Suatu pagi warga Kelurahan Gombengsari melantunkan tahlil di samping mata air Sumbermanis. Sebagai penduduk yang tinggal di bawah kaki Gunung Ijen, mereka menjalankan ritual ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan karena telah memberikan air berlimpah yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Ritual ini cukup unik, bukan saja karena terletak di bawah tebing dan di atas sungai, melainkan juga karena usaha mereka untuk mempertahankan tradisi yang diturunkan dari nenek moyang.
Saya sengaja hadir di sana untuk melihat secara langsung bagaimana mereka menjalankan ritual kearifan lokal yang dibumbui dengan ajaran agama. Saya ingin membuktikan bahwa apa yang tertulis dalam banyak literatur itu benar: ada masyarakat di Indonesia yang mengakulturasikan budaya mereka dengan nilai-nilai agama.
Namun, saya cukup terkesiap ketika salah seorang tetuah berkata sambil bercanda kepada saya: “Adik mahasiswa jangan menganggap apa yang kita lakukan ini syirik, ya.”
Saya hanya bergeming dan tersenyum mendengar perkataan tersebut. Saya pun tak bertanya lebih jauh apakah memang ada sekelompok orang yang pernah menganggap mereka syirik.
Saya pikir anggapan demikian kerap kali ada terhadap sekelompok masyakat yang menjalankan ritual kearifan lokal. Anggapan ini tereksplisitkan dalam suatu stigmatisasi bahwa orang yang menjalankan ritual kearifan lokal secara esensial sama dengan menyembah alam.
Bahwa menyembah alam sama dengan menyekutukan Tuhan, sehingga, hamba Tuhan yang teguh sebenarnya tak perlu repot-repot memberikan sesajen kepada alam. Selain biaya yang dikelurkan sangat besar, hal ini bisa membuat Tuhan murka dan tak segan melaknat orang yang berbuat demikian.
Namun, anggapan yang sepertinya tampak suci itu sebenarnya mengandung masalah. Betapa tidak, anggapan itu dapat dibilang terlalu simplikatif dan reduktif karena tak mau melihat makna yang terkandung dalam sebuah ritual kearifan lokal.
Dalam hal ini, mereka yang suka memvonis syirik itu seolah membentengi dirinya untuk tidak menginterpretasikan apa-apa yang melekat dalam sebuah ritus yang terkonfigurasi dalam relasi antara manusia dan alam.
Karena itu, tak pernah tebersit sedikit pun dalam pikiran mereka bahwa ritual demikian merupakan wujud rasa terima kasih kepada alam. Sebab, alam telah dengan ikhlas menerima dirinya dimanfaatkan oleh manusia, sama halnya dengan seseorang yang membalas budi pada orang lain yang telah berbuat baik kepadanya.
Namun, bukan berarti di sini memanfaatkan dimaksudkan sebagai tindak eksploitasi sesuka hati. Manusia dapat memanfaatkan alam sejauh dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Ini sama persis dengan apa yang dilakukan oleh warga Kelurahan Gombengsari, di mana mereka menjaga kemurnian air dan menghindari tindak pencemaran. Sebab, mereka hanya memanfaatkan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari tanpa ada pretensi untuk mengomodifikasinya.
Kendati demikian, stigmatisasi terhadap mereka yang melakukan ritual kearifan lokal tidak hanya datang pada sekelompok umat beragama yang saklek. Mereka yang mengaku sebagai manusia modern juga acapkali mendiskreditkan masyarakat yang masih melestarikan ritual demikian.
Alasannya tentu karena ritual demikian dianggap sudah tak relevan dengan zaman sekarang. Dengan lain kata, ritual demikian adalah sejenis mitologisasi yang tidak rasional. Sehingga, penting bagi kita untuk meninggalkan atau bahkan melawan ritual demikian karena mendorong kemunduran peradaban manusia.
Sekali lagi, anggapan itu juga tak lepas dari masalah. Karena bagaimana pun, kemajuan peradaban yang diimajinasikan oleh kaum modern justru berujung pada pengrusakan alam. Hari ini kita bisa menyaksikan bagaimana pembangunan ekonomi yang dibawa oleh mantra-mantra modern justru mengakibatkan kekeringan, pencemaran udara, pencemaran air, dan berbagai macam degradasi lingkungan lainnya.
Hal tersebut berbeda dengan masyarakat yang menjalankan ritual kearifan lokal itu. Selain bahwa mereka melestarikan tradisi leluhur, mereka juga turut menjaga kelestarian alam semesta—hal yang justru sangat dibutuhkan di era krisis ekologis seperti saat ini.
Saya masih ingat cerita tentang Kelompok Resan Gunungkidul di Jogja yang melakukan ritual konservasi berbasis kearifan lokal. Melalui ritual nglangse dan memule leluhur, mereka aktif menanam dan merawat pohon besar serta memelihara mata air. Siapa sangka melalui ritual itu mereka turut menyelamatkan Gunungkidul dari kekeringan.
Apa yang ingin saya sampaikan di sini bukan hanya bahwa kita mesti toleran dengan kelompok kearifan lokal, melainkan juga turut mendukung apa yang mereka lakukan. Apabila ada sekelompok agamawan yang mengutuk mereka, kita perlu bertanya dengan satiris, “Apakah cukup menjaga ekosistem alam hanya dengan beribadah dan berdoa?” atau “Apa yang telah kalian lakukan selama ini dalam menjaga alam semesta?”
Apabila ada kaum modern yang mengutuk mereka, kita pun perlu bertanya dengan satiris, “Dengan adanya berbagai problem lingkungan yang disebabkan oleh modernitas, yang sebenarnya hendak membawa pada kemajuan peradaban itu kalian atau kelompok kearifan lokal?”
Melawan dua kelompok itu saya kira memang diperlukan. Sebab, tanpa adanya kelompok kearifan lokal kita tak akan pernah menghirup udara bersih hingga saat ini. [AR]