Sudah 209 tahun berlalu sejak pintu kayu dari rumah itu dibuka Nyonya Tan So, persis di pinggiran jalan Kota Cirebon. Lebih dari dua abad itu pula aroma kunyit, temulawak, dan jahe menyeruak dari balik dinding-dindingnya, padu dengan panas dan angin laut, terbang melintasi pergantian generasi. Dua abad lebih telah berlalu, dan toko kecil yang diterpa zaman itu tetap berdiri kokoh dengan foto Nyonya So yang abadi di beranda. Waktu sudah berubah, tetapi esensi yang tersisip dalam setiap racikan jamu tetap sama; tradisi yang hidup dari kekuatan alam, cinta pada bumi, dan keyakinan untuk menghidupi sesama.
Seiring matahari terbit dan terbenam, tangan-tangan perempuan yang mewarisi pengetahuan ini terus meracik, menjaga warisan yang telah sampai di tangan generasi keenam. Kini, warisan itu ada di tangan Liana (70) yang dengan cekatan meracik jamu resep Nyonya Tan So. Liana berasal dari Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Kuching, Malaysia. Kendati bukan keturunan langsung dari Nyonya So, kedekatannya dengan alam, herbal, dan jamu sejak kecil membuatnya dipercaya memegang warisan jamu Nyonya So.
“Saya bukan keturunan langsung dari Nyonya So. Keturunannya tinggal di Jakarta. Ada satu yang di sini juga, kadang suka bantu. Saya yang dipercaya untuk meracik resepnya,” ungkap Liana ketika ditemui Konde.co.
Resep-resep jamu di Toko Cap Nyonya So telah diwariskan secara turun-temurun selama lebih dari dua abad. Meski di tengah riuh ramai modernisasi, Liana tetap setia melestarikan warisan ini. Bahan-bahan jamu yang digunakan pun sepenuhnya berasal dari alam sekitar Cirebon, menjaga keaslian dan kualitas yang telah diakui selama ratusan tahun.
Baca Juga: Tantangan Pewarisan Jamu: Dari Hegemoni Farmasi Modern sampai Stigma ke Perempuan
“Di sini sampai sekarang Nyonya So punya resep. Tapi kalau tahu resep gak ada bahannya kan percuma. Bahannya sendiri dari sini (Cirebon),” tambahnya.
Keberadaan etnis Tionghoa di Cirebon sendiri memiliki sejarah panjang dalam perdagangan dan penyebaran pengobatan herbal tradisional. Cirebon sendiri adalah kota pelabuhan penting di pesisir utara Jawa yang menjadi salah satu titik persinggahan utama dalam jalur perdagangan antara Nusantara dan wilayah Asia lainnya, termasuk Tiongkok.
Sejak era kolonial, pedagang-pedagang Tionghoa berdatangan ke Cirebon dan berbaur dengan masyarakat setempat, membawa budaya, agama, dan keahlian mereka, termasuk dalam bidang pengobatan tradisional.
Hanya Diwariskan ke Perempuan
Di setiap sudut toko yang masih setia pada kesederhanaannya, terdapat tangan dan buah pikir perempuan dalam mewariskan resep-resepnya. Dalam keluarga besar Nyonya So, tradisi peracikan jamu selalu diwariskan kepada perempuan, menjaga kesucian dan kesinambungan pengetahuan herbal yang abadi dua abad lamanya. Pewarisan ini bukan sekadar peralihan bisnis, melainkan simbol tanggung jawab menjaga warisan budaya yang telah mengakar.
“Warisannya itu ke menantu Nyonya So dan terus ke bawah, perempuan semua. Peraciknya itu perempuan semua,” jelasnya.
Pewarisan resep kepada perempuan memperlihatkan betapa pentingnya peran mereka dalam menjaga pengetahuan tradisional ini. Selama lebih dari dua abad, perempuan di keluarga Nyonya So telah meracik berbagai ramuan herbal yang dipercaya memiliki khasiat penyembuhan untuk berbagai penyakit. Hingga kini, Jamu Cap Nyonya So menawarkan sekitar 30 macam racikan yang masih setia diproduksi oleh tangan Liana sebagai generasi keenam.
“Ada sekitar 30 jamu. Paling banyak pegal linu, hampir tiap hari pasti ada yang beli. Sama yang (untuk) persalinan itu,” tambahnya.
Namun, perjalanan panjang Toko Jamu Cap Nyonya So tidak selalu mulus. Modernisasi dari sisi kesehatan membawa tantangan tersendiri. Liana mengungkapkan bahwa penjualan jamu kini tidak menentu, terutama karena akses ke layanan kesehatan modern semakin mudah di era ini.
“Penjualannya tidak menentu, kadang ramai, kadang enggak. Karena sekarang orang jarang pakai jamu lagi. Tapi ada beberapa orang yang sakit lambung, paru-paru, itu kunyit sama temulawak penting, jadi pada ke sini,” jelasnya.
Tak Lekang Zaman, Tak Lapuk Dikepung Farmasi Modern
Perjalanan panjang mempertahankan tradisi jamu di tengah arus modernisasi tidaklah mudah. Selama beberapa dekade terakhir, farmasi modern dengan segala inovasi dan kemudahannya telah mendominasi pasar pengobatan, membuat jamu tradisional seperti terpinggirkan. Selain industri, negara juga turut ambil bagian dengan menempatkan obat-obatan kimia sebagai pengobatan arustama sambil menihilkan ramuan herbal di layanan kesehatan.
Pun, obat-obatan modern dianggap lebih cepat dan praktis, sementara ramuan herbal dicap sebagai pengobatan kuno dengan proses yang lama dan rasa yang pahit.
“Katanya waktu beberapa puluh tahun lalu ramai. Sekarang orang punya BPJS (obat-obatan modern) jadi enggak ramai,” selorohnya.
Tantangan ini juga disoroti oleh dr. Inggrid Tania, seorang praktisi kesehatan sekaligus ketua umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) yang menyebutkan bahwa farmasi modern memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang masyarakat dalam memilih metode pengobatan. Meskipun begitu, jamu tetap memiliki kelebihan yang tak bisa dipandang remeh, yaitu minimnya efek samping.
Baca Juga: Suwe Ora Jamu, Upaya Perempuan Memutus Kejemuan Akan Jamu
“Obat-obatan modern memang cepat dan efektif, tapi jamu punya kelebihan tersendiri, yaitu efek samping yang minimal. Orang kadang lupa bahwa bahan-bahan alami seperti kunyit dan temulawak bisa menawarkan penyembuhan yang lebih holistik,” paparnya.
Berdirinya Toko Jamu Cap Nyonya So selama lebih dari dua abad membuktikan bahwa ramuan herbal bisa menjadi solusi pengobatan alami yang aman. Bahan yang dipakai juga dijaga kualitas dan kesegarannya dengan selalu memperbarui stok bahan baku tiap sebulan sekali.
“Padahal kan kalau jamu ini hampir bisa dijamin gak ada efek samping. Bahan di sini juga aman, saya selalu stoknya dibuang sebulan sekali, ganti yang baru,” papar Liana.
Peta Jalan Jamu dan Pentingnya Pelestarian sebagai Warisan Budaya
Pelestarian jamu tidak hanya penting dari segi kesehatan, tetapi juga sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah bertanggung jawab menjadi pengasuh yang baik dalam memperkuat posisi jamu, terutama setelah pengakuan UNESCO yang menetapkan jamu sebagai warisan budaya takbenda dunia pada tahun 2021.
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menegaskan bahwa pengakuan jamu sebagai warisan budaya tersebut bukan hanya simbolis, melainkan bagian penting dari peta jalan yang dirancang untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya serta memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Peta jalan ini merupakan strategi jangka panjang yang mengintegrasikan berbagai elemen budaya yang dianggap fundamental, termasuk pengobatan tradisional seperti jamu.
“Pengakuan ini menjadi realisasi peta jalan pelestarian cagar budaya dan pemajuan kebudayaan,” ujar Hilmar.
Lebih lanjut, Hilmar menambahkan bahwa pelestarian jamu memerlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, industri, dan masyarakat. Dengan adanya peta jalan yang jelas, jamu memiliki potensi besar untuk menjadi bagian integral dari sistem kesehatan nasional, sembari terus menjaga identitas budaya Indonesia.
“Pelestarian jamu membutuhkan optimalisasi keterlibatan bersama dan masyarakat dalam pengelolaan kolektif yang partisipatif,” pungkasnya.
Baca Juga: Hidup Menghidupi Jamu dengan Adil Gender: Mewariskan Tradisi, Melawan Ketidakadilan
Toko Jamu Cap Nyonya So di Cirebon adalah contoh nyata dari pelestarian jamu sebagai warisan budaya. Meski diterpa tantangan zaman, toko ini terus menjaga tradisi yang telah mengakar kuat selama lebih dari dua abad. Dengan adanya peta jalan yang jelas dalam pelestarian jamu, warisan ini dapat terus hidup dan berkembang, menjadi solusi bagi kesehatan masyarakat sekaligus memperkuat identitas budaya Indonesia.
Jamu bukan sekadar ramuan penyembuh, tetapi juga representasi dari perjalanan panjang tradisi, kepercayaan, dan kekuatan perempuan yang menantang zaman. Toko Jamu Cap Nyonya So menjadi monumen berharga bahwa jamu sebagai simbol dari cinta pada alam dan budaya harus dipertahankan hingga kini, dua abad lagi, dan abadi.
(foto: dok. Konde.co/Luthfi Maulana Adhari)
(Artikel ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)