Setiap orang memproses duka dan damai dengan cara dan temponya sendiri. Hal ini juga berlaku pada perempuan widow (catatan: penulis memilih menggunakan kata ‘widow’ ketimbang ‘janda’ karena alasan pribadi). Namun tekanan masyarakat membuat perempuan yang berada pada posisi tersebut seakan harus menetapkan dukacita mereka pada ritme tertentu, serta didorong untuk segera ‘menerima’ kehilangan. Atau, duka mereka dieksploitasi oleh orang lain secara sadar atau tidak. Sosok Hana menghadapi itu semua dalam film ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’.
‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ (kerap disebut JESEDEF) adalah karya kedua production house (PH) Imajinari. Disutradarai oleh Yandy Laurens, film ini memiliki konsep hitam-putih bertemakan rom-com (romantic-comedy). Premis film JESEDEF berkisah tentang Bagus, seorang laki-laki berusia akhir 30-an tahun yang sedang jatuh cinta kepada Hana, teman lamanya yang baru saja ditinggal wafat oleh suaminya.
Dua karakter utama, Bagus dan Hana, diperankan oleh Ringgo Agus dan Nirina Zubir. Film ini turut didukung oleh beberapa aktor dan aktris ternama seperti Dion Wiyoko, Sheila Dara, Julie Estelle, Alex Abbad, dan lain-lain.
Baca Juga: Duka Kematian Mahsa Amini, Perempuan yang Dituduh Tak Berjilbab Dengan Benar
Maju-mundur alur cerita dalam film ‘JESEDEF’ ditentukan oleh warna yang digunakan pada setiap scene-nya. Perbandingan jumlah scene hitam-putih dan berwarna dalam film ini tidak sama; porsi scene hitam-putih cenderung lebih banyak. Diangkat dari pengalaman pribadi Ibunda Yandy Laurens, ‘JESEDEF’ ingin mengajak penonton merasakan lika-liku kehidupan melalui pilihan warna tersebut.
Film dengan durasi 1 jam 56 menit ini sedikit-banyak mengajarkan unsur film kepada penonton. Alur cerita terbagi menjadi 8 sequence yang tersusun rapi. Ia membawa penonton mengenali duka yang dialami Hana pasca ditinggal suami untuk selamanya dan kegigihan Bagus merebut perhatian Hana.
Sinopsis Singkat: Sudut Pandang Hana
Memang, karakter sekaligus pemilik sudut pandang utama di film ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ adalah Bagus. Namun, dalam rangkaian tulisan ini, saya akan lebih fokus menyorot sosok Hana ketimbang Bagus dan membahasnya dari sudut pandang perempuan.
Hana adalah seorang perempuan yang baru saja kehilangan suaminya, Denny, untuk selamanya. Sempat tinggal di Yogyakarta, ia pun memutuskan kembali ke Jakarta dan menjadi seorang florist kecil-kecilan. Keputusan Hana untuk kembali ke Jakarta dan bertemu Bagus membawanya pada kehidupan penuh lika-liku.
Pertemuan pertama (meet-cute) Hana dan Bagus di supermarket merupakan titik awal Bagus menuliskan kisah cintanya ke dalam naskah film. Bagus melakukan riset setiap bertemu Hana dan melayangkan berbagai pertanyaan. Salah satunya mengenai pengganti mendiang Denny dalam hidup Hana.
Seiring berjalannya waktu, Hana menyadari maksud dan tujuan Bagus mendekatinya. Bukan demi cinta, melainkan proyek film perdana garapannya selaku sutradara dan penulis. Bagus melakukan kesalahan fatal sehingga membuat Hana murka dan memilih untuk menutup usahanya, lalu kembali ke Yogyakarta.
Pada akhirnya, Bagus sadar akan segala hal yang telah dilakukan sangat egois dan nirempati kepada Hana. Bagus juga mencoba memahami arti dukacita dan cara berdamai dari setiap orang.
Memahami Dukacita Widow (Janda)
Meski merupakan teman dekat Hana, sikap Bagus sebagai laki-laki cenderung sulit memahami makna dukacita yang dirasakan orang lain. Terutama dukacita Hana dalam posisinya sebagai widow (janda).
Dalam jurnal ‘Gender Differences in Adjustment to Bereavement: An Empirical and Theoretical Review’, Margaret Stroebe, et al. menyebut bahwa widow memiliki tingkat depresi yang tinggi serta lebih ekspresif untuk mengutarakan suasana hati ketimbang laki-laki. Widow tidak diberikan ruang yang setara dengan laki-laki saat mengalami dukacita. Hal serupa turut dialami oleh Hana pasca Denny berpulang.
Nilai patriarki yang tertanam dalam diri Bagus terlihat jelas. Bagus acuh terhadap perasaan duka Hana dan memaksakan kehendaknya dengan merealisasikan pembuatan film berlatar kisah hidup kawannya itu pasca ditinggal mendiang Denny.
Colette Van Lar, et al. dalam jurnal ‘MANdatory – Why Men Need (And Are Needed For) Gender Equality Progress’ menerangkan bahwa perempuan dinilai sebagai makhluk lemah dan membutuhkan pendamping dalam hidupnya. Secara tidak langsung, pernyataan itu juga merujuk laki-laki sebagai pemegang tahta tertinggi dalam kehidupan. Pandangan tersebut sejalan dengan kondisi Hana yang dinilai harus mencari pengganti mendiang Denny selaku teman hidup dan pemimpin rumah tangga.
Baca Juga: ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ Mungkin Cinta Tidak Harus Memiliki
Seseorang yang telah ditinggal pasangan hidup akan memilih untuk melanjutkan hidupnya sendiri dengan berbagai pertimbangan. Begitu pula dengan Hana. Ia memiliki alasan pribadi untuk tidak membuka lembaran hidup bersama orang baru. Kehadiran Denny memberi kesan tersendiri baginya sehingga sulit tergantikan.
Neurologis Sigmund Freud, dalam esai berjudul ‘Mourning and Melancholia’, mengelompokan 2 jenis kesedihan (grief); yaitu normal grief dan morbid grief. Keduanya memiliki kesamaan sebagai rasa duka. Perbedaannya ada pada dampak dari kesedihan yang dialami. Bila mengalami kesedihan atas dukacita jangka pendek termasuk normal grief, morbid grief adalah kebalikannya. Duka yang satu ini berdampak panjang dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Peristiwa yang dialami Hana termasuk kategori morbid grief.
Status ‘widow’ (janda) yang disandang Hana sedikit-banyak berimbas pada roda perekonomian hidupnya hingga aktivitas sehari-hari. Walaupun latar belakang kehidupan Hana sebelum kepergian Denny, serta tahapan trauma Hana terhadap suasana kamar tidur, tidak diceritakan secara rinci.
Kadar morbid grief yang dialami Hana terbilang tinggi. Hal tersebut terlihat dari trauma Hana di sepanjang malam saat melihat foto maupun video mendiang suaminya. Itu berdampak pada psikisnya yang enggan memilih tidur di kamar. Alhasil, sofa ruang tengah menjadi tempat terbaik bagi Hana untuk istirahat.
Baca Juga: Suamiku Mau Poligami, Ini Kisahku Berlatih Jadi Janda
Posisi Denny selaku suami, kepala keluarga, dan pencari nafkah dalam rumah tangga hilang seketika. Hana dipaksa melanjutkan hidup dengan cara pindah kembali ke Jakarta dari Yogyakarta dan membuka usaha bunga kecil-kecilan di rumah, diikuti trauma yang belum selesai dalam hidupnya.
Roda perekonomian hidup Hana sejalan dengan sudut pandang Thomas L. Hungerford dalam jurnal ‘The Economic Consequences of Widowhood on Elderly Women in the United States and Germany’. Ia menjelaskan, secara umum seorang widow mengalami perubahan drastis dalam aspek ekonomi hidupnya. Tantangan tersebut harus mampu dilewati demi menyambung hidup sepeninggalan suami selaku pencari nafkah dalam keluarga.
Rangkaian karangan bunga untuk mendiang Denny di rumah duka menjadi titik awal Hana memutuskan untuk menjadi florist. Keputusan itu sekaligus menjadi caranya berdamai dengan keadaan (coping mechanism) agar tidak berlarut dalam duka.
Hana berjuang untuk menyambung hidup melalui usaha toko bunga kecil-kecilan bersama Ibu Yati dan keluarganya. Perjuangan Hana menjadi seorang florist guna menyambung hidup dapat dikatakan berhasil. Ia mampu memiliki tim kecil, mulai dari asisten florist hingga kurir pengantar bunga, dibantu oleh Yati dan keluarga.
Baca Juga: Kisah Indah dan Vega: Menjadi Janda dan Bahagia
Trauma sebagai faktor psikis merupakan permasalahan utama Hana dalam melanjutkan hidup. Keputusan Bagus untuk menuliskan seluruh kisah hidup Hana menjadi film tanpa adanya persetujuan berakibat pada murkanya Hana, sehingga ia memilih kembali ke Yogyakarta.
Perjalanan untuk mencapai tahap acceptance (penerimaan) dalam ‘5 Stages of Grief’ yang dikemukakan oleh Elisabet Kubler-Ross memerlukan kesiapan hati. Ini mengajarkan satu kondisi: berdamai dengan keadaan, tapi tidak melupakan peristiwa kelam dalam hidup.
Serupa dengan penggalan kalimat pada sequence 8 yang diucapkan Bagus kepada Hana. “Enggak perlu move on, move with it aja.” Ucapan Bagus tersebut meyakinkan Hana untuk melanjutkan hidup tanpa melupakan masa lalunya.
(sumber foto: YouTube Cinema 21)