FOMOMEDIA – Adaptasi novel yang dilakukan Hanung kali ini tak main-main. Isu kekerasan seksual yang masih berkelindan di sekitar kita ia angkat dalam filmnya.
Belum lama ini warganet digegerkan dua kasus kekerasan seksual yang jadi perbincangan hangat di jagat media sosial. Pertama, ada kasus kekerasan yang menyeret seorang penulis bernama Syarif Maulana. Pengajar filsafat ini diduga terlibat dalam kasus kekerasan seksual dengan mengajak melalui pesan via pelantar media sosial maupun secara tatap muka.
Kedua, adalah kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan bernama Vina. Kasus kekerasan yang terjadi pada 2017 ini diangkat ke dalam layar lebar bertajuk Vina: Sebelum 7 Hari. Film garapan Dee Company tersebut mendulang sukses luar biasa. Dalam sepekan pemutaran, setidaknya telah ditonton lebih dari tiga juta kali.
Film tersebut menuai pro dan kontra. Beberapa pihak, termasuk pegiat media, menilai bahwa Vina: Sebelum 7 Hari justru menampilkan eksploitasi trauma korban pemerkosaan dan pembunuhan. Alih-alih menjadi wahana edukasi, film ini malah memperlihatkan bagaimana seorang perempuan menjadi subjek yang “tak berdaya”.
Film sebagai Sarana Edukasi
Film seyogianya menjadi sarana yang tepat untuk edukasi dan menyuarakan sebuah kegelisahan di masyarakat. Edukasi tersebut harus sejalan dengan apa yang ingin disuarakan. Termasuk dalam hal kekerasan seksual, wacana perlawanan terhadap perilaku bejat itu perlu terus diangkat dan bukan sebaliknya.
Seperti Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Film terbaru Hanung Bramantyo ini mengangkat isu seputar kekerasan seksual. Berbeda dengan Vina: Sebelum 7 Hari yang cenderung eksploitatif terhadap si korban, film adaptasi novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! karya Muhidin M. Dahlan mengangkat perlawanan seorang perempuan.
Tuhan, Izinkan Aku Berdosa telah rilis sejak akhir 2023. Namun, MVP Pictures sebagai rumah produksi hanya memutar film tersebut di ranah skena festival film. Barulah pada Rabu (22/5/2024) kemarin, aksi akting Aghniny Haque, Andri Mashadi, Donny Damara, dan Djenar Maesa Ayu bisa disaksikan di seluruh layar lebar Indonesia.
Menghantam Religiositas
Sebetulnya novel karya Muhidin M. Dahlan atau yang akrab disapa Gusmuh tersebut sudah rilis sejak 2003. Dua dekade setelahnya, Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! berhasil diangkat menjadi film. Hanung mampu menangkap momen yang tepat. Dibandingkan dengan adaptasi sebelumnya, Tuhan, Izinkan Aku Berdosa dianggap sebagai karya terbaiknya.
Dua dekade memang bukan waktu sebentar. Namun, isu yang ada di dalam Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! masih relevan terhadap apa yang dialami generasi kiwari. Dalam novel itu, Gusmuh menghadirkan sosok perempuan yang mengalami perubahan seratus delapan puluh derajat. Nidah Kirani, tokoh utama dalam novel, menjadi sosok penggugat segala hal yang berbau religiositas.
BACA JUGA:
Kirani digambarkan sebagai seorang korban. Pada awal kehidupannya, ia adalah sosok muslimah taat. Sebagai seorang mahasiswa, ia juga ikut dalam berbagai kajian dan dakwah keagamaan di kampus. Sementara, orang tuanya yang berada di kampung mendukung langkah anaknya itu.
Dengan latar belakang keadaan ekonomi yang lemah, Kirani giat berkegiatan di kampus. Ia rajin belajar, berdakwah, dan berkarya di bidang ilmiah. Namun, semua berubah sejak ia mengalami berbagai bentuk kekerasan.
Di lingkungan kampus, ia menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosennya. Tak cukup di situ saja, Kirani juga menjadi korban biadabnya orang-orang yang berlindung di bawah ketiak agama. Gara-gara inilah ia berubah. Yang ada di dalam pikirannya hanya menggugat dan menggugat kepada siapa pun, termasuk Sang Khalik.
Kisah yang dialami Kirani ini pun melunyah para pembaca. Gusmuh menghadirkan narasi bahwa meski seseorang itu dekat dengan agama, tak ada jaminan bakal berbuat tidak biadab. Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! mampu menghantam norma dan kesalehan para pelaku kekerasan seksual.
Gusmuh Digugat
Sejak pertama kali rilis, Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! ramai jadi perbincangan para pembaca buku. Bahkan, saking ramainya, Gusmuh diketahui pernah digugat. Tepat pada Januari 2004, ia dibawa ke mimbar persidangan yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Datang ke auditorium kampus itu, Gusmuh tak sendirian. Ia ditemani oleh sohibnya dari kampus Karangmalang, Zen RS. Di hadapan ribuan mahasiswa, ia pun membacakan pleidoi bahwa sosok Nidah Kirani yang ada di dalam novelnya itu bukanlah mahasiswa UMY.
“Saya dikeroyok oleh sekitar 1.500 peserta dan dikatai tukang fitnah yang kejam. Saya ini mereka tuduh telah mencemarkan kampus itu, yang mereka klaim sebagai latar cerita dan tokohnya kuliah di kampus itu,” kata Gusmuh, dikutip dari blog pribadinya.
Tak hanya sekali, tetapi ia harus datang dua kali untuk disidang oleh tim dosen UMY. Bahkan, gara-gara gugatan mengenai sosok di dalam novelnya itu, Gusmuh sampah absen menulis setahun. “Setahun itu saya hanya sibuk menangkis serangan yang berulang-ulang dan itu-itu saja, ya di Jogja, Jakarta, Magelang, Malang, Jombang, Makassar, bahkan sampai Palu.”
Dalam pengakuannya kepada publik, Gusmuh menulis novelnya memang diangkat dari kisah nyata. Ide menulis Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! datang secara tiba-tiba. Sosok yang ia tulis tersebut merupakan seorang temannya yang benar-benar ingin menjadi seorang pelacur. Melalui metode wawancara selama sepekan yang intens, akhirnya butuh waktu seminggu pula untuk merampungkan naskah novel ini.
Korban Relasi Kuasa
Sabtu, 2 Desember 2023, saya berkesempatan untuk menghadiri pemutaran uji coba Tuhan, Izinkan Aku Berdosa di Plaza Ambarukmo, Yogyakarta. Duduk paling belakang, saya menikmati drama berdurasi 1 jam 54 menit itu.
Bagi para pembaca novel, di bagian awal film ini memang agak sedikit membingungkan. Namun, ketika sudah di tengah cerita, pengembangan karakter tiap tokoh bisa diikuti dengan baik. Aghniny Haque yang berperan sebagai Nidah Kirani mampu tampil apik. Sosok Kirani dengan dua karakter berbeda mampu dibawakan Aghniny.
Dalam alurnya, film Hanung ini seakan menampilkan dua dunia yang berbeda dari si karakter utama. Kirani adalah tokoh kalah. Namun, ia juga tampil mewujud bagaimana perlawanan itu dibangun.
Pertama, Kirani menggugat apa yang selama ini ia lakukan dan pelajari. Ilmu agama yang ia geluti seakan tak berdaya di hadapan para lelaki bajingan. Gara-gara kekerasan yang dialami, secara perlahan ia mulai melakukan pembalasan. Karakter Kirani kedua pun dimunculkan. Ia kini bukan lagi sebagai korban, tetapi sosok yang siap menerkam para lelaki tengik itu.
Sebetulnya, apa yang terjadi pada Kirani ini adalah praktik-praktik dari relasi kuasa. Adanya ketimpangan relasi kuasa bisa menjadi salah satu penyebab munculnya kekerasan seksual. Tak hanya di institusi pendidikan, relasi kuasa juga bisa muncul di sebuah lembaga keagamaan. Kirani mengalami pengalaman pahit itu di keduanya.
Seorang Guru Berwajah Dua
Dalam alur film, Kirani awalnya bakal menerima pinangan seorang ustaz. Sayangnya, ia belum tahu seperti apa wajah dari pemuka agama itu. Dalam saluran telepon, sang ustaz berjanji bakal mencukupi ekonomi Kirani. Dengan iming-iming itulah Kirani pun menerima.
Namun, tepat pada hari pernikahan, Kirani tahu bahwa sang calon suami telah memiliki dua istri. Ia pun kecewa dan tak percaya. Pikirannya kacau. Di depan banyak orang, ia justru dihakimi lantaran menuduh sang ustaz telah menipunya. Tak lama kemudian, ia melarikan diri dari lingkungan tempat ia menimba ilmu agama.
Dari sinilah relasi kuasa dalam komunitas agama ditampilkan. Sejak menolak menjadi suami ketiga dari sang ustaz, Kirani menjadi buron para jamaah pimpinan ustaz itu. Apalagi, sang ustaz yang merasa dipermalukan di depan umum, Kirani pun, jika tertangkap, maka bakal menerima amukan massa.
Sementara, relasi kuasa lainnya dialami lagi oleh Kirani ketika dirinya sudah menjadi pelacur. Sosok Pak Tomo, yang notabene adalah dosennya sendiri, tampil sebagai kekasih simpanan cum germonya. Selain menjajakan Kirani, Pak Tomo juga kerap memanfaatkan statusnya sebagai dosen. Ia sering mengancam dan memberikan kekerasan kepada mahasiswanya itu.
Dihadiri Korban Kekerasan Seksual
Screening yang digelar siang hari itu menampilkan beberapa pemain utama Tuhan, Izinkan Aku Berdosa, hadir pula sosok korban kekerasan seksual dari lingkungan pesantren yang berbasis di Jombang, Jawa Timur. Suasana bincang film terasa begitu mendalam.
Saya tak menyangka pada zaman kontemporer ini masih ada kasus-kasus kekerasan yang persis dialami Kirani. Berdiri di depan layar dan di depan deretan kursi penonton bioskop, korban dengan berani menceritakan apa yang ia alami. Relasi kekuasaan yang ada di pesantren telah membuat korban tak mudah untuk melawan.
Pelaku yang bernama Moch Subchi Atsal Tsani alias Bechi merupakan anak dari kiai ternama di Jombang. Menyitat Kompas, kasus kekerasan seksual yang dilakukan Bechi di lingkungan pesantren terjadi beberapa kali. Ada beberapa korban yang telah melaporkan kasus serupa.
Pada 2017, untuk pertama kali Bechi dilaporkan ke Polres Jombang. Namun, korban memilih mencabut laporannya karena ada tekanan dari orang tua. Sementara itu, laporan dengan korban berbeda terjadi lagi pada 2019. Kasus ini pun berhasil hingga diproses secara hukum.
Namun, Bechi melakukan perlawanan dengan tidak pernah memenuhi panggilan pengadilan. Ia justru menggugat balik penetapannya sebagai tersangka kekerasan seksual. Kasus pun diambil alih oleh Polda Jawa Timur pada 2020. Namun, lagi-lagi Bechi mangkir dari panggilan polisi. Setidaknya tercatat tiga kali ia mangkir.
Hingga akhirnya pada 2022, berkas perkara kekerasan seksual yang dilakukan Bechi dinyatakan lengkap. Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis (17/11/2022), memvonis Bechi tujuh tahun penjara gara-gara kelakuan bejatnya itu.
Dari novel Gusmuh yang dieksekusi dengan ciamik oleh Hanung semakin mempertegas bahwa kasus-kasus kekerasan seksual menjadi momok menakutkan. Relasi kuasa di berbagai lembaga pendidikan dan keagamaan bisa laten menjadi wadah baru kekerasan seksual itu. Bukan tidak mungkin masih banyak Kirani lainnya yang mengalami nasib mengenaskan.
Penulis: Sunardi
Editor: Safar
Ilustrator: Vito