Kendati dilaporkan sebagai akibat kecelakaan, kematian Presiden Iran, Ibrahim Raisi masih ramai dispekulasikan sebagai bagian dari sebuah desain politik. Bila benar demikian, apakah mungkin ada andil Israel di belakangnya?
Iran berduka. Mendiang Presiden Iran, Ebrahim Raisi telah resmi dimakamkan di Masyhad, Iran, pada 23 Mei 2024. Ribuan warga Iran hingga saat ini diketahui masih berkabung di jalanan Teheran dan kota-kota besar Iran, mengenang kepemimpinan singkat sang presiden yang juga dirumorkan tengah dipersiapkan untuk menjadi pengganti Pemimpin Agung Iran, Ali Khamenei.
Menariknya, dalam momen arak-arakan pemakaman Raisi di Teheran kemarin sejumlah media Iran melaporkan bahwa banyak warga Iran yang meneriakkan “Matilah Israel!”, seruan tersebut jadi semacam indikasi bahwa Israel tampaknya ada di benak pikiran warga Israel terkait kematian presidennya.
Well, tidak heran, Iran belakangan memang memiliki hubungan yang “pedas” dengan Israel, kedua pihak bahkan sempat ditakuti akan melakukan perang terbuka ketika saling kirim serangan misil pada April 2024 silam. Maka dari itu, tidak aneh sebetulnya jika banyak warga Iran yang berasumsi ada andil Israel di balik kematian presidennya, terlebih lagi penjelasan tentang penyebab kematian Raisi belum diungkap secara detil.
Dan jujur saja, asumsi bahwa Israel menjadi dalang kematian Raisi sepertinya tidak hanya ada di pikiran warga-warga Iran, bahkan mayoritas dari warganet Indonesia mungkin memiliki spekulasi yang sama.
Namun, bila kita ingin asumsikan bahwa kematian Raisi adalah sebuah desain politik, seberapa besar sebenarnya kemungkinan Israel terlibat dalam tragedi tersebut?
Terlalu Aneh Bila dari Pihak Asing?
Meskipun beberapa teori konspirasi mengaitkan kejadian ini dengan Israel, ada beberapa alasan kuat untuk berargumen bahwa sangat kecil kemungkinannya Israel terlibat dalam kematian Raisi.
Pertama, penting untuk memahami struktur kekuasaan di Iran. Kekuasaan politik di Iran sesungguhnya terletak pada Pemimpin Agung, Ayatollah Ali Khamenei, yang saat ini masih hidup. Posisi Presiden Iran, meskipun penting, tidak memiliki pengaruh yang sama besar terhadap kebijakan luar negeri seperti Pemimpin Agung.
Oleh karena itu, kematian Raisi tidak akan mengubah secara signifikan arah politik luar negeri Iran. Iran tetap akan berada di bawah arahan Khamenei, sehingga tindakan drastis dari Israel untuk menghilangkan Raisi tampaknya tidak masuk akal karena dampak strategisnya yang terbatas.
Kedua, situasi politik dan militer Israel saat ini menunjukkan bahwa negara tersebut mungkin justru menghindari eskalasi konflik lebih lanjut. Israel telah berperang dalam jangka waktu yang lama melawan Palestina dan proksi-proksi Iran di kawasan Timur Tengah. Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, kini menghadapi protes dari dalam negeri, di mana banyak pejabat dan warga Israel merasa lelah dengan perang yang berkepanjangan.
Seperti kata Khairul Fahmi, pengamat pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), kondisi domestik ini bisa jadi justru membuat Israel lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan yang bisa memicu konflik lebih lanjut dengan negara-negara Timur Tengah. Mendesain kematian Ebrahim Raisi akibatnya, justru berpotensi memperburuk situasi dan memicu eskalasi yang tidak diinginkan, yang bertentangan dengan kepentingan Israel untuk menjaga stabilitas politik.
Lantas, kembali lagi, bila tragedi ini diasumsikan sebagai sebuah peristiwa politik, pihak mana kira-kira yang lebih “diuntungkan” secara langsung?
Justru dari Dalam Negeri?
Ada alasan kuat untuk mempercayai bahwa kematian Raisi mungkin melibatkan kelompok anti-Raisi atau anti-pemerintah di dalam negeri Iran sendiri. Hal ini karena Raisi, meskipun menduduki posisi penting, memiliki banyak musuh politik di dalam negeri. Salah satunya yang terkuat adalah kelompok National Council of Resistance of Iran (NCRI), yang diisi simpatisan-simpatisan pro-Reza Pahlevi.
Tidak hanya itu, kelompok anti-pemerintah di Iran juga muncul dari kalangan progresif, khususnya yang menentang aturan keras pemerintah. Kelompok-kelompok dalam golongan ini menguat setelah kematian Mahsa Amini, diduga dipukuli oleh Polisi Moral Iran karena dituduh melakukan pelanggaran “menggunakan hijab yang tidak pantas”.
Kelompok-kelompok oposisi yang tidak puas dengan pemerintahan ini bisa saja melihat peristiwa kematian Raisi sebagai kesempatan untuk melemahkan pemerintah dan membuka jalan bagi perubahan politik, dan dalam jangka panjangnya, menggoyahkan kepemimpinan Ayatollah Khamenei.
Dan memang, dengan kematian Raisi, Iran harus segera mempersiapkan pemilihan umum (pemilu) yang bisa menjadi peluang bagi kandidat dari kelompok oposisi untuk mendapatkan kekuasaan. Ini menciptakan skenario di mana kematian Raisi lebih menguntungkan bagi lawan-lawannya di dalam negeri dibandingkan dengan musuh-musuh eksternal seperti Israel, Azerbaijan, atau bahkan Amerika Serikat (AS).
Pada akhirnya, asumsi-asumsi ini menunjukkan bahwa sangat kecil kemungkinan Israel terlibat dalam kematian Presiden Ebrahim Raisi. Struktur kekuasaan di Iran yang tetap kokoh di bawah Pemimpin Agung dan keinginan Israel untuk menghindari eskalasi konflik lebih lanjut menjadi alasan utama.
Sebaliknya, kemungkinan besar insiden ini didesain oleh kelompok anti-Raisi di Iran sendiri yang melihatnya sebagai kesempatan untuk merubah lanskap politik domestik. Peristiwa ini menambah dinamika politik yang kompleks di Iran dan kawasan sekitarnya, dan akan menarik untuk melihat bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi masa depan politik Iran. (D74)