FOMOMEDIA – Munculnya joki Strava berkelindan dengan kebutuhan validasi sehatnya anak muda masa kini di medsos. Tapi, apa memang sepenting itu?
Joki strava jadi fenomena baru di dunia olahraga kawula muda. Aplikasi tracking olahraga asal Amerika itu kini jadi tak jadi sekadar alat pencatat belaka. Tapi, jadi penentu betapa “sehat dan produktif” anak muda masa kini.
Di tangan anak muda dan media sosial, olahraga berevolusi tidak hanya sebagai aktivitas gerak badan atau sekadar permainan belaka. Bisa dibilang aktivitas yang melibatkan fisik tersebut kini mampu menjelma jadi salah satu bentuk eksistensi diri.
Istilah joki sendiri merujuk pada orang yang memberikan layanan untuk mengerjakan sesuatu. Istilah tersebut biasanya populer di kalangan mahasiswa semester akhir yang membutuhkan joki untuk mengerjakan skripsi. Jadi, secara tak langsung, joki bakal muncul karena ada kebutuhan yang tidak mampu dilakukan oleh seseorang.
Termasuk di ranah olahraga, banyak anak muda yang memanfaatkan keberadaan joki Strava. Hanya demi konten yang dipamerkan di medsos, warganet bisa rela memakai jasa joki yang seakan-akan memperlihatkan bahwa ia “benar-benar melakukan olahraga”.
BACA JUGA:
Joki Strava sendiri juga telah disorot oleh media internasional. Salah satunya adalah Morning Brew yang menjadikan fenomena itu sebagai isu terbaru dan unik. Media tersebut bahkan menyebut joki Strava sebagai model bisnis yang menguntungkan.
“Intinya, Anda membayar orang lain untuk berlari demi membuat Anda tampak atletis–dan makin cepat kecepatannya, makin mahal pula biaya yang mereka kenakan,” tulis Morning Brew.
“Hobi” Baru Para Pelari Veteran
Tak sulit untuk mencari joki Strava di medsos. Sejak awal Juli 2024, telah muncul berbagai akun yang menawarkan jasa itu kepada mereka yang ingin pamer aktivitas olahraga.
Seperti yang dilakukan oleh akun penyedia jasa joki Strava di platform X dengan nama akun @jokistravamurah. Ketika ditanya via DM, akun tersebut mengaku menerima jasa joki Strava berdasarkan pace dan jarak tempuh. Selain itu, jika permintaan kecepatan makin cepat, maka biayanya pun makin mahal.
Akun @jokistravamurah sendiri adalah seorang mahasiswa semester akhir. Ia membuka layanan yang lagi populer itu hanya sebagai pekerjaan sampingan.
“Saya mahasiswa semester akhir sama pernah bekerja di media juga secara remote. Untuk sekarang joki Strava ini cuma sebagai sampingan aja sih, sama isi waktu nunggu sidang sama cari kerjaan baru,” ujarnya.
Sebelum membuka jasa Strava, pemilik akun tersebut mengaku memang sudah menyenangi olahraga lari. Ia bahkan telah mengikuti perlombaan lari maraton. Biasanya ia ikut ajang lari sejauh 5–10 kilometer.
Membuka jasa sejak awal Juli, akun @jokistravamurah sudah mendapatkan dua pelanggan yang masing-masing berusia 22 dan 24 tahun. Sejauh ini, ia merasa tetap untung dari aktivitas tersebut lantaran tidak memerlukan modal.
“Yang satu 30 kilometer, satunya lagi 20 kilometer. Semuanya untuk pace bebas sih. Karena pace bebas jadi saya kerjain semuanya sambil easy run juga,” tandasnya.
Selain @jokistravamurah, ada banyak akun-akun yang menawarkan joki Strava. Seperti akun X @TrainToB*****, ia menawarkan pricelist joki Strava. Harga yang ditawarkan pun beragam, mulai dari pace 7:00–7:59 seharga Rp15 ribu per kilometernya. Kemudian, harga paling mahal yakni pace 5:00–5:59 dibanderol Rp30 ribu per kilometer.
BACA JUGA:
Antara Tren dan Kebutuhan
Golongan pelanggan joki Strava sendiri diketahui ada beberapa jenis, mulai dari pegawai kantoran, mahasiswa, hingga pelajar sekolah. Bagi para pegawai kantoran dan mahasiswa, biasanya mereka lebih butuh validasi dan mengikuti tren. Sedangkan, bagi para pelajar, memanfaatkan jasa ini justru untuk memenuhi kebutuhan mata pelajaran di sekolah.
Akun @jokistravamurah juga mengaku ada beberapa yang menanyakan jika jasanya mau digunakan untuk tugas olahraga. Namun, ia tidak tahu secara detail akan kebutuhan dari para pelanggannya itu.
Tak jauh berbeda dengan akun itu, Satria, seperti dinukil dari Era.id, ia justru iseng untuk membuka jasa joki Strava. Namun, tak disangka, dari isengnya itu ia justru mendapatkan lima pelanggan dalam seminggu.
Satria sendiri yang baru saja menamatkan bangku SMA juga mendapati ada berbagai macam jenis pelanggan. Ia pun heran mengapa ada orang bisa malas olahraga dan justru memanfaatkan jasanya itu.
Apa Itu Aplikasi Strava?
Strava adalah aplikasi berbasis GPS yang bakal memberikan layanan kepada penggunanya dengan melacak beberapa hal, seperti rute, jarak tempuh, durasi, elevation gain, denyut jantung, kalori yang terbakar, hingga pace. Adapun pace sendiri dipahami sebagai istilah untuk waktu yang dibutuhkan dalam menempuh satu kilometer atau satu mil.
Diluncurkan sejak Juli 2009, Strava muncul sebagai salah satu aplikasi yang bisa mewadahi orang-orang yang semangat berolahraga. Aplikasi yang berbasis di San Fransisco, California itu populer di kalangan anak muda, baik mereka yang bersepeda maupun berlari.
Di samping memberikan layanan pencatatan jarak tempuh, Strava juga menghadirkan komunitas bagi penggunanya. Mulai dari atlet maupun masyarakat awam, kini telah memanfaatkan dan bergabung ke komunitas digital itu.
Menurut laporan Business of Apps, selama beberapa tahun sejak peluncuran, semua aktivitas di Strava digerakkan oleh pesepeda. Jika dibandingkan dengan aplikasi lain yang tersedia, Strava justru menawarkan input data yang jauh lebih terperinci.
Dalam perkembangannya, Strava terus mengalami peningkatan. Pada 2017, misalnya, aplikasi tersebut menambahkan lebih banyak fitur. Salah satunya adalah bisa menggunakan pelacakan Global Positioning System (GPS). Para pengguna bisa merekam telah melakukan aktivitas sejauh apa dan telah melewati rute mana saja. Dari sinilah keunikan yang ditampilkan Strava.
Terhitung dari 2016, pengguna Strava hingga dewasa ini terus mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun itu terdapat 20 juta pengguna. Namun, pada 2023, jumlahnya melonjak jadi 120 juta pengguna atau 500 persen.
Peningkatan jumlah pengguna juga sejalan dengan peningkatan jumlah pendapatan. Pada 2017, Strava mengumpulkan pendapatan sebanyak 34 juta dolar. Kemudian, pada 2023, aplikasi ini mampu mengantongi 275 juta dolar.
Digandrungi Anak Muda
Banyak kawula muda yang gandrung Strava. Berdasarkan data demografi usia, pengguna aplikasi ini didominasi oleh generasi milenial sebanyak 47 persen. Kemudian, di peringkat selanjutnya ada generasi X sebesar 29 persen, generasi Z ada 17 pesen, dan generasi Baby Boomer hanya 7 persen.
Sedangkan, dari kelompok usia, menurut laporan Databoks per Mei 2024, Strava didominasi oleh mereka yang berusia 25–34 tahun. Usia tersebut mendominasi dengan persentase 28,3 persen.
Kemudian, kelompok dari rentang usia 45–54 tahun menjadi pengguna terbanyak kedua dengan total 20,25 persen. Di posisi ketiga, ada mereka yang berusia 35–44 tahun sebanyak 19,88 persen. Lalu, ada kelompok usia 55–64 tahun sebesar 13,08 persen, dan mereka yang berusia 18–24 tahun terdapat 11,28 persen.
Dari persentase di atas, bisa dilihat adanya dominasi generasi milenial yang memakai Strava.
BACA JUGA:
Kebutuhan Validasi di Medsos
Seseorang yang memakai jasa joki Strava adalah mereka yang haus akan validasi. Strava menunjang kebutuhan sebagian orang untuk turut membagikan progres sejauh mana mereka telah melakukan olahraga.
Sehingga konten yang dibagikan tak hanya swafoto atau merekam diri sendiri ketika berolahraga, agar terkesan lebih low key atau rendah hati. Sebab, tak menampilkan wajah.
Memang tidak salah. Apalagi, bagi sebagian orang itu penting. Termasuk di ranah medsos, seseorang yang suka validasi dari orang lain bakal terus melakukan segala aktivitas untuk menjaga validasi itu.
Titoluwanimi Onifade dari Bournemouth University menjelaskan bagaimana validasi berkelindan di ranah media sosial. Dalam makalahnya bertajuk The Effects of Social Media Validation (2022), Onifade menuturkan bahwa penggunaan medsos sering berkorelasi dengan penentuan nilai diri.
Dalam risetnya, Onifade mendapati bahwa orang yang sering menggunakan medsos bakal memiliki sikap sering mengkritik diri sendiri. Bahkan, jika kebutuhan akan validasi tidak terpenuhi, maka bisa berujung pada keadaan depresi.
Adanya penentuan nilai diri dari orang lain di medsos menjadi sesuatu yang penting. Dari sinilah kemudian banyak anak muda pengguna medsos melakukan persaingan supaya dirinya dianggap paling unggul atau berharga.
“Kompetisi sosial yang terjadi di media sosial menyebabkan anak muda menggantungkan validasi orang lain untuk membangun nilai dirinya,” tulis Onifade.
Dengan mendapatkan validasi di medsos, seseorang akan merasa diterima. Makin seseorang merasa diterima di lingkungannya, maka makin berharga pula kehidupan sosialnya.
Termasuk mereka yang haus validasi olahraga, meski tak sempat melakukan lari atau joging, sekarang sudah ada joki Strava. Semua jadi makin mudah, bukan. Tapi, di mana esensi olahraganya?
Penulis: Sunardi
Editor: Elin & Safar
Ilustrator: Vito