Hidup Bermakna, Mati dengan Lega

hidup-bermakna,-mati-dengan-lega

originalOleh Reza A.A Wattimena

Apa itu kehidupan? Pernahkah kita bertanya soal ini? Dari kecil, kita harus makan, minum, buang air, tidur dan sekolah. Di masa dewasa, kita harus bekerja.

Kerap kali, tantangan begitu banyak. Ketidakpastian amatlah besar. Kita bisa sakit, gagal dalam pekerjaan, jatuh miskin atau meninggal mendadak. Tentu saja, ada kebahagiaan yang kerap datang bergantian dengan nestapa yang mengikutinya.

Jadi, kehidupan adalah ragam pengalaman yang ada. Ada beragam pengalaman. Spektrumnya cukup luas, dan sungguh berwarna. Bisa dibilang, secara singkat dan padat, kehidupan adalah rangkaian spektrum pengalaman yang sungguh berwarna.

Kita juga merasa, bahwa hidup ini milik kita. Kita merawatnya sebaik mungkin. Kita makan dan berolahraga. Kita belajar dan bekerja. Ini dilakukan semua manusia, kecuali ada masalah batin yang berkecamuk, sehingga orang memilih untuk merusak diri, atau justru mengakhirinya.

Kehidupan juga dapat dilihat sebagai tarian fenomena. Ini adalah tarian peristiwa yang datang dan pergi. Ada perjumpaan, dan ada perpisahan. Ada kegagalan, dan ada keberhasilan. Ada air mata kecewa, dan ada air mata bahagia.

Semuanya berubah begitu cepat. Dalam waktu singkat, usia sudah menua. Badan mulai terasa lemah. Juga dalam waktu singkat, kerabat dan sahabat sudah meninggalkan kita semua, kerap tanpa ucap perpisahan.

Karena semua berubah, semua juga sementara. Semua seperti asap. Kita seolah melihatnya, tetapi tak bisa menggenggamnya. Karena perubahan yang begitu cepat, semua seolah ada, tetapi juga tidak ada pada saat yang sama.

Karena kurang paham, kita mengejar kehidupan. Kita ingin kaya dan terkenal. Kita ingin berhasil, dan dikagumi oleh orang. Namun, kita kerap lupa, itu semua terus berubah, dan amat sementara.

Juga karena kurang paham, kita saling membenci. Kita takut pada hal-hal baru. Kita takut pada ketidakpastian. Karena ketakutan, kita jatuh dalam amarah, dan saling membunuh satu sama lain.

Ini pola yang terus berulang. Setiap jaman pasti mengalami hal yang sama. Perkembangan sains dan teknologi membuatnya semua itu semakin cepat serta rumit. Juga karena kurang paham, kita terjebak di masalah yang terus sama, yakni kecanduan akan kebahagiaan, dan kebencian terhadap ketidakpastian.

Samsara

Nietzsche, pemikir Jerman, punya konsep yang menarik untuk menggambarkan ini, yakni die ewige Wiederholung des Immergleichen, atau keberulangan abadi dari sesuatu yang terus sama. Semua berulang. Kenyataan itu bersifat siklikal, yakni melingkar dari mengulang dirinya sendir. Nietzsche kiranya terinspirasi dari pandangan yang lebih tua di dalam filsafat Asia, yakni tentang Samsara.

Di dalam filsafat Asia, atau lebih tepatnya jalan pembebasan (Dharma) Asia, hidup itu adalah Samsara. Ini bukan berarti penderitaan, tetapi terus berulangnya segala sesuatu dengan pola serupa. Samsara paling terasa di dalam batin kita. Polanya dua, entah kita mengejar hal yang kita suka, lalu kecanduan, atau kita membenci hal yang tidak kita suka, lalu dibakar amarah.

Kecanduan dan amarah adalah sumber derita yang amat besar. Jika mengalami, orang terasa seperti berada di dalam neraka. Saya mengalaminya. Anda juga pasti mengalaminya. Pertanyaan kecilnya, apakah anda tidak lelah dan bosan dengan pola ini?

Tanpa pemahaman, kehidupan menjadi Samsara. Hidup pun terasa tak bermakna, kering dan membosankan. Semuanya diakhiri dengan masuk dalam kubur, atau dibakar. Bagaimana keluar dari ini semua?

Jalan Pembebasan

Seluruh tradisi pembebasan, termasuk Zen, Buddhisme Tibet sampai dengan Advaita Vedanta, mencoba menjawab pertanyaan ini. Caranya sederhana. Kita mengajukan pertanyaan kecil, apa yang mengalami semua perubahan yang terjadi dengan segala warna yang bersifat sementara di dalam kehidupan? Pendek kata, apa yang mengalami tarian Samsara dan die ewige Wiederholung des Immergleichen ala Nietzsche ini?

Di dalam neurosains, terutama pemikiran Christof Koch, Anil Seth dan David Chalmers, setiap pengalaman manusia terjadi di dalam kesadaran. Bisa dibilang, kesadaran adalah panggung dari kehidupan yang berisi semua pengalaman manusia. Semua terjadi di dalam kesadaran. Semua lahir darinya, dan semua kembali ke padanya.

Bahkan, di dalam neuroteologi, kesadaran bisa dilihat sebagai sang pencipta. Ia adalah tuhan yang berada di dalam diri manusia. Pandangan ini jauh lebih bisa diterima oleh akal sehat, daripada konsep Tuhan di luar sana yang menuntut untuk disembah, selalu butuh uang dan mendiamkan segala derita manusia.

Namun, saya rasa, tidaklah cukup melihat kesadaran sebagai panggung pengalaman manusia. Koch dan Chalmers tentu lebih detil. Beberapa karya ilmiah saya kiranya bisa dilihat soal ini. Anda bisa mencarinya di Google.

Di dalam tradisi Zen, kesadaran tidak banyak dibahas. Zen lebih menggunakan konsep jati diri sejati (true self) yang berada sebelum pikiran. Memberinya konsep berarti sudah menjadi sebentuk pikiran juga. Pikiran, terutama pikiran yang dianggap sebagai kenyataan, adalah sumber dari semua derita manusia.

Pikiran juga bersifat sementara. Ia datang dan pergi. Ia berubah. Pikiran dan perasaan saling terkait, walaupun perasaan memiliki intensitas yang lebih kuat.

Inti Batin Manusia

Pikiran hanyalah proyeksi dari sesuatu yang lebih mendasar, yakni kesadaran. Penting untuk memahami kesadaran yang merupakan inti dari semua pengalaman manusia, termasuk pikiran maupun perasaannya. Tradisi Dzogchen dan Mahamudra di dalam Buddhisme Tibet kiranya bisa membantu disini. Ada tiga ciri dari kesadaran sebagai inti batin manusia (nature of the mind), yakni kekosongan (emptiness-Dharmakaya), kemampuan untuk tahu (cognizant-Sambhogakaya), dan kesatuan antar keduanya (Nirmanakaya).

Inti dari batin manusia itu kosong. Ini seperti ruang yang bisa menampung segalanya. Tidak ada materi di dalamnya. Semua pengalaman manusia lahir dari kekosongan ini, dan akan kembali kepadanya.

Namun, kekosongan bukanlah ketiadaan. Kekosongan, yang merupakan inti batin manusia, memiliki ciri sadar. Ia bisa tahu (cognizant) apa yang terjadi di sini dan saat ini sebagaimana adanya, sebelum konsep dan bahasa terbentuk. Kemampuan untuk tahu dan kekosongan bertaut begitu erat, tanpa pernah bisa terpisahkan.

Tugas kita sederhana: kita hanya perlu sadar dari saat ke saat tentang inti dari batin kita tersebut. Kita perlu sadar setiap saat, bahwa batin kita itu kosong (empty) sekaligus tahu (cognizant) apa yang sedang terjadi di sini dan saat ini. Kita hanya perlu sungguh sadar, bahwa kekosongan dan kemampuan untuk tahu merupakan diri kita yang asli. Pada saat kita menyadari kesatuan antara kekosongan dan kemampuan untuk tahu, segala bentuk pikiran, perasaan, penderitaan dan samsara berhenti seketika.

Pendek kata, kita perlu belajar untuk akrab dengan diri kita sendiri saat ke saat. Diri kita adalah kesatuan antara kekosongan dan kemampuan untuk tahu (unity of emptiness and cognizant ability). Diri kita tersebut sama dengan segala yang ada, baik dulu, sekarang dan di masa depan. Di titik ini, ada perasaan lega yang tak terbatas.

Latihannya cukup sederhana, dan tidak perlu terlalu ngotot. Di sela segala bentuk kegiatan, cukup tahu sepenuhnya apa yang ada di sini dan saat ini. Sadari bahwa inti batin kita sedang bekerja. Biarkan kesadaran ini berjalan sementara, lalu mulai kembali berkegiatan.

Hidup pun menjadi bermakna. Kita tidak lagi dipenjara oleh Samsara. Ada kejernihan, sikap welas asih dan kedamaian di dalamnya. Inilah spiritualitas yang melampaui segala bentuk moralitas dangkal, apalagi yang disebarkan dengan agresif oleh agama kematian dari tanah gersang.

Jika waktunya tiba, kita mati dengan lega. Jika kita sudah sungguh sadar akan diri kita yang sejati, yakni kekosongan yang bertaut dengan kemampuan untuk tahu, kita akan sampai pada pemahaman, bahwa tidak ada yang disebut kematian. Tubuh manusia tentu akan menua, dan lenyap. Namun, batin kita tak pernah lahir, dan tak pernah mati. Inti batin kita adalah kesadaran yang bertaut dengan kemampuan untuk tahu.

Kita berlanjut ke tahap selanjutnya…

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Hidup Bermakna, Mati dengan Lega

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us