan bekerja, ia harus meregang nyawa hanya karena dia seorang perempuan. Pun, ketika telah meninggal akibat serangan para pemerkosa yang biadab, ia tetap disalahkan karena anggapannya tak menjaga keamanan diri.

Apakah para pemegang otoritas ini menganggap bahwa laki-laki pelaku kekerasan sedemikian tak mampu berpikir dan tak mungkin kita didik untuk tidak melakukan kekerasan? Sehingga perempuan sebagai korban dipaksa menyesuaikan diri dengan ancaman-ancaman kejahatan yang tersebar di mana-mana. Atau mereka hanya mau mencari jalan pintas?

Alih-alih memperbaiki sistem yang mendukung kejahatan pelaku yang tentunya memerlukan kampanye masif, pendidikan mengakar dan kolaborasi banyak pihak, para pemegang otoritas lebih memilih terus menerus melempar kesalahan pada pihak korban. Lalu mereka dengan tanpa rasa bersalah menghardik tindakan-tindakan personal perempuan. []

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
#JusticeforMoumita dan Krisis Ruang Aman bagi Perempuan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us