‘Love and Labour’: Cinta dan Perjuangan Myrtle Witbooi

‘love-and-labour’:-cinta-dan-perjuangan-myrtle-witbooi

Myrtle Witbooi pernah menulis seperti ini: “We will move mountains! We shall leave no stone unturned until domestic workers freed from slavery.” Atau artinya “Kami akan memindahkan gunung! Kami tidak akan membiarkan satu hal pun terlewat hingga pekerja rumah tangga terbebas dari perbudakan.”

Lebih dari setengah abad dari umurnya, ia pergunakan untuk berjuang memajukan martabat dan pemenuhan hak-hak pekerja rumah tangga (PRT). 

Myrtle Witbooi adalah seorang organiser sekaligus pembangun serikat pekerja di Afrika Selatan. Perjuangannya tidak hanya berlingkup lokal, namun juga nasional, bahkan internasional.  Seorang yang tak berhenti berjuang untuk pekerja rumah tangga sampai ajal menjemputnya pada Januari tahun lalu.

Kehidupan Myrtle dari bayi sampai meninggal, penuh dengan pelbagai pergolakan baik di diri sendiri, keluarga, masyarakat lokal, nasional sampai internasional, terekam dalam Buku Love and Labour ini. 

Biografi Myrtle Witbooi ini disusun koleganya, Jennifer N. Fish, dan diotorisasi oleh keluarga serta kolega-kolega yang lain. Sebuah biografi yang intim, menunjukkan personalitas dan perjuangan untuk kemanusiaan yang mengagumkan. Hal ini tidak mengherankan karena Jennifer merupakan kolega dan sahabat Myrtle selama 22 tahun.

'Love and Labour', buku biografi tentang Myrtle Witmoor
‘Love and Labour’, buku biografi tentang Myrtle Witmoor

Dari pengantar buku ini sebenarnya sudah menggambarkan siapa Myrtle Witbooi itu. Bagi Pia Stalpaert, Presiden ACV-CSC Food and Services Union, Belgia, Myrtle Witbooi adalah salah satu mercusuar yang menerangi jalan menuju keadilan bagi mereka yang terpinggirkan dan tidak bisa bersuara.  Kehidupan, perjuangan, dan dedikasinya yang tak tergoyahkan terhadap perjuangan hak-hak PRT meninggalkan bekas yang tak terhapuskan, baik bagi mereka yang berjuang bersamanya maupun bagi banyak PRT di seluruh dunia.

Baca Juga: Stereotip Perempuan Jawa di Film: Perannya Jadi PRT, Dianggap Miskin dan Kampungan

Elisabeth Tang, Sekretaris Jenderal Internasional Domestic Workers Federation (IDWF), dalam kata pengantar juga mengungkapkan bahwa Myrtle mempunyai hati yang besar dan luas, demikian luas sehingga selalu ada ruang untuk mendengarkan, merasakan, mengambil, dan menyimpan  semua cerita suka dan duka, gagasan dan pendapat PRT yang ditemuinya di mana pun ia pergi.

Kesan yang penuh makna datang dari penyusun sendiri, Jennifer Fish, ketika ia pertama kali bertemu Myrtle untuk melakukan penelitian pada tahun 2001, sebagai seorang mahasiswa pascasarjana muda, yang sedang ingin melakukan penelitian tentang pekerja domestik di  Afrika Selatan, yang merupakan negara demokratis baru. Myrtle jelas seseorang yang harus ia temui karena Myrtle adalah tokoh dari organisasi nasional Serikat Pekerja Rumah Tangga di Afrika Selatan. Apa respon Myrtle setelah Jennifer mengutarakan maksudnya?

“Jika Anda ingin memahami kehidupan pekerja rumah tangga, datang dan bekerjalah bersama kami. Letakkan alat perekam Anda dan turun ke jalan bersama kami, datang dan lihat di mana kami tinggal, dan kemudian lihat apa yang bisa Anda lakukan untuk mendukung Serikat kami.” 

Jennifer benar-benar melakukan apa yang disarankan Myrtle, dan ia menjadi kolega serta sahabat seperjuangan sampai akhir hayat Myrtle. Sahabat sejak masih mahasiswa sampai menjadi Profesor Kajian Perempuan dan Jender di Universitas Old Dominion, Amerika Serikat.

Perjalanan Hidup Myrtle Witbooi

Sebagaimana biasanya biografi, buku ini juga diawali dari perjalanan hidup Myrtle dari kecil. Mirtle lahir pada 31 Agustus 1947 di Genadendal sebuah desa atau kota kecil, di Provinsi Western Cape, Afrika Selatan. 

Genadendal merupakan “pangkalan” misi gereja tertua di Afrika Selatan, sehingga Myrtle kecil sampai remaja sangat akrab dengan kegiatan rohani, seperti paduan suara dan sekolah injil. Bahkan kemudian ia menjadi guru di sekolah Minggu. Tumbuh di desa “agamis” ini tidak hanya menjadikan Myrtle punya rasa keimanan yang kuat, tapi juga menjadi pelindung baginya selama periode kelam apartheid.

Masa kecil Myrtle hidup dalam keluarga yang bahagia, walaupun dia anak adopsi. Kedua orang tua adopsinya terlihat selalu rukun, mereka selalu duduk berdua di balkon, kemudian Myrtle datang dan duduk di tengah-tengah. Orang tua yang mengadopsinya adalah tante dari ibu biologisnya.

Selain mengulas kondisi keluarga Myrtle, Jen juga memaparkan kondisi sosial politik lokal maupun nasional pada masa apartheid.  

Baca Juga: Pekerjaan Rumah Tangga Dianggap Bukan Kerja, Ini Asal Mula Penindasan Dalam Rumah

Tahun 1950-an, beberapa tahun setelah kelahiran Myrtle, terjadi pemisahan wilayah berdasarkan ras (apartheid). Hal ini terjadi setelah Partai Nasional meraih kekuasaan pada tahun 1948. Landasan bagi kebijakan apartheid tersebut adalah adanya Undang-undang Pendaftaran Penduduk dan Undang-Undang  Pengelompokan Kawasan. Yang pertama mengharuskan semua warga negara untuk diberi label (“diklasifikasikan”) oleh pejabat negara ke dalam kelompok ras tertentu. Sedangkan Undang-undang  Pengelompokan Kawasan menetapkan semua wilayah berdasarkan kelompok ras tersebut, dan mengharuskan keluarga-keluarga dipindahkan secara fisik, kadang-kadang dari properti dan rumah yang telah mereka tinggali selama beberapa generasi, ke pinggiran kota dan distrik-distrik yang lebih rendah yang sering kali diubah zonanya secara khusus untuk kepentingan pengelompokan ras yang mereka tentukan.

Cerita dalam buku ini demikian mengalir. Kadang-kadang Jen menyelipkan kalimat-kalimat langsung yang diutarakan oleh Myrtle. Di samping itu juga ada foto-foto dokumentasi, yang sebagian besar terkait aktivitas Myrtle, baik sebagai aktivis tingkat nasional maupun global. Kekayaan dokumentasi ini tak mengherankan karena Jen di setiap kesempatan bersama Myrtle, ia selalu merekam omongan, statemen, dan pidato yang disampaikan Myrtle. Disamping tentu saja mengumpulkan dokumen dari keluarga dan kolega lain.

Pada usia 17 tahun Myrtle pergi ke Cape Town untuk bekerja sebagai PRT live-in (menginap). Memasuki dekade pertama sebagai PRT, Myrtle bisa merasakan ada sesuatu yang penting yang hilang pada hidupnya. Ia tersudut dalam sistem yang kaku dalam tradisi masyarakatnya berpadu dengan buruknya kondisi dan situasi sebagai PRT yang menginap. Dari penderitaannya tersebut, tumbuh kesadaran akan potensi mengubah sistem.

Lahirnya Seorang Pemimpin

Kampanye perlawanan Myrtle dimulai dari rumah tangga, yakni dengan strategi mengingatkan majikan perempuan akan peran mereka sebagai perempuan, tanpa memandang ras, agama, atau konstruksi status apartheid. Dengan menuntut hak-haknya di rumah tangga tempat ia bekerja, Myrtle memulai komitmen seumur hidupnya untuk perubahan sosial. 

Yang pertama ia lakukan adalah menghilangkan ketidakadilan apartheid di rumah pribadi, di mana PRT menderita karena sistem yang mengisolasi mereka. Ia percaya apa yang terjadi dalam ranah pekerjaan domestik tersebut terkait dengan ketidakadilan sistem apartheid. Bagi Myrtle, membela hak-hak perempuan dalam rumah tangga mewujudkan visi dunia yang lebih adil, sekaligus menjadikan pemberdayaan individu perempuan lebih konkrit.

Tahun 1971, ia menulis surat ke surat kabar The Clarion di Cape Town, sebagai respon terhadap artikel tentang karakteristik PRT yang seolah-olah “ditakdirkan” dalam kondisi buruk dan berbeda dengan masyarakat lain. Surat empat halaman yang ia buat  berisi tentang perlunya perlindungan upah minimum dan waktu liburan bagi PRT. Surat yang dimuat di The Clarion tersebut dengan cepat membuatnya menjadi “juru bicara” terdepan untuk hak-hak pekerja rumah tangga.

Upaya yang dilakukan Myrtle dalam mengorganisasikan PRT dianggap oleh penguasa apartheid sebagai mengorganisir pekerja ilegal.  Dan tentu saja itu dilarang. Namun, Myrtle mengumpulkan para perempuan ini di lokasi-lokasi rahasia, membangun dukungan, menulis dan mengirimnya ke surat kabar menuntut kondisi kerja yang lebih baik, dan mendorong gerakan kolektif mereka yang terisolasi di “rumah majikan” di seluruh Afrika Selatan.

Baca Juga: 5 Kali Lebaran Tak Mudik Karena Ongkos Mahal, Saya Kerja Lembur Biar Dapur Ngebul

Pada tahun 1986, Myrtle ikut mendirikan serikat pekerja rumah tangga Afrika Selatan (SADWU), yang merupakan organisasi nasional pertama untuk PRT. Kemudian ia bergabung ke African National Congress (ANC), bekerja bersama pemimpin perjuangan Desmond dan Leah Tutu. Akibat aktivitasnya (mengorganisasi PRT dan lantang menyampaikan kebenaran), ia dijebloskan ke penjara sampai tiga kali dan hampir kehilangan nyawa dalam serangan bom di Community House  Cape Town pada 1987.

Setelah kekuasaan apartheid runtuh dan Afrika Selatan memasuki era demokrasi dengan dipilihnya Nelson Mandela sebagai presiden, perjuangan Myrtle juga tidak pernah surut.

Tahun 2000 Myrtle dan kawan-kawan mendirikan organisasi nasional baru, yang semata-mata didedikasikan untuk hak-hak pekerja rumah tangga di era baru demokrasi. Organisasi itu bernama South African Domestic Service and Allied Workers Union (SADSAWU). Myrtle terpilih menjadi Sekretaris Jenderal di organisasi tersebut.

Melalui organisasi baru tersebut ia terus menuntut perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. Ketika Undang-Undang Ketenagakerjaan muncul yang secara eksplisit mengecualikan PRT, Myrtle tidak tinggal diam. Ia bersama kawan-kawannya menantang pemerintah. Misalnya mereka pernah merantai diri di pintu gerbang parlemen. Pernah mengunci menteri ketenagakerjaan di kantornya dan menyimpan kuncinya sampai menteri memberikan respon terhadap tuntutan mereka.

Bergerak ke Kancah Internasional

Keberhasilan kepemimpinannya di tingkat nasional membawanya ke kancah internasional. Pada 2008, mewakili SADSAWU, Myrtle diundang ke Jenewa untuk mengikuti konferensi internasional pekerja rumah tangga yang kedua. 

Konferensi pertama diadakan pada tahun 2006 di Amsterdam, yang diikuti 60 perwakilan PRT dari berbagai negara. Pada konferensi yang kedua tersebut dibentuklah International Domestic Workers Network (IDWN), dan Myrtle terpilih menjadi ketua.

Menurut buku ini, tahun-tahun setelah 2008 adalah tahun-tahun yang menggetarkan. Myrtle sebagai perwakilan IDWN terlibat dalam proses dan capaian bersejarah bersama WIEGO, IUF dan berbagai organisasi dan individu yang memperjuangkan kerja layak bagi PRT menjadi kebijakan internasional, dalam hal ini menjadi Konvensi ILO. 

Upaya yang dilakukan organisasi dan individu yang selama ini memperjuangkan hak-hak PRT, mencapai keberhasilan yang gemilang yakni diadopsinya Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dalam Konferensi Buruh Internasional ke-100, pada 16 Juni 2011.  Ini bentuk kemenangan bagi PRT di seluruh dunia.

Baca Juga: Tak Bisa Pulang Kampung, Ongkos Mahal, Kami Jadi PRT Infal Saat Lebaran

Pada 2013, IDWN berubah tidak hanya berbentuk jaringan namun menjadi federasi, sehingga namanya menjadi International Domestic Workers Federation (IDWF). Myrtle terpilih menjadi presiden dan Elisabeth Tang menjadi sekretaris jenderal. Selama puluhan tahun menjadi pimpinan SADSAWU dan IDWF, Myrtle telah menjadi juru bicara bagi PRT. Mengobarkan semangat kepada serikat-serikat PRT di negara-negara anggota IDWF.  Atas apa yang telah dilakukan, ia mendapat penghargaan George Meany-Lane Kirkland Human Rights Award dari AFL-CIO dan mendapat Global Fairness Award tahun 2015.

Di dunia ini semua ada akhirnya. Demikian juga dengan hidup Myrtle. Tahun 2022 ia didiagnosis menderita chondrosarcoma, atau kanker tulang rawan. Dan di 16 Januari 2023 Myrtle menghembuskan nafas yang terakhir kali.

Kenanglah Segala yang Baik

Myrtle dikenal sebagai pemimpin yang mempunyai prinsip, punya tekad kuat, visioner, sekaligus menenangkan. Ia menyeimbangkan tindakan hati-hati dan humor, dengan  menentang  penguasa yang tidak mendengar suara rakyat.

Myrtle juga dikenal mempunyai kemampuan berbicara yang persuatif, menyemangati dengan bahasa yang indah. Di bagian akhir buku ini, ada beberapa nukilan yang membuktikan hal itu. Salah satunya yang disampaikan di awal ulasan ini:

“Kami akan memindahkan gunung-gunung! Kami tidak akan membiarkan satu hal pun terlewat hingga pekerja rumah tangga terbebas dari perbudakan.”

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
‘Love and Labour’: Cinta dan Perjuangan Myrtle Witbooi

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us