FOMOMEDIA – Gempa megathrust berpotensi sebabkan tsunami 34 meter. Sayangnya, pemerintah gagap dan gak punya langkah mitigasi konkret menghadapi bencana itu.
Pemerintah selalu gagap dan tidak pernah serius dalam melakukan mitigasi bencana alam. Langkah mitigasi secara konkret masih menjadi persoalan dan tak kunjung dikerjakan.
Salah satunya bisa dilihat ketika pemerintah menanggapi isu gempa megathrust. Lucunya, pemerintah malah saling lempar tanggung jawab dalam menyikapi isu ini.
Seperti terlihat dari pernyataan Anggota Komisi V DPR RI Syahrul Aidi Maazat. Ia justru meminta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk menyiapkan langkah mitigasi jika gempa megathrust terjadi di Indonesia.
“Perlu dilibatkan seluruh komponen pemerintahan yang ada sehingga tidak menjadi kepanikan. Oleh karena itu, kalau ini memang akan terjadi, harus ada mitigasi, harus ada persiapan menghadapi ini,” kata Syahrul, dikutip dari Antara.
Sementara itu, sebelum pernyataan Syahrul keluar, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati sudah meminta pemerintah daerah untuk menyiapkan sistem tata ruang yang aman. Hal ini supaya bisa menampung masyarakat sebagai langkah mitigasi ketika gempa megathrust terjadi.
Selain dua orang itu, sejauh ini belum ada keterangan resmi dari pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo yang belum angkat bicara. Ini bisa menjadi bukti bahwa pemerintah meremehkan.
Menolak Lupa Bencana
Bencana alam bukan “barang baru” buat Indonesia. Secara historis, Indonesia beberapa kali telah diterpa bencana alam luar biasa. Mulai dari tsunami di Aceh 2004, gempa di Jogja 2006, gempa di Donggala 2018, dan gempa di Cianjur 2022.
Dari catatan itu, setidaknya ada jutaan warga menjadi korban. Mereka tak hanya kehilangan rumah, tapi juga kerabat dan anggota keluarga yang meregang nyawa. Dari bencana ini, seyogianya pemerintah bisa belajar lebih tanggap, termasuk merespons isu gempa megathrust.
Megathrust sendiri adalah istilah merujuk pada zona sumber gempa di subduksi lempeng dengan kedalaman antara 0-70 kilometer. Satu titik lempeng menunjam ke bawah lempeng lain, dan peristiwa ini biasanya terjadi di lautan.
Gempa pada zona megathrust bakal terjadi ketika lempeng samudra menunjam ke bawah lempeng benua. Kontak antarlempeng inilah yang kemudian dapat memicu terjadinya gempa. Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra akan bergerak dan terdorong naik (thrusting).
Posisi Indonesia memang diapit oleh tiga lempeng, yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Samudra Hindia. Sejak jutaan tahun lalu, tiga lempeng tersebut akan terus bergerak dan menghunjam ke permukaan bumi.
Apa yang Sudah Dilakukan Pemerintah?
Sosialisasi dan imbauan dalam menanggapi isu gempa megathrust memang perlu. Tetapi, apa cuma sebatas itu saja langkah pemerintah dalam memitigasi bencana?
Bekerja di lembaga yang bertanggung jawab ke Presiden, Dwikorita menjelaskan ada beberapa hal yang bisa disiapkan pemerintah sebagai langkah mitigasi bencana gempa megathrust. Pertama, adalah menyiapkan infrastruktur. Pembuatan infrastruktur bisa dilakukan sebelum terjadinya gempa.
Selepas infrastruktur, pemerintah tidak bisa begitu saja lepas tanggung jawab. Kedua, mereka harus mempersiapkan sistem yang bisa mengakomodir bagaimana ketika gempa terjadi. Menyiapkan rute evakuasi bagi warga juga tak kalah penting.
Dwikorita memberikan contoh pemerintah Yogyakarta yang telah menyiapkan tata ruang aman dalam menghadapi gempa megathrust. Ia menyebut Bandar Udara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kulon Progo sebagai tempat yang aman.
Dibangun di dekat pantai dan merobohkan puluhan rumah warga, bandar udara tersebut diklaim oleh pemerintah bisa tahan gempa dan tsunami. Menurut mantan rektor Universitas Gadjah Mada itu, setidaknya YIA bisa tahan gempa berkekuatan magnitudo 8,5.
Sayangnya, yang dijadikan contoh itu adalah fasilitas umum. Lalu, bagaimana dengan warga sekitar pantai? Apakah mereka harus lari ke bandara jika ada gempa dan tsunami tiba?
Regulasi Bangunan ala BSN
Terkait regulasi bangunan, Badan Standar Nasional (BSN) sebetulnya telah merilis Standar Nasional Indonesia (SNI) bangunan tahan gempa. Salah satunya tertuang dalam SNI 1726:2019 Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan nongedung.
“Struktur bangunan gedung dan nongedung harus didesain menggunakan kombinasi pembebanan berdasarkan ketentuan yang ada. Jadi beban yang dimasukkan untuk menghitung kekuatan struktur mencakup beban mati (beban yang permanen seperti beban gedung), beban hidup (beban yang dinamis seperti furnitur dan orang), beban angin dan beban gempa. Gedung yang sudah jadi juga tidak boleh dikembangkan sehingga menambah beban,” tulis BSN.
Dalam siarannya, BSN juga menyebut pentingnya memilih bahan bangunan. Mulai dari baja dan semen diwajibkan untuk memenuhi SNI. Standar ini digunakan dengan tujuan mengurangi keruntuhan akibat goncangan.
Belajar dari Jepang
Pemerintah Indonesia mestinya bisa belajar mitigasi bencana dari Jepang. Sama-sama sebagai negara yang sering mengalami gempa, Jepang memiliki mitigasi yang jauh lebih apik.
Salah satu langkah konkret pemerintah Jepang adalah membuat peraturan bangunan yang memiliki standar konstruksi tinggi. Setidaknya, bangunan yang dibangun tidak mudah runtuh selama gempa bumi atau gempa susulan.
Terkait peraturan konstruksi, Jepang telah menerapkannya sejak 1981. Bangunan di sana diharuskan memiliki balok, pilar, dan dinding tebal dengan kekuatan yang tahan gempa.
Sementara, warganya juga didorong untuk memiliki ketersediaan kebutuhan darurat. Mulai dari mempersiapkan makanan, air minum, kebutuhan medis, hingga peralatan tidur selama keadaan darurat berlangsung.
Kesadaran akan mitigasi di Jepang sangat tinggi. Bahkan, pembelajaran mengenai mitigasi bencana sudah dipelajari sejak di taman kanak-kanak.
Menyitat Web Japan, yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri Jepang, di Kota Toyota yang berada di Prefektur Aichi, taman kanak-kanak dan sekolah dasar telah menyelenggarakan pelatihan evakuasi tiap tahun. Para siswa belajar memahami rute evakuasi dan berjalan kaki menuju tempat aman.
Menariknya, pelatihan tersebut juga diberikan kepada para wali murid. Hal ini penting supaya wali murid bisa dengan mudah menjemput anaknya ketika ada bencana. Pasalnya, transportasi umum akan berhenti setelah gempa bumi.
Anak Muda Lebih Tanggap
Di tengah minimnya peran pemerintah dalam memberikan langkah konkret, banyak anak muda berinisiatif melakukan langkah mitigasi. Melalui pelantar medsos, para anak muda saling berbagi plan mitigasi menghadapi bencana alam.
Salah satunya adalah pemilik akun X @zakiberkata (Georitmus). Ia secara pribadi memberikan berbagai edukasi mitigasi terkait bencana alam.
Di halaman paling atas profilnya, tersemat postingan “Panduan Mitigasi Gempa dan TSunami 2024”. Disertai ilustrasi yang apik, unggahan Georitmus telah menjangkau lebih dari 3,6 juta orang.
Dalam panduan itu, Georitmus memberikan berbagai hal apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum terjadinya kondisi darurat. Mulai dari persiapan, membikin tas siaga, hingga memahami wilayah. Jujur ini sangat bermanfaat. Lebih lengkapnya, kamu bisa unduh di sini.
Selain Georitmus, ada banyak anak muda yang makin sadar akan pentingnya mitigasi bencana.
Sayangnya, ini hanya berlaku kepada mereka pengguna medsos. Tak semua penduduk Indonesia pengguna media sosial. Ada anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah, hingga mereka yang menjadi kelompok rentan.
Dalam hal ini, pemerintahlah yang punya kuasa dan peran besar. Secara holistik pemerintah bisa menerapkan kebijakan yang konkret sebelum bencana terjadi.
Penulis: Sunardi
Editor: Elin
Ilustrator: Vito