Mubadalah.id – Bekerja merupakan upaya yang manusia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kacamata syariat Islam, bekerja manakala berdasarkan niat yang tepat justru kita pandang sebagai suatu aktivitas yang mulia dan bernilai ibadah.
Di antara niat yang tepat dalam bekerja adalah untuk mencukupi hajat dan menafkahi keluarga dengan jalan yang halal dan thayyib,.Yakni dengan menjaga kehormatan diri dan keluarga dari meminta-minta. Selain itu menghindarkan diri dari segala sesuatu yang telah Allah SWT haramkan dalam hal mendapatkan ma’isyah alias penghidupan. Seperti judi, mencuri, dan sebagainya.
Islam sebagai agama yang syumul. Yakni agama yang tatanan ajaran syariatnya detail dan menyeluruh ke segala aspek kehidupan manusia, sejatinya telah merancang sistem kehidupan manusia yang seimbang. Termasuk dalam sistem dunia kerja yang memanusiakan pekerja.
Dalam ajaran Islam, aktivitas bekerja yang memiliki esensi mulia dan bernilai ibadah juga harus kita implementasikan melalui mekanisme sistem yang tepat dan seimbang. Selain itu harus diindahkan oleh pihak-pihak terkait dalam pekerjaan yang dimaksud.
Bagi seseorang yang menjadi pekerja, ia wajib amanah dan tetap menjaga akhlak baik dalam menunaikan kewajibannya sebagai pekerja. Hal ini dapat kita lakukan dengan melaksanakan tugas-tugas pekerjaan secara profesional. Lalu taat aturan pekerjaan, disiplin dan enggan korupsi waktu, suportif terhadap sesama rekan-rekan pekerja, dan sebagainya.
Amanah dan Menjaga Akhlak Baik
Adapun bagi orang yang memberi pekerjaan alias majikan atau pengusaha, maka ia sebagai pihak atasan juga wajib amanah dan tetap menjaga akhlak baik dalam menunaikan kewajibannya. Yaitu dengan memenuhi hak-hak para pekerja yang ia pekerjakan sebab ia telah mengambil keuntungan dari jasa mereka.
Hal ini dapat kita lakukan dengan bersikap ramah dan welas asih kepada para pekerja yang ia pekerjakan. Antara lain, memberikan gaji atau upah yang manusiawi dan setara dengan jerih payah yang telah tercurahkan para pekerja. Selain itu memberikan tugas pekerjaan kepada para pekerja sesuai kontrak kerja, dan sebagainya.
Ketika kedua belah pihak saling memperhatikan dan menunaikan kewajiban masing-masing. Maka hak-hak kedua belah pihak akan terpenuhi dengan sendirinya. Kemudian, ketika hak-hak kedua belah pihak sama-sama terpenuhi dengan baik sebab adanya keseimbangan yang dihadirkan oleh kedua belah pihak, maka hal ini akan menimbulkan dampak positif berupa kestabilan ekonomi dan kesejahteraan bersama.
Terkait dengan pemberian upah sebagai hak pekerja sendiri, sejak ribuan tahun lalu, Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan umatnya untuk benar-benar memperhatikan dan tidak menyepelekan soal pemberian upah. Bahkan beliau juga menganjurkan untuk memberikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya mengering. Dalam arti segera kita berikan. Tidak perlu kita tunda-tunda). Hal ini sebagaimana sabda nabi:
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Artinya: “Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah).
Idealisme Bekerja
Terlepas dari nilai-nilai luhur dan idealisme bekerja dalam ajaran syariat Islam yang begitu indah dan mensejahterakan semua pihak. Sebagaimana yang saya paparkan di atas. Pada realita kehidupan dunia, tak selamanya nilai-nilai luhur dan idealisme bekerja tersebut dapat terimplementasikan sesuai ketentuan.
Ironisnya, pihak yang seringkali dirugikan dalam ketidaksesuaian pemenuhan hak adalah para pekerja. Hal ini dapat kita amati dari masih banyaknya pekerja yang belum sejahtera hidupnya. Karena adanya oknum pengusaha yang tidak amanah dalam menunaikan kewajibannya sebagai atasan.
Di antara ulah oknum pengusaha yang menyebabkan hidup para pekerja belum sejahtera saat ini ialah mereka memberikan gaji yang masih minim dan jauh dari kata manusiawi. Sehingga gaji tersebut tidak bisa mengcover semua kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya.
Selain itu, ada pula oknum pengusaha yang ‘gagal’ menciptakan lingkungan pekerjaan yang kondusif dan supportif, dan justru membudayakan lingkungan pekerjaan yang toxic, sehingga mentalitas dan keamanan para pekerja menjadi terganggu.
Melihat masih menjamurnya fenomena demikian ini, lantas apa yang semestinya kita lakukan? Sebagai seorang muslim sejati, semestinya kita wajib mengindahkan apa-apa yang telah syariat Islam tentukan dalam hal bekerja. Karena hanya dengan begitu, keseimbangan antar pihak akan tercipta. Sehingga kesejahteraan hidup dan stabilitas ekonomi bersama akan terwujud.
Tak berhenti di situ, kita juga harus melakukan kaderisasi dengan menanamkan nilai-nilai luhur dan idealisme bekerja yang sesuai dengan ajaran Islam kepada anak-anak muda. Di mana mereka kelak akan menjadi penerus umat Islam saat ini. Hal ini merupakan salah satu upaya yang penting kita lakukan guna memutus ‘budaya bekerja’ yang belum atau tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam sebagaimana saya jelaskan sebelumnya.
Peran Pesantren
Menurut hemat penulis, kelompok anak muda yang paling tepat untuk kita kaderisasi dalam hal ini adalah kaum santri. Sebab, selain memiliki basic keilmuan agama yang unggul dan kredibel, para santri juga sudah terbiasa hidup dalam pesantren yang merupakan miniatur kehidupan bermasyarakat.
Dengan mengalami tempaan hidup dalam dunia pesantren bertahun-tahun, para santri akan lebih mudah menaruh empati kepada sesama manusia dan cenderung ‘tidak tega’ ketika seandainya mereka disuruh berbuat semena-mena kepada sesamanya, apalagi dalam hal merampas hak orang lain. Nah, karakteristik santri demikian ini tentu saja lebih memudahkan untuk diadakan kaderisasi, apalagi jika didukung oleh banyak pihak.
Guna mewujudkan hal ini, pihak pesantren sebagai tempat naungan di mana para santri menimba ilmu harus adaptif dan responsif dalam menggalakkan kaderisasi ini melalui program-program pesantren dan juga kurikulum pendidikan pesantren yang diterapkan.
Di samping itu, peran orang tua—yang tentunya sudah malang melintang di dunia kerja—juga patut kita maksimalkan. Ketika ada kesempatan, orang tua seyogyanya perhatian dan turut memberikan nasehat-nasehat kepada anaknya yang tengah mengenyam pendidikan pesantren ini. Yakni dengan cara mengingatkan nilai-nilai luhur dan idealisme keislaman dalam dunia kerja. Tujuannya agar kelak ketika lulus dari pesantren sang anak tidak kaget menghadapi realita dunia kerja.
Menurut hemat penulis, jargon “santri berdaya dan mampu memberdayakan” bukanlah sesuatu yang berlebihan untuk kita gaungkan pada masa sekaranng ini dan juga seterusnya. Model didikan “santri berdaya dan mampu memberdayakan” harus kita galakkan. Tujuannya agar di masa depan nanti ketika seorang santri menjadi pengusaha, ia mampu mempekerjakan para pekerja dengan tanpa mengesampingkan aspek kemanusiaan.
Selain itu selalu berpegang teguh terhadap nilai-nilai luhur dan idealisme keislaman dalam dunia kerja, sehingga kelak santri akan berhasil menjadi pelopor sistem dunia kerja yang memanusiakan pekerja. Wallahu a’lam bisshawab. []