Dua Dekade Tsunami Aceh: Bahrum dan Honda Astrea Kesayangan
Cerita foto kali ini mengisahkan bagaimana kehidupan Bahrumsyah (65) harus berjalan setelah dua dekade tsunami Aceh meluluhlantahkan tanah kelahirannya.
Bahrum, salah satu korban selamat dari 230 ribu korban jiwa tsunami Aceh, tengah duduk di teras kios mebel alumunium miliknya di Jalan Cut Meutia, Baiturrahman, Banda Aceh. Di kios itulah Bahrum melanjutkan hidup selama lebih dari 20 tahun pascatsunami Aceh melanda.
Dengan kaos oblong dan celana pendek, ia menyambut tim Deduktif semringah. Kita mungkin tak pernah tahu, sedalam apa duka yang pernah ia lewati jika tak melihat sisa luka cekung di tangan kanannya.
“Secara logika saya tidak mungkin hidup,” kata Bahrum mengawali perbincangan kami, Jumat (1/3).
Obrolan selanjutnya mundur ke waktu dua puluh tahun silam ketika daratan berguncang, bangunan-bangunan runtuh satu per satu, suara dengungan yang entah berasal dari mana turut menambah kepanikan Selasa pagi di Aceh.
Sekitar pukul setengah empat pagi gempa bermagnitudo 9,3 melanda. Masyarakat langsung bergegas keluar dari lingkungan menuju Pasar Aceh. Namun yang terjadi selanjutnya bukan ketenangan, melainkan bencana yang lebih besar. Sedikit demi sedikit, air menyerupai oli menyusuri daratan.
“Baang, Airrr!” Bahrum mengingat detik-detik terakhir memori bersama istrinya.
Mulanya Bahrum berlari bersama istri dan ketiga anaknya. Saat menggendong Roni (5), si putra bungsu, gelombang air pertama datang, merendam hingga setinggi atap rumah. Bahrum pingsan, keluarganya terpencar.
Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, setengah sadar, ia memutar bola mata ke sekitar. Bahrum ada di lantai II toko Terminal Gedah bersama Roni, mereka sempat saling melirik sampai gelombang air kedua menghantam toko tersebut. Bahrum dan Roni terpisah.
Saat sadar ia terdampar di sekitar terminal, hasta kanannya patah. Seorang perempuan datang melilit tangannya dengan selembar kain batik. “Pak, sekarang Bapak sudah aman. Lukanya sudah dibersihkan, nanti Bapak turun lewat sana,” tunjuk perempuan itu.
Tapi aneh, Bahrum melihat jelas si perempuan pergi sambil merayap ke atap seperti cicak. Ia juga melihat seseorang yang selamat karena digulung ular, sampai mendapat tempat aman. Gelombang ketiga datang menghantam. Semua bangunan tergulung air, rata dengan laut.
Bahrum melihat lebih banyak manusia bergelimpangan, dibanding sampah yang bertebaran. Saat gelombang mulai mereda, Bahrum langsung mencari keluarganya, tapi nihil hasil. Hanya Roni yang berhasil ditemukan, tersangkut di sebuah anak tangga, tewas.
Singkat cerita, ia mengungsi di dekat Masjid Raya Baiturrahman, kemudian dibawa ambulans menuju Rumah Sakit Kesehatan Kodam (Kesdam), dipindah ke Rumah Sakit Malahayati Medan, hingga terakhir pindah ke Rumah Sakit di Deli.
Pihak medis menyarankan untuk mengamputasi lengannya yang sudah busuk dan membengkak sebesar paha, tetapi Bahrum menolak.
“Tentu lebih (baik) yang dulu, kita masih nggak cacat, ya kan? Kondisi ini ibarat cari sedekah,” Bahrum berseloroh sambil menunjukan lengan kanannya yang tengah mengebor alumunium.
Hari ketiga setelah kejadian Tsunami, Bahrum pulang ke toko mebel alumuniumnya di Baiturrahman, Banda Aceh. Tak berharap banyak, ia pasrah mencari sisa-sisa harta yang bisa dipakai untuk memulai hidup. Dan, Bahrum menemukan motor bebek Honda Astrea Star miliknya berada di atas tumpukan sampah tsunami.
Butuh enam bulan agar motor Honda tersebut bisa diperbaiki, sebab hampir semua fasilitas di Aceh lumpuh. Si Honda Astrea dipelihara Bahrum hingga kini, dan telah menjadi saksi perjuangan hidupnya melewati trauma tsunami Aceh.
“Motor ini yang jadi kendaraan sehari-hari saya sampai sekarang,” kata Bahrum.
Pascatsunami, Bahrum sempat menikah hingga dua kali. Tahun 2007 ia menetap kembali di Banda Aceh, membangun bahtera keluarga baru dan menjalani kehidupan di sana. Banda Aceh kembali menjadi pilihan hidupnya karena masih banyak teman karib senasib yang selamat.
“Saat ini umur sudah bertambah tua, sudah waktunya duduk tenang menikmati hidup. Tsunami tidak membuat meninggal, jadi mungkin ini saatnya menunggu meninggal,” pungkasnya.
Bahrum 001
Potret kondisi Bahrum di ruang kerjanya sambil menggunakan sarung tangan di lengan kiri, Jumat (1/3).
Bahrum 002
Bahrum memasang sarung tangan di lengan kiri sebelum bekerja mengebor alumunium, Jumat (1/3).
Bahrum 003
Foto jari telunjuk tangan kiri Bahrum yang terluka oleh gerinda ketika bekerja, Jumat (1/3).
Motor 001
Benda peninggalan Bahrum, motor bebek Honda Astrea Star yang masih tersimpan sejak kejadian tsunami Aceh 2004, Jumat (1/3).
Motor 002
Kondisi motor Honda Astrea Star Bahrum yang masih berfungsi hingga saat ini, Jumat (1/3).
Kios 001
Suasana rumah sekaligus tempat Bahrum bekerja yang menjajakan produk mebel alumunium dan kaca miliknya, Jumat (1/3).
Kios 002
Perkakas proses pembuatan mebel milik Bahrum, Jumat (1/3).
Kios 003
Potret Bahrum tetap bekerja dengan kondisi tulang lengan yang mencuat, Jumat (1/3).
Masjid 001
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh, salah satu masjid yang kokoh berdiri saat diterjang gempa dan tsunami Aceh 2004, Jumat (1/3).
Masjid 003
Masjid Raya Baiturrahman, Baiturrahman, Banda Aceh salah satu ikon Provinsi Aceh yang juga kokoh berdiri saat gempa dan tsunami Aceh 2004, Jumat (1/3).
Kapal 001
Potret Kapal PLTD yang dimuseumkan akibat terbawa arus tsunami Aceh 2004 hingga ke perkampungan warga, Jumat (1/3).
Monumen 001
Potret monumen yang bertuliskan nama korban tsunami Aceh 2004 di Museum Kapal PLTD, Jumat (1/3).
Penulis dan Fotografer: Febria Adha Larasati
Editor: Aditya Widya Putri