‘Reclaim the Night’: Aksi Perempuan Melawan Perkosaan dan Femisida di India

‘reclaim-the-night’:-aksi-perempuan-melawan-perkosaan-dan-femisida-di-india

Seorang dokter perempuan (31 tahun) ditemukan diperkosa dan dibunuh saat sedang istirahat di ruang seminar, di sebuah rumah sakit tempat ia bekerja[1].

Kasus mengerikan ini mendorong aksi duka dan kemarahan besar-besaran yang tersebar di 100 titik di Kolkata dan negara bagian Benggala Barat.

Pada tanggal 15 Agustus, di hari kemerdekaan India, ribuan perempuan melakukan aksi di tengah malam dan meneriakkan “Reclaim the Night”[2].

Apa itu “Reclaim the Night”?

Gerakan “Reclaim the Night” atau “Take Back the Night” adalah aksi protes dan kampanye global anti kekerasan terhadap perempuan.

Gerakan ini pertama kali yang dimulai di Leeds, Inggris, pada tahun 1977. Saat itu, ratusan perempuan di Leeds turun ke jalan untuk menuntut hak atas rasa aman yang kemudian menyebar ke banyak kota di Inggris.

Beberapa sumber menyebut aksi “Reclaim the Night” tidak terlepas secara historis oleh aksi yang dilakukan aktivis perempuan pasca konferensi  “The International Tribunal on Crimes Against Women” pada 1976 di Belgia. Para perempuan melakukan aksi di malam hari di kota-kota eropa: Brussel dan Roma. Itu sebagai wujud protes terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan[3].

Baca Juga: Film ‘Darlings’: Kamu Bisa Lihat Bagaimana Perlawanan Korban KDRT

Sementara itu, aksi “Reclaim the Night” menjadi populer di Inggris karena kasus kekerasan, pembunuhan, dan mutilasi berantai terhadap belasan perempuan di Leeds, Bradford, dan beberapa kota di wilayah Yorkshire.

Kasus kekerasan dan pembunuhan berantai di Leeds, Inggris atau disebut sebagai “Yorkshire Ripper” telah menyitas perhatian publik. Pengusutan kasus itu menjadi investigasi kejahatan terbesar sepanjang sejarah Inggris. Aparat kepolisian setempat menyimpulkan bahwa itu adalah kasus pembunuhan berantai pada Pekerja Seks Komersil (PSK) yang didasari pada kebencian. Namun, dalam jeda waktu yang singkat, kasus pembunuhan ini kembali terjadi dan membuat situasi kengerian di wilayah Leeds khususnya. Korban dan penyintas bukan hanya PSK. Tetapi juga mahasiswa, perempuan pekerja, dan anak perempuan yang berada di ruang publik pada malam hari. Kasus ini menjadi teror bagi perempuan dan bentuk misoginis paling ekstrem.

Polisi memberikan imbauan bagi perempuan agar tidak keluar di malam hari. Atau harus ditemani oleh laki-laki saat keluar di malam hari.

Para aktivis perempuan feminis kemudian merasa ada cara pandang yang keliru mengenai imbauan tersebut. Mereka beranggapan bahwa seharusnya ruang publik dan malam hari menjadi tempat yang aman bagi semua, bukan hanya bagi laki-laki. Para aktivis feminis ini juga mengkritik kinerja kepolisian yang sejak awal mengabaikan fakta bahwa kasus kekerasan dan pembunuhan berantai terjadi juga pada perempuan yang bukan merupakan PSK.

Baca Juga: Kamla Bhasin: Aktivis Perempuan India dan Ikon Feminis Asia Telah Tiada

Mereka juga mengkritik bagaimana media massa memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan berfokus pada moral dan gaya hidup korban alih-alih pada tindakan kejahatan.

Gerakan “Reclaim the Night” kini menjadi gerakan global sebagai wujud solidaritas dan perlawanan terhadap kekerasan berbasis gender di beberapa negara: Australia, Slovenia, Amerika, dan India[4].

Di India, aksi protes bukan kali pertamanya dilakukan. Pada tahun 2012, aksi serupa dengan slogan “Take Back the Night” saat terjadi kasus pemerkosaan berkelompok di dalam bus di Delhi[5].

Lalu pada tahun 2017, aksi dilakukan setelah adanya kasus pelecehan masal pada perempuan di malam tahun baru. Ratusan perempuan melakukan protes di 20 kota di India untuk “Reclaim the Night” untuk menuntut hak atas ruang publik yang aman[6]. Kekerasan terhadap perempuan di ruang publik menjadi epidemi, termasuk di Indonesia.

Femisida dan Ruang Aman di Indonesia

Aksi “Reclaim the Night” adalah perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan yang secara khusus menyoroti keamanan ruang publik dan malam hari. Ini sekaligus tuntutan bagi negara untuk menjamin ketersediaan ruang aman bagi perempuan.

Meski demikian, kekerasan perempuan juga terjadi bukan hanya di ruang publik tetapi ruang privat yang berujung pada kematian (femisida). Perempuan masih dihantu rasa takut baik di ruang publik  maupun privat.

Di Indonesia, angka kasus kekerasan terhadap perempuan di tempat umum (sekolah, transportasi umum, jalan) menunjukkan tren yang meningkat sama halnya dengan ruang privat (di dalam rumah). Kekerasan terjadi semakin ekstrem, tidak hanya malam hari tetapi juga siang hari, tidak hanya di ruang fisik tetapi juga di ruang digital.

Dalam konteks kekerasan berbasis gender, telah banyak kemajuan dalam hal kebijakan di Indonesia yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan. Indonesia telah mengatur mengenai perkosaan dalam KUHP, pengaturan kekerasan domestik dalam UU PKDRT, dan yang terbaru UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mencakup kekerasan di ruang siber. Meski demikian, Indonesia belum mengenall tindak kejahatan femisida dalam nomenklatur hukum maupun sosial politik. Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan karena identitasnya sebagai perempuan. Femisida adalah kekerasan paling brutal dan ekstrem, yang merupakan puncak dari kekerasan berbasis gender.

Baca Juga: Belajar Dari Organisasi Kesehatan Perempuan Di India Melawan Pandemi dan Patriarki

Komnas Perempuan (2023) melakukan penelitian dengan mengumpulkan pemberitaan di media masa daring dalam rentang waktu 2016-2020. Mereka menemukan bahwa terdapat 421 kasus femisida. Komnas Perempuan kemudian merumuskan ada 9 jenis femisida yakni: femisida intim (dilakukan oleh pasangan/mantan pasangan), femisida budaya, femisida konteks konflik bersenjata, femisida konteks industri seks komersial, femisida terhadap disabilitas, femisida orientasi seksual dan identitas gender, femisida di penjara, femisida non intim (dilakukan oleh orang asing), femisida pegiat HAM[7]. Kajian Komnas Perempuan tersebut menemukan bahwa mayoritas pelaku adalah pasangan korban (suami atau pacar) yakni sebanyak 237 kasus.

Sebagaimana bentuk kekerasan berbasis gender lainnya, angka kasus femisida yang tercatat di media merupakan fenomena gunung es.

Pada kenyataannya, banyak kasus femisida yang tidak terungkap, terlaporkan, dan tidak diberitakan. Bahkan dalam kasus Ronald Tannur yang terekam CCTV menganiaya dan membunuh pacaranya di ruang publik pada malam hari. Kasus itu tidak dikenali sebagai femisida dan ia divonis bebas[8].

Situasi ini menunjukkan adanya urgensi untuk mengenali bentuk-bentuk femisida dan mengakui tindak kejahatan femisida dalam sistem hukum. Dengan demikian kita dapat mencegah terjadinya kematian perempuan. Caranya dengan melacak jejak kekerasan yang sebelumnya ia alami dan memastikan korban mendapatkan keadilan.

[1] https://www.theguardian.com/global-development/article/2024/aug/15/indian-women-march-reclaim-the-night-doctor-rape-murder-protests-womens-safety

[2] https://www.aljazeera.com/news/2024/8/15/reclaim-the-night-thousands-rally-in-india-after-doctors-rape-murder

[3] https://link.springer.com/chapter/10.1057/9781137363589_4

[4] https://mancunion.com/2022/03/20/what-does-reclaim-the-night-look-like-around-the-world/

[5] https://www.bbc.com/news/world-asia-india-51969961

[6] https://www.reuters.com/article/world/indian-women-take-to-the-streets-to-reclaim-the-night-after-mass-molestation-idUSKBN1540NX/

[7] https://komnasperempuan.go.id/download-file/791

[8] https://surabaya.kompas.com/read/2024/07/25/190900978/perjalanan-kasus-ronald-tannur-lindas-tubuh-pacar-dengan-mobil-hingga-buat?page=all

(sumber foto: AFP)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
‘Reclaim the Night’: Aksi Perempuan Melawan Perkosaan dan Femisida di India

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us