Haruskah Serius Saat Mengucap Nikah dan Talak

haruskah-serius-saat-mengucap-nikah-dan-talak

Mubadalah.id – Saat ini rasanya sudah menjadi hal lumrah untuk menyaksikan tontonan komedi yang terselip di dalamnya kata-kata nikah maupun talak. Misalnya salah satu pemain dengan bercanda mengatakan “aku kan bujang, tidak punya istri.”

Padahal secara nyata pemain tersebut memiliki istri dan anak. Atau salah satu pemain laki-laki melontarkan candaan “kamu mau ya kawin sama aku.” Lalu terbalas “iya aku mau” oleh lawan mainnya yang berjenis kelamin perempuan. Redaksi ucapan tersebut seolah-olah menyiratkan adanya talak dan juga perkawinan. Meskipun secara konteks jelas terlontarkan sebagai candaan.

Dalam kehidupan sehari-hari pun tidak jarang kita temukan dialog-dialog yang sepintas terkategori sebagai suatu lafadz nikah dan talak. Misalnya gurauan seorang ayah “gimana mas, mau nikah sama anak saya” kepada seorang laki-laki yang Ia anggap layak menjadi menantunya.

Gurauan ini tidak jarang terbalas “ya mau pak, tapi bapak siap punya menantu sibuk seperti saya?” Dengan iringan tawa karena keduanya sama-sama merasa bahwa percakapan tersebut tak lebih dari basa-basi dan candaan semata.

Pada sejumlah lembaga pendidikan, akad perkawinan bahkan menjadi suatu bagian praktik kegiatan sekolah. Tidak jarang kegiatan praktik ini terselenggara sedemikian rupa lengkap dengan persewaan pakaian, make-up dan pernak-pernik perkawinan lainnya. Apakah lantas candaan maupun kegiatan tersebut kita anggap sebagai suatu akad nikah yang sah?

Perbedaan Ulama

Dalam salah satu hadis masyhur yang riwayat Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda. Ada tiga hal yang jika kita lakukan dengan sungguh-sungguh maka anggapannya benar. Lalu, jika kita lakukan dengan main-main juga tetap kita anggap benar. Yaitu nikah, talak dan rujuk.

Berdasarkan hadis ini sejumlah ulama berpendapat lafadz nikah dan talak yang terucapkan sebagai gurauan dapat kita anggap sebagai suatu nikah dan talak yang sah.

Ulama Hanafiah misalnya, menyatakan bahwa pernikahan dan talak yang kita lakukan secara paksa maupun dalam bentuk gurauan bernilai sebagai suatu tindakan yang sah. Perkawinan tidak mensyaratkan pihak suami dan istri untuk memiliki kemampuan memilih. Keterpaksaan salah satu atau kedua belah pihak tidak mencegah perkawinan untuk terlaksana.

Sikap berbeda dalam konteks keterpaksaan perkawinan ditunjukkan oleh madzhab lainnya. Menurut madzhab Maliki misalnya, perkawinan yang kita lakukan dalam keadaan terpaksa tidaklah memenuhi syarat dari suatu perkawinan. Pendapat serupa juga kita temukan dalam madzhab Syafi’i dan Hanbali yang mensyaratkan adanya ridha dan tidak terpaksanya kedua mempelai saat perkawinan berlangsung.

Akad perkawinan yang dilakukan secara terpaksa tergolong sebagai akad yang fasid. Sama halnya dalam hal penjatuhan talak di mana ketiga madzhab selain Hanafi berpendapat bahwa talak yang jatuh dalam keadaan terpaksa tidak terlaksana.

Tentang Ucapan Talak

Dalam hal talak yang terucapkan sebagai candaan, jumhur ulama berpendapat telah jatuh talaknya. Karena candaan tersebut sejatinya telah terucapkan secara sengaja. Meskipun si pengucap tidak rela dengan konsekuensinya.

Perbedaan antara hukum candaan talak dan talak terpaksa nampaknya berdasar pada hadis diangkatnya hukum dari seseorang. Karena adanya kesalahan (khata’), kelupaan (nisyan) dan keterpaksaan (istikrah). Candaan (hazl) tidaklah termasuk alasan yang membebaskan dari konsekuensi hukum sebagaimana ketiga kondisi yang saya sebut sebelumnya.

Ulama fikih juga membedakan antara talak sarih dan talak kinayah. Pengucapan kalimat yang jelas menunjukkan talak, mengakibatkan jatuhnya talak tanpa bergantung pada niat pengucapnya. Sementara pengucapan kalimat sindiran yang dapat menunjukkan pada talak, tidak selalu mengakibatkan jatuhnya talak sepanjang tidak kita sertai niat saat pengucapannya.

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah mencatat bahwa tidak seluruh ulama sepakat atas jatuhnya talak yang terucapkan sebagai candaan. Menurut al-Baqir, ash-Shadiq dan an-Nashir talak yang kita lakukan dengan main-main tidaklah sah.

Mengacu pada pendapat ini, talak harus dijatuhkan dalam keadaan ridha serta sadar atas maksud untuk menjatuhkan talak. Dalam satu hadis dinyatakan sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niatnya. Oleh karenanya, talak yang jatuh tanpa kehendak anggapannya sia-sia.

Peristiwa Hukum

Saat ini talak, rujuk maupun perkawinan tidak lagi terbatas menjadi persoalan fikih. Melainkan juga menjadi persoalan hukum yang aturannya oleh negara. Kompilasi Hukum Islam telah mengatur sejumlah rukun dan syarat perkawinan yang harus terpenuhi untuk menyatakan suatu akad nikah sebagai akad yang sah.

Untuk kehati-hatian, pemeriksaan atas terpenuhinya syarat dan rukun dilakukan oleh petugas pencatat perkawinan. Bahkan, setelah melalui sekian proses pemeriksaan, Ijab kabul yang terucapkan dalam perkawinan tercatat masih terbuka kemungkinan untuk kita nyatakan tidak sah.

Jika di kemudian hari terbukti ada syarat dan rukun yang tidak terpenuhi. Misalnya, terbukti bahwa kedua mempelai adalah saudara sesusuan atau saudara kandung yang memang terlarang untuk menikah dan baru diketahui di kemudian hari.

Lalu, jika akad nikah tercatat saja masih berpotensi dinyatakan sebagai akad nikah yang batal, tidak selayaknya kita dengan mudah mengakui lafadz nikah yang terucapkan secara main-main sebagai suatu akad nikah yang sah. Termasuk dalam hal penjatuhan talak yang pengaturannya wajib dijatuhkan di depan pengadilan.

Tidak dapat kita nafikan bahwa terjadinya talak maupun nikah melalui gurauan adalah satu doktrin fikih yang masyhur. Banyak umat muslim di Indonesia yang meyakininya. Keyakinan ini patut kita jadikan landasan untuk berhati-hati serta tidak bermain-main dalam mengucapkan lafadz nikah, talak dan rujuk.

Namun, keyakinan ini tidak lantas mengesampingkan kewajiban terpenuhinya syarat rukun nikah dan talak. Tujuannya agar perbuatan tersebut kita nyatakan sah. Apalagi kita jadikan sebagai alasan untuk mengesampingkan ketentuan yang telah negara atur yang memiliki landasan pendapatnya dalam fikih Islam.

Fatwa Kontemporer

Keinginan untuk menjamin perkawinan dan penjatuhan talak tidak merugikan pihak-pihak di dalamnya. Khususnya pihak perempuan, mendorong munculnya pembaruan fikih islam. Salah satunya sebagaimana tertuang dalam Fatwa Tarjih Muhammadiyah Tahun 2007 yang mewajibkan pencatatan perkawinan dan mewajibkan proses perceraian di depan pengadilan.

Bahkan secara khusus, fatwa ini menyatakan, melakukan perceraian di luar sidang pengadilan dianggap sebagai perceraian yang tidak sah.

Mengikuti prosedur yang negara atur setidaknya memberikan petunjuk kuat, bahwa nikah dan talak terucapkan dengan serius serta penuh kesadaran. Kalaupun kita ucapkan dengan main-main, maka Ia akan tetap kita hukumi sebagai suatu yang sah.

Main-main ataupun keseriusan adalah hal yang pada pokoknya berada di wilayah hati. Karenanya secara nyata tidak dapat kita nilai dengan mudah melainkan dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk yang dhahir.

Suatu akad nikah maupun lafadz talak yang secara nyata tidak memenuhi syarat dan rukun, tidak pula memenuhi prosedur yang seharusnya, patut kita nilai sebagai suatu tindakan yang tidak sah. Apalagi yang secara nyata terlihat bukan sebagai suatu akad nikah dan penjatuhan talak. Akan tetapi hal ini kiranya tidak lantas menjadi pembenar untuk menjadikan talak dan nikah sebagai suatu candaan. []

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Haruskah Serius Saat Mengucap Nikah dan Talak

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us