Sudah dituntut serbabisa di ranah pekerjaan, masih harus menghadapi berbagai ekspektasi pula di ranah domestik. Selain jadi kenyataan yang harus dihadapi banyak perempuan, plot ini juga yang menjadi landasan hadirnya serial ‘Induk Gajah’ di Prime Video.
Serial Induk Gajah yang tayang di Prime Video berhasil menyita perhatian penonton. Ia menggabungkan elemen komedi dan drama yang menyentuh realitas kehidupan perempuan Batak.
Cerita berfokus pada Ira (Marshanda), seorang perempuan Batak yang menikah pada usia tiga puluhan dan memilih untuk menunda memiliki anak. Keputusan ini membuat Ira dan suaminya, Marsel (Dimas Anggara), menyusun banyak strategi dalam menghadapi tekanan dari keluarga. Sebelumnya, pernikahan mereka merupakan hasil perjodohan oleh keluarga karena kesamaan suku dan agama. Ini menjadi menjadi pusat konflik utama. Terutama karena usia Ira yang dianggap “tidak muda” oleh ibunya, Mamak Uli (Tika Panggabean).
Dalam season sebelumnya, konflik lebih terfokus pada hubungan antara ibu dan anak. Namun, di season 2 ini, cerita berkembang dengan menyoroti tekanan dari keluarga besar yang menuntut Ira untuk segera memberikan cucu. Serial Induk Gajah sendiri terinspirasi dari kisah nyata seorang jurnalis, Ira Gita Sembiring. Ira memiliki hubungan love and hate relationship dengan ibunya soal berat badan dan tak kunjung dapat jodoh. Ira pun menuangkan kisahnya melalui tweet, dan kemudian menjadi buku dengan judul yang sama, Induk Gajah. Serialnya kemudian diadaptasi dengan pengembangan cerita oleh penulis sekaligus sutradara, Muhadkly Acho.
Tuntutan Pekerjaan Ditambah Tuntutan Adat
Serial yang mengangkat budaya Batak ini menceritakan sekelumit saja dari kewajiban sebagai perempuan Batak yang sudah menikah. Dituntut punya anak, harus tetap tinggal dengan orang tua, harus pintar masak, sampai diomelin mertua karena lembur. Hal-hal itu jadi beban yang sepertinya tidak bisa diterima oleh Ira.
Beban Ira bukan hanya di rumah. Sebagai jurnalis, ia dituntut untuk serba bisa. Sudah liputan, harus mengedit konten, sampai menyiapkan presentasi dan laporan untuk klien. Akhirnya ia sering lembur karena overwork. Belum lagi ia dituntut membuat konten yang bagus dan viral oleh bosnya.
Ira nyaris tidak punya kehidupan pribadi, seperti mengerjakan hobi, bersosialisasi dengan teman, atau memiliki privasi. Seluruh waktunya nyaris hanya untuk kerja dan keluarga. Waktu untuk diri sendiri saja tidak ada, bagaimana dengan kondisi itu Ira bisa merencanakan kehamilan? Jelas ia sudah kewalahan dan tidak memungkinkan untuk punya anak pada situasi ini.
Baca Juga: Perempuan Hadapi Paksaan Sosial untuk Menjadi Ibu, Padahal Punya Anak atau Tidak Itu Pilihan
Keluarganya tidak terlihat mendukung karirnya, bahkan mertuanya memintanya berhenti kerja. Yang penting bagi mereka hanya agar Ira segera hamil dan memberi cucu. Harapan keluarganya spesifik: hadirnya anak laki-laki sebagai penerus marga. Seakan-akan Ira dan Marsel bisa menentukan jenis kelamin anak mereka.
Setelah menikah, perempuan Batak mengikuti keluarga suaminya. Hal ini menjadi bagian dari sistem kekerabatan Batak setelah terjadinya perkawinan. Nalom Siahaan dalam bukunya Adat Dalihan Natolu (1982) menjelaskan, sistem kekerabatan ini disebut Dalihan Natolu atau tungku nan tiga, yang terdiri dari pihak semarga, pihak yang menerima istri, dan pihak keluarga istri.
Sistem ini memberikan tekanan yang besar pada perempuan untuk memenuhi ekspektasi keluarga, terutama terkait dengan peran sebagai istri dan ibu. Ira, sebagai tokoh utama, harus berhadapan dengan ekspektasi tinggi dari ibu dan keluarga suaminya untuk segera memberikan keturunan. Terutama anak laki-laki yang dianggap sebagai penerus marga.
Keterkaitan yang kuat dalam Dalihan Natolu membuat relasi pernikahan dalam suku Batak sangat diperhatikan oleh seluruh keluarga. Sebab kalau pernikahan kandas, maka putus juga hubungan kekerabatan yang sudah disatukan dalam Dalihan Natolu tadi. Itulah sebabnya, meski Ira dan Marsel sudah meminta izin untuk mengontrak dan pisah rumah dari keluarga, mereka masih tidak berhenti ikut campur.
Mungkin Ira dan Marsel terburu-buru menikah sehingga tidak sempat membahas akan tinggal di mana setelahnya. Atau mereka tidak mengira akan mendapat konflik karena masih tinggal bersama orangtua. Padahal pembahasan mengenai hal-hal setelah menikah penting untuk dibicarakan. Sebab hal ini dapat mencegah konflik, membangun fondasi yang kuat, meningkatkan kepercayaan, dan membuat keputusan bersama.
Lebih Dominan Komedi
Secara keseluruhan, Induk Gajah menawarkan sebuah drama komedi. Meski mengangkat isu-isu budaya Batak, ia cenderung menampilkan ceritanya dalam format yang umum. Di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu digali lebih dalam dalam serial ini.
Misalnya, bahwa Ira dan Marsel masih dipanggil dengan nama mereka, bukannya Mak Paima atau Pak Paima yang berarti calon orangtua yang sedang menunggu anak. Saya juga tertawa saat adik ibunya Marsel dan istrinya bercanda tentang hal vulgar di meja makan bersama Amangbao-nya (bapak Marsel). Dalam budaya Batak, hal ini tidak mungkin terjadi karena Inangbao dan Amangbao (panggilan untuk pasangan ipar) harus saling menjaga sikap. Marsel dan Ira juga tidak tampak menghadiri acara arisan marga selayaknya pasangan suami istri Batak. Atau mungkin tambahan tuntutan Ira sebagai perempuan Batak yang rata-rata wajib bisa memasak makanan khas Batak.
Beda dengan season sebelumnya yang lebih didominasi drama dan konflik, season 2 ini lebih diwarnai komedi. Dukungan dari komedian seperti Pican, Yono Bakrie, Lolox, Boah, Ali Akbar, Ichal, dan Riyuka Bunga membuat season 2 ini lebih condong ke serial komedi. Sayangnya, ada adegan pembelian kondom di mini market yang menunjukkan Marsel dan Samsul malu dan diperlihatkan berlebihan. Adegan tersebut mengesankan bahwa tindakan membeli kondom adalah sesuatu yang memalukan atau tabu. Penggambaran ini bisa memperkuat stereotipe yang tidak sehat tentang kondom.
Secara keseluruhan, Induk Gajah berhasil menghadirkan tontonan yang menghibur sekaligus reflektif tentang kehidupan perempuan Batak dengan sekelumit kompleksitasnya. Meskipun ada beberapa elemen yang bisa digarap lebih dalam, serial ini tetap mampu menyajikan potret yang kaya akan dinamika keluarga dan tekanan sosial yang dihadapi oleh perempuan dalam masyarakat patriarkal.
(sumber foto: YouTube Prime Video Indonesia)