Jakarta (ANTARA) –
Stasiun Kereta Api Gambir merupakan salah satu stasiun utama di Jakarta yang tidak hanya berperan penting dalam sistem transportasi kota, tetapi juga memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan perkembangan perkeretaapian di Indonesia.
Berdiri sejak era kolonial, stasiun ini terus berkembang dan bertransformasi hingga menjadi stasiun modern yang kita kenal saat ini.
Stasiun Gambir menjadi salah satu stasiun kereta api kelas besar tipe A yang terletak di Kelurahan Gambir, Gambir, Jakarta Pusat, tepatnya di sebelah timur Monumen Nasional (Monas), serta terhubung dengan akses jalan menuju Monas.
Pada masa Hindia Belanda, stasiun ini awalnya dikenal sebagai Stasiun Weltevreden. Pada 1930-an, setelah dilakukan renovasi, namanya diubah menjadi Stasiun Batavia Koningsplein. Kemudian, pada 1950-an, nama stasiun ini kembali berubah menjadi Stasiun Gambir.
Stasiun ini juga mengalami perombakan besar pada 1988 hingga 1992, menjadi stasiun jalur layang. Bagaimana sejarah stasiun ini selama era kolonial Belanda? Berikut penjelasannya.
Sejarah Stasiun Gambir
Stasiun Gambir pertama kali dibangun pada tahun 1871 oleh pemerintah kolonial Belanda dan saat itu dikenal dengan nama Station Weltevreden, sesuai dengan nama kawasan tempatnya berdiri.
Pada awal operasionalnya, stasiun ini hanya melayani jalur kereta api menuju Batavia (Jakarta Kota) dan Bogor, yang merupakan jalur penting pada masa tersebut untuk mendukung aktivitas ekonomi dan pemerintahan kolonial.
Stasiun ini adalah stasiun kereta api yang berada di jalur pertama Batavia–Buitenzorg, yang diresmikan oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), khususnya jalur Batavia–Weltevreden. Awalnya, stasiun ini diperkirakan berstatus sebagai halte kecil yang diresmikan pada 15 September 1871.
Stasiun ini memiliki atap yang didukung oleh bantalan besi cor sesuai desain Staatsspoorwegen (SS) pada 1881, sementara NIS belum menggunakan jenis atap ini. Setelah pengambilalihan SS pada 1913, stasiun diperbesar pada 1928 dan direnovasi secara besar-besaran setahun kemudian, mengadopsi gaya Art Deco. Atap diperpanjang hingga 55 meter ke sisi utara.
Pada tahun 1937, seiring dengan berkembangnya kebutuhan transportasi, stasiun ini direnovasi secara besar oleh SS, perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda. Renovasi tersebut menjadikan Stasiun Gambir memiliki arsitektur bergaya Art Deco yang khas pada era tersebut.
Namun, perubahan besar terjadi pada akhir 1980-an ketika pemerintah Indonesia melakukan modernisasi stasiun ini. Dalam proyek besar yang selesai pada tahun 1992, stasiun Gambir diperluas dan diubah menjadi stasiun tingkat dengan struktur yang lebih modern dan minimalis. Nama “Weltevreden” pun ditinggalkan, dan sejak saat itu dikenal dengan nama Stasiun Gambir.
Pada 5 Juni 1992, Presiden Soeharto bersama Ibu Negara Siti Hartinah dan pejabat pemerintah meresmikan Stasiun Gambir yang baru dengan menaiki KRL dari Stasiun Gambir ke Stasiun Jakarta Kota.
Setelah bertransformasi menjadi jalur layang, Stasiun Gambir kini memiliki empat jalur dan tampil modern dengan sentuhan panel berwarna hijau pupus yang masih dipertahankan hingga saat ini.
Setelah pembangunan stasiun layang selesai, jalur kereta di bawahnya dicabut, dan area bekas Stasiun Gambir lama beralih menjadi halaman parkir mulai 1994. Dapat diketahui, Stasiun Gambir tidak lagi berfungsi sebagai pemberhentian KRL Commuter Line, yang kini dialihkan ke Stasiun Gondangdia dan Stasiun Juanda.
Fungsi dan peran penting
Sejak mengalami transformasi besar-besaran, Stasiun Gambir menjadi stasiun utama di Jakarta untuk kereta api jarak jauh, terutama yang melayani rute ke berbagai kota di Pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Meski demikian, pada 2011, beberapa rute kereta kelas ekonomi dipindahkan ke Stasiun Pasar Senen, sehingga Stasiun Gambir kini lebih banyak melayani kereta eksekutif dan bisnis.
Stasiun Gambir juga terkenal karena menjadi pusat transportasi yang terhubung dengan berbagai moda transportasi lainnya, seperti bus Transjakarta dan taksi. Selain itu, lokasinya yang berada dekat dengan Monumen Nasional (Monas) menjadikan stasiun ini sebagai akses utama bagi wisatawan dan masyarakat yang ingin mengunjungi ikon ibu kota.
Sebagai bagian dari sejarah Jakarta dan transportasi nasional, pelestarian Stasiun Gambir menjadi perhatian. Meskipun bangunan lamanya telah berubah menjadi lebih modern, unsur-unsur sejarahnya tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas stasiun ini.
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2024