Setelah diberikan penghargaan oleh para juri, Rully Mallay menyatakan ucapan syukurnya, dan kemudian menuliskan ini di media sosialnya.
“Bertahun-tahun yang lampau ketika para guru dan teladan kami seperti Bu Nyai Masruchah, Bu Nyai Masriyah Amfa, Bu Damai Pakpahan, Bu Esthi Susanti dan sederetan nama lainnya dianugerahi Award SK Trimurti. Saya selalu terkagum dan haru. Hari ini ketika AJI Indonesia dalam resepsi ultah ke -30 di Gedung Perfilman Usmar Ismail menetapkan saya sebagai penerima award, ini sungguh sesuatu yang diluar dugaan saya karena tidak terbayang sedikit pun saya akan bisa menerima SK Trimurti Award.”
“Saya merasa sangat jauh dari aspek kelayakan untuk menerima penghargaan bergengsi ini. Tetapi karena ini sudah terjadi dan tercatat sebagai sejarah perjalanan AJI, saya menyampaikan apresiasi atas keberanian Aliansi Jurnalis Independen mendobrak tabu politik Indonesia yang mayoritas masih anti pada keberagaman gender dan orientasi seksual.”
Lanjut Rully, “SK Trimurti Award yang saya terima sejatinya adalah penghargaan untuk kerja-kerja kolektif kita semua yang telah memberikan kontribusi dan dedikasi pada aspek perlawanan ketidakadilan melalui karya jurnalis dan aktivisme. Membongkar mulut mereka yang membisu atas serangkaian penderitaan, tekanan, kekerasan stigma dan diskriminasi yang mendera berpuluh-puluh tahun dari tirani seperti mimpi batu yang bahkan berabad di desa dan di kelas angin-angin santer rindu saat kapan tiba waktu bisa jaga dari tidur dan penantian yang teramat panjang.”
Baca Juga: Menerima Diri, Menerima Tuhan, Menerima Kasih: Cerita Perjalanan Spiritual Transpuan
Rully Mallay adalah pengelola SSC Teratai di Shelter Waria Crisis Center (WCC), rumah aman bagi transpuan yang mengalami krisis sosial, ekonomi, dan/atau keamanan. WCC ini berdiri sejak 2019 dengan dukungan dari tiga lembaga. Yaitu Yayasan Kebaya Yogyakarta, Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), dan Pondok Pesantren Waria Al-fatah.
Mereka berusaha terus berkolaborasi untuk dapat bertahan dari segi finansial. Selain itu, WCC juga kerap melakukan pembangunan kapasitas berupa legal advocacy dan pelatihan kesehatan mental.
Rully Mallay selaku pendiri dan koordinatornya sekarang pernah menjadi guru di tingkatan SD, anggota DPRD, lalu bersekolah aktivisme di Filipina, serta pada awal 2000-an mulai tergabung dalam komunitas transpuan.
Sebelumnya, Rully lebih fokus bekerja pada isu buruh tani. Ia sejak awal 2000-an sudah banyak turun ke lapangan menjadi aktivis, seperti pada masa pasca tsunami di Aceh atau pembuatan dapur umum di awal pandemi COVID-19. Pada 2013, Arus Pelangi menemukan bahwa 89,3 persen kelompok LGBT di Indonesia pernah alami kekerasan. Munculnya shelter WCC pada 2019 adalah bukti bahwa penanganan krisis pada transpuan masih tidak banyak digubris pemerintah. Mereka harus berjuang untuk diri mereka sendiri.
Baca Juga: Buku Santri Waria’: Patahkan Stigma Waria yang Kurang Taat Agama
Rully juga pengelola organisasi Kebaya. Yayasan Kebaya selama ini memberikan perawatan dan penginapan gratis kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang terlantar. Mereka juga membuat berbagai program sosial tanggap darurat untuk membantu waria dan perempuan pekerja seks di empat kabupaten di Yogyakarta, mulai dari Sleman, Bantul, hingga Kulon Progo. Program tersebut ialah mendirikan 8 dapur umum. Menstimulasi 16 kelompok usaha waria, dan membagikan 234 paket sembako setiap bulan. Termasuk di dalamnya cairan pembersih tangan dan masker kain buatan transpuan. Program ini dilakukan untuk menjaga ketahanan pangan komunitas marginal di masa pandemi karena mayoritas rekan-rekan transpuan di Yogyakarta tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sehingga mereka tidak bisa mengakses Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah
Juri SK Trimurti Award, Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, pengurus Kapal Perempuan, Misiyah dan Pengurus AJI, Ana Djukana menyatakan bahwa Rully Mallay berhak menerima ini semua.
“Ia mendapat penghargaan ini karena sudah mendedikasikan dirinya untuk advokasi kelompok minoritas gender.”
Baca Juga: Pameran ‘Ruang Rasa’, Transpuan Memaknai Trauma dan Keberanian
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memperingati ulang tahun ke-30 dengan mengangkat tema “Membangun Resiliensi di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme” di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, Jumat(9/8). Ketua AJI, Nani Afrida menegaskan AJI memerlukan resiliensi dalam menghadapi dua persoalan besar sekaligus, yaitu disrupsi media dan menguatnya otoritarianisme.
“Resiliensi ini artinya kemampuan umum menyesuaikan diri dalam menghadapi tantangan besar,” ujar Nani dalam sambutannya.
Lebih lanjut, Nani mengatakan dalam aspek otoritarianisme, ditandai dengan tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis baik secara fisik, digital dan seksual. Sayangnya, semua kasus itu berakhir dengan impunitas.
“Tahun ini, terjadi 40 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis baik seksual, digital, fisik,” tegasnya.
Dalam aspek hukum, ada berbagai rancangan undang-undang (RUU), seperti RUU Kepolisian dan beberapa lainnya. Pasal karet dalam RUU ini makin membuat jurnalis sulit bekerja.
Baca Juga: Feby Damayanti: Bagaimana Hidup Transpuan di antara Janji Capres dan Caleg
Pada saat yang sama, AJI yang berada di 40 kota dan mempunyai 1800 anggota di seluruh Indonesia, melihat ada fenomena disrupsi media yang menyebabkan dunia jurnalisme mengalami situasi yang berat. Ada penutupan media massa karena sulit bertahan, pemutusan hubungan kerja terhadap jurnalis, dan sengketa antara pemilik media dan pekerja media.
Nani menjelaskan, disrupsi media juga menyebabkan pelanggaran kode etik (melanggar pagar api). Seperti jurnalis diminta mencari iklan, gaji jurnalis di bawah UMR. Saat dunia jurnalisme mengalami penurunan kualitas, justru AI yang mudah digunakan untuk membuat informasi bohong dan hoax.
“AJI tetap harus bertahan dan profesionalisme jurnalis juga membutuhkan resiliensi,” ujar Nani.
Dalam kesempatan itu, Nani menyatakan solidaritas dan menyerukan kepada dunia untuk memberikan perhatian serius bagi para jurnalis yang terbunuh di Palestina. Hingga saat ini sudah lebih dari 100 jurnalis yang tewas di Palestina sejak Israel melakukan genosida di wilayah itu.
Sementara itu ahli hukum Bivitri Susanti dalam pidato kebudayaannya di ulang tahun ini, mengatakan perjuangan mempertahankan demokrasi adalah sebuah perjuangan panjang penuh tantangan, dan perlu berjejaring. Jurnalis, aktivis, dan akademisi adalah pilar-pilar menopang demokrasi yang rawan mendapat kekerasan saat kualitas demokrasi menurun. Ia melihat, jurnalis dengan kerja investigasinya mempunyai peran penting untuk menyuarakan suara kritis. Pasalnya, dalam situasi yang tidak demokratis, transparansi informasi sulit ditemukan.
“Sebagai akademisi, saya sangat diuntungkan dengan adanya laporan investigasi karena bisa dikutip menjadi data,” ujarnya.
Baca Juga: 15 Transpuan Seroja Karnaval Kostum Daur Ulang Sampah: Lawan Krisis Iklim Dan Diskriminasi
Dalam sambutannya, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan saat ini kehidupan pers memiliki tantangan yang tidak kecil. Tantangan ini bersifat sistemik dan jauh berbeda dari 30 tahun lalu.
“Di era digital, kerja-kerja jurnalistik harus berhadapan dengan produk-produk digital di media sosial yang seolah menawarkan kebenaran,” ujarnya.
Pada era digital, jurnalis masih tetap diperlukan. Sebab para influencer dan youtuber di media sosial tidak punya kepekaan kritis untuk menggali kedalaman informasi seperti yang dimiliki para jurnalis. Ia meminta pemerintah tidak menghalangi jurnalis dalam mencari informasi untuk membuat berita yang kritis.
“Sayangnya, pemerintah justru lebih suka dengan influencer daripada jurnalis,” tambahnya.
Dalam kesempatan peringatan ulang tahun AJI ini, juga diumumkan peraih Udin Award yang diperoleh oleh podcast Bocor Alus Tempo. Salah satu pertimbangannya, menurut perwakilan Dewan Juri Erick Tanjung, Bocor Alus Tempo berani memberitakan isu sensitif yang signifikan bagi kepentingan publik.
“Bocor Alus menginspirasi masyarakat untuk memperjuangkan kebebasan pers dan menjamin kebebasan berekspresi,” ujarnya.
Untuk Tasrif Award, ada dua peraih penghargaan ini. Yaitu warga Rempang, Batam dan Hendrikus Woro, tokoh adat suku Awyu, Papua.
Untuk Student Award, sebuah penghargaan untuk pers mahasiswa, diberikan kepada Dian Amalia Ariani dari Suara Mahasiswa UI. Karya jurnalistiknya berjudul, “Kami Yang Tak Sama, Juga Berhak Beragama”. Ia dipilih sebagai yang terbaik dari 72 karya pers mahasiswa. Karya Dian memadukan keragaman gender dan moderasi keberagaman.
Baca Juga: Cerita Kerukunan Bissu Transpuan di Sulawesi Selatan
Tim juri juga memberikan dua penghargaan lain bagi pers mahasiswa. Yaitu kepada Revina Annisa Fitri dari SKM Amanat UIN Walisongo dengan judul karya ‘Dokumenter Patok Tanpa Dialog: Perjuangan Masyarakat Rawa Pening Melawan Patok dan Ancaman’.