Istri Balas Tindak Kekerasan Suami, Bagaimana Tangani Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum?

istri-balas-tindak-kekerasan-suami,-bagaimana-tangani-kasus-perempuan-berhadapan-dengan-hukum?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan   LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender,  Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya:

Halo, perkenalkan saya Putri. Akhir-akhir ini saya mencermati berita tentang perempuan yang menjadi pelaku kekerasan seperti kasus istri membakar suami atau istri menyiram air keras pada kemaluan suami. Padahal mereka melakukan itu pasti ada sebabnya, tapi apakah para penegak hukum akan memahami kondisi mereka sehingga melakukan tindakan tersebut?

Jawab:

Halo Putri, terima kasih sudah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Pertanyaan Anda berkaitan dengan kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH). Contohnya adalah kasus Polwan membakar suaminya karena gaji ke-13 digunakan oleh suaminya yang kecanduan judi online. Selanjutnya, kasus Istri menyiram air keras dan air cabai pada penis suami setelah tahu dari akun facebook suaminya menikah lagi. Betapa sulitnya perempuan menghadapi lika-liku kehidupan berumah tangga.

Sekilas, jika kita hanya membaca berita yang ramai beredar di media, tentu dengan mudah segera menyimpulkan keterlibatan perempuan yang berhadapan dengan hukum ini adalah sebagai pelaku. Apalagi kalau kita tidak memakai analisis gender yang komprehensif. Karena itu penting bagi kita sebagai masyarakat dapat berperan serta mengawal perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya banyak permasalahan yang dihadapi PBH dalam penanganan perkara, yaitu:

1.    Aparat Penegak Hukum Belum Memiliki Perspektif Gender

Aparat Penegak Hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan masih banyak yang belum memiliki perspektif gender saat menangani perkara yang melibatkan PBH. Perempuan berhadapan dengan hukum ini mencakup perempuan pelaku, perempuan korban dan perempuan saksi sehingga rentan terjadi bias gender. Untuk itu diperlukan sikap sebagai berikut:

Pertama, petugas Kepolisian saat menerima laporan dan penanganan kasus yang melibatkan PBH perlu mengutamakan perspektif gender untuk menggali fakta dan informasi dugaan tindak pidana yang dilaporkan. Dalam kasus KDRT, polisi memeriksa penyebab perselisihan antara suami-istri dan tidak langsung menganggap bahwa kekerasan yang terjadi adalah salah istri.

Kedua, jaksa dilarang membangun asumsi yang tidak relevan atas latar belakang kehidupan sosial ekonomi atau suatu kondisi tertentu secara tidak adil yang menjustifikasi, merendahkan martabat dan merugikan eksistensi perempuan sebagai manusia dalam penanganan perkara yang melibatkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum. Baik itu pada tahap penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan maupun pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Pedoman Kejaksaaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak Dalam Penanganan Perkara Pidana).

Baca Juga: Konten Intimnya Disebar Tanpa Persetujuan, Apakah Korban Bisa Dipidana?

Ketiga, dalam penanganan perkara yang melibatkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, penting bagi hakim untuk menggali riwayat kekerasan mengacu pada sejarah kekerasan yang dialami korban dan/atau dilakukan oleh pelaku. Jadi yang seharusnya ditelaah bukan hanya terbatas pada kejadian yang dilaporkan. Ini mengingat riwayat kekerasan cenderung ditemukan dalam kekerasan terhadap perempuan berbasis gender seperti pada kasus KDRT dan kekerasan seksual. Jadi, kekerasan terjadi berulang atau ternyata telah dilakukan pada saat lampau atau sebelum peristiwa/kejadian terakhir yang dilaporkan. Seperti dikutip dari Pedoman Peraturan Mahkamah Agung Dalam Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dengan demikian hakim juga dapat menggunakan putusannya sebagai ruang keadilan bagi pencari keadilan dalam hal ini bagi PBH. Oleh karena kekuasaan hakim memberikan kesempatan untuk membuat suatu terobosan guna memberikan akses keadilan bagi pencari keadilan. Termasuk bagi perempuan berhadapan dengan hukum

2.    Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang Menjadi Pelaku Rentan Mendapatkan Stigma

Dalam konstruksi patriarki, perempuan berhadapan dengan hukum yang menjadi korban maupun pelaku rentan mendapatkan stigma. Dalam situasi kehidupan yang dikelilingi patriarki, perempuan pelaku dianggap bukan perempuan baik-baik, tidak bermoral. Atau bahkan telah menyalahi kodrat perempuan yang seharusnya mampu bersabar dalam berbagai situasi dan kondisi. Serta tidak melawan atas kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya.

3.    Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang Menjadi Pelaku Kerap Tidak Didampingi Oleh Pendamping dan/atau Penasihat Hukum

Fakta bahwa PBH tidak didampingi oleh pendamping dan/atau penasihat hukum ternyata masih ditemukan dalam praktik. Ketidakhadiran pendamping disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dan informasi, finansial serta akses bantuan mengenai hak-hak hukum perempuan sebagai terdakwa. Selain itu, Aparat Penegak Hukum tidak menunjuk/memberi kesempatan pada PBH untuk didampingi penasihat hukum. Atau perempuan sebagai terdakwa juga sering didampingi oleh penasihat hukum secara berganti-ganti sehingga tidak memperoleh pendampingan hukum secara maksimal. 

Baca Juga: Lapor Polisi, Korban Justru dapat Kekerasan Kembali, Bagaimana Jerat Hukumnya?

Pada umumnya dalam kasus kekerasan berbasis gender seperti kekerasan seksual, KDRT, dan perdagangan orang, pelaku/korban adalah orang yang dikenal. Selain juga punya relasi khusus baik relasi domestik dan/atau relasi kuasa. Karena itu sangat diperlukan adanya pendamping di persidangan mengingat besarnya dampak psikologis. Selain itu, kehadiran pendamping dalam setiap tahap atau tingkatan pemeriksaan bagi (PBH) baik sebagai pelaku maupun korban menjadi hal penting. Ini lantaran:

  • Meningkatkan rasa nyaman, keberanian dan kepercayaan diri PBH dalam menghadapi persidangan yang umumnya dalam atmosfer yang penuh tekanan.
  • Pendamping berperan memberikan informasi, serta memastikan kenyamanan psikologis dan perlindungan hak PBH.
  • Kehadiran pendamping tidak saja bermanfaat bagi PBH, tetapi juga bagi kelancaran persidangan. Ini mengingat penguatan psikis PBH akan memperlancar PBH saat memberikan keterangan di persidangan.

Dari paparan di atas, sebenarnya perempuan berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan bantuan hukum untuk kepentingan pembelaan selama pemeriksaan. PBH juga berhak memilih sendiri penasihat hukumnya. Pada akhirnya, APH dalam penanganan perkara harus mampu mempertimbangkan kondisi ketidaksetaraan perlindungan hukum dan riwayat kekerasan yang berdampak pada akses keadilan yang selama ini terjadi pada perempuan di masyarakat patriarki.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) melalui bit.ly/FormAduanKAKG atau email: konsultasi@advokatgender.org.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Istri Balas Tindak Kekerasan Suami, Bagaimana Tangani Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum?

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us