Wajah Baru TikTok Shop, Akankah Hapus Kemewahan Belanja Murah?
TikTok Shop kembali beroperasi dengan membangun kemitraan bersama Tokopedia. Akankah wajah baru TikTok Shop-Tokopedia menghapus kemewahan masyarakat untuk berbelanja murah?
“Saya mah kalau nggak ada Tiktok Shop, belum tentu setahun sekali beli baju baru buat anak.”
Tiga jam sebelum Tiktok Shop resmi ditutup Kamis, (3/10/2023) pukul 17.00 WIB, Ara, 32 tahun, buru-buru membeli berbagai perlengkapan sekolah anaknya, terutama seragam. Kebetulan anak paling besar akan masuk sekolah dasar di tahun depan.
Ia lalu membayar satu set seragam seharga kurang dari Rp100 ribu.
Selama TikTok Shop beroperasi, praktis kebutuhan Ara ditopang dari sana. Bahkan perkara membeli panci dan bawang goreng pun ia lakukan di TikTok Shop.
“Lumayan, bedanya itu bisa sampai setengah harga pasar, bahkan lebih. Saya jadi bisa lebih menghemat pengeluaran bulanan dan mengalokasikannya untuk kebutuhan lain, bahkan menabung,” katanya.
Apalagi TikTok Shop hadir saat pandemi Covid-19 melanda. Platform ini menyediakan dua kenyamanan berbelanja sekaligus: praktis dan murah. Konsumen yang doyan bermain media sosial, bisa langsung berbelanja barang rekomendasi afiliator tanpa terkendala pembatasan jarak.
Pendapatan mereka yang terbatas saat Covid-19 pun bisa disiasati dengan harga yang bersaing di TikTok Shop.
“Misal bawang goreng itu cuma Rp35.000, kalau beli di toko online lainnya sekitar Rp60-ribuan,” lanjut Ara.
Maka ketika TikTok Shop disenggol dan beragam regulasi muncul untuk membatasi aktivitas belanja murah masyarakat, Ara lumayan kesal. Pikirnya, pemerintah hanya mementingkan pedagang saja, tak melihat keuntungan yang didapat oleh masyarakat karena harga barang yang lebih murah.
“Ya gimana, bukan cuma pedagang sama afiliator yang kesal. Konsumen menengah ke bawah seperti kita juga kecewa.”
Selepas TikTok Shop tutup awal Okteber 2023 lalu, pemerintah lalu mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Pasal 19 aturan tersebut melarang penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) menjual barang impor di bawah nominal USD100 per unit. Hanya empat item barang yang masuk kategori positive list, alias boleh diimpor tanpa nilai nominal, yakni buku, film, musik, dan software.
Kementerian Keuangan kemudian ikut menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman. Regulasi ini bertujuan menekan impor barang dengan memperketat pengawasan barang masuk, berlaku sejak 17 Oktober 2023.
“Kalau kemarin pesan barang apa saja lewat online dari luar negeri langsung ke rumah konsumen, namanya pass border. Nah sekarang enggak boleh, pass border kita jadikan border, harus ada izin dulu kalau barang-barang konsumen,” tegas Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan usai Rakernas Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) di Semarang, Selasa (19/12/2023).
Memang, menurut data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan angka dokumen pengiriman barang impor terus naik. Jika pada tahun 2017 hanya terdapat 6,1 juta dokumen impor, dalam waktu 5 tahun angkanya naik menjadi 61,3 juta dokumen.
Dan, sekitar 90 persen barang impor tersebut berasal dari transaksi lokapasar.
Tapi, apakah aturan-aturan tersebut benar efektif menutup akses terhadap barang impor?
Tenang Saja, Celah Belanja Murah akan Selalu Ada
Lima orang duduk berjajar di sela-sela tumpukan baju yang terserak. Tangan mereka bergerak sistematis memilah baju, membungkusnya dengan plastik klip bening, dan menempel label penerima, serupa robot yang beroperasi dari satu server. Serempak.
“Manusia robot” lain tampak rongseng mengeluarkan baju-baju dari karung pengemas. Masing-masing karung punya kode nama “CN, BL, TH” yang mewakili asal negaranya: Cina, Bangladesh, Thailand.
Kepadatan ruangan seukuran setengah lapangan tenis itu masih harus mereka bagi dengan tiga menekin sebagai displai dan dua rak besi tinggi tanpa partisi. Ini sudah hari ketiga pasca barang stok datang, namun tumpukan baju seperti tak habis dikemas.
Di muka bangunan tempat mereka berjibaku menempel sebuah spanduk nama label produk fesyen mereka.
“Bisnis ini sudah berjalan 8 tahun. Saya ikut kakak yang sudah lebih dulu terjun berjualan baju anak.”
Wayan (bukan nama asli), 44 tahun, pemilik dari jenama tersebut membuka obrolan dengan kami di Rabu siang, (2/10/2023), sehari sebelum Tiktok Shop resmi tutup.
Ia merupakan pemasok baju anak impor yang punya banyak penjual ulang (reseller) di berbagai lokapasar dan pasar media sosial (social commerce), termasuk Tik Tok Shop.
“Kebanyakan yang ambil baju di sini bilang harga kita memang murah. Kualitas kita di grade B, itu sudah bagus. Kita sengaja tidak mau pilih yang grade C,” kata Wayan soal kualitas produknya.
Wayan mengimpor langsung baju-baju dari tiga negara Asia. Paling sering dari Thailand, karena katanya, negara tersebut punya harga pabrikan yang sangat murah, dan lantaran paling dekat dengan Indonesia, maka biaya logistiknya lebih terjangkau.
Cina, Bangladesh, dan Thailand terkenal mengupah rendah para pekerjanya, sementara khusus di Cina, pemerintahnya memberi subsidi besar untuk produk-produk ekspor guna mempertahankan dan menambah pasar.
Data dari Statista (2022) menyebut Bangladesh sebagai negara ketiga terendah di Asia Pasifik yang memiliki upah minimum bulanan terendah, yakni sekitar USD95.41 (Rp1,4 juta), Sementara Thailand memiliki upah bulanan sekitar USD292 (Rp4,3 juta).
Upah minimum kedua negara itu lebih rendah dari Indonesia yang punya standar sekitar USD307 (Rp4,6 juta).
Di Cina, upah minimum bulanan mereka lebih tinggi dari Indonesia, yakni USD392 (Rp5,8). Data ini diambil pada April 2022 dan berdasar nilai kisaran tertinggi.
Wayan mengirim barang ke para reseller setiap minggu. Per tiga bulan, ia dan tiga pemasok lain dari Jakarta, Bandung, dan Semarang akan memperbaharui model produk. Mereka bersama-sama memesan baju dari negara pengekspor agar memenuhi kuota minimal pemesanan.
“Sebelum kesepakatan pemesanan, pihak supplier sana mengirim contoh model. Sekali order ada ketentuannya. Ada yang minimal 25 bal sampai 5 kuintal.”
Mereka membeli hingga 50-75 bal dalam satu kali pesan di satu negara. Setiap balnya berisi 25-30 helai baju.
Dalam sekali pesan, Wayan merogoh kocek sekitar Rp18-45 juta hanya untuk biaya produk.
“Kalau dihitung-hitung mulai pemesanan ke sana sampai tiba di gudang, kira-kira 14 hari, paling lama pernah sampai 1 bulan,” ungkap Wayan.
Harga produk yang dibayar Wayan dan pemasok lain tetap dihitung per helai, sekitar Rp15-20 ribu. Kemudian mereka mengambil margin reseller sebesar 15 persen dari harga awal, sehingga penjualan ke konsumen paling rendah berada di angka Rp20-25 ribu per helai baju.
Harga murah ini yang membikin produknya dilirik masyarakat, termasuk konsumen dari TikTok Shop.
“Kalau pasang harga murah, kita juga dapat banyak reseller yang jualan lagi di TikTok. Marjin rendah dari negara asal jadi salah satu alasan barang yang dijual di TikTok lebih murah,” lanjut Wayan.
Sampai di sini Anda mungkin penasaran soal berapa jumlah bea yang mereka bayarkan, sehingga para pemasok masih bisa memasang harga murah meski melewati jalur pengiriman panjang antar negara.
Masalah bea masuk memang jadi salah satu faktor yang menambah beban harga, membikin barang berubah “mahal”. Belakangan urusan kepabeanan juga bikin masyarakat geleng-geleng karena jumlah penarikannya dinilai tak masuk akal.
Kembali lagi pada Wayan, ia menjawab rasa penasaran bersama dengan sebuah kalimat singkat, “Sudah ada orang yang urus.”
Ia tak paham jika harus menjelaskan secara rinci hitung-hitungan kepabeanan karena menyerahkan hal tersebut pada “orang” yang ia sebut berhubungan dengan bea cukai Indonesia.
“Saya cuman ikut sebelum kesepakatan suplai, dari luarnya saja.”
Nah, jika menggunakan cara Wayan, jelas, barang fesyen murah tetap bisa didapatkan konsumen di lokapasar, sebab nominal pengirimannya ditanggung renteng oleh Wayan dan pemasok lain. Sementara daerah pengiriman di lokapasar dapat diatur sesuai wilayah gudang pemasok.
Deduktif juga menemukan akal-akalan serupa di lokapasar Shopee saat menelusuri penjualan pelindung gawai (casing telepon seluler, tablet, laptop).
Penjual tetap mengimpor langsung produk murah dari luar negeri, hanya saja produk diberi keterangan pre-order dan diubah pengirimannya dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Saat mencoba memesan pada Hari Belanja Nasional (Harbolnas) di 12 Desember kemarin, lama pengiriman juga setara pengiriman dari Cina, yakni sekitar 10 hari untuk sampai ke tangan konsumen.
Mungkin pemerintah memang perlu membuat aturan lebih ketat untuk menghalau banjir produk impor ke Indonesia. Tapi tentu saja dengan mengakomodir suara-suara dari semua pihak, termasuk konsumen seperti Ara yang daya belinya terangkat berkat murahnya produk.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Aditya Widya Putri