Pondok Pesantren sebagai Ruang Belajar Calon Bapak Rumah Tangga Ideal

Mubadalah.id – Di dalam pondok pesantren, para santri mendapatkan banyak pelajaran. Selain belajar mengaji Al-Qur’an dan kitab kuning, para santri juga dibekali beberapa ilmu kemasyarakatan yang bakal berguna ketika pulang nanti. Salah satunya adalah ilmu memasak.

Ilmu satu ini para santri pelajari, baik santri putra maupun putri. Kegiatan masak bersama di pondok pun menjadi sarana pembelajaran yang efektif untuk membentuk karakter bapak rumah tangga yang ideal.

Memasak juga tugas laki-laki

Pada umumnya, kita akan mendengar bahwa memasak adalah urusan para kaum hawa. Tugas menjadi koki seolah sudah menjadi kewajiban tak terelakkan oleh perempuan. Anak perempuan pun juga terkena imbasnya, alih-alih bisa berleha-leha seperti kedua saudara laki-lakinya, anak perempuan diharuskan untuk ikut membantu menyiapkan sarapan keluarga, serta membantu membereskan perlengkapan dapur setelah makan.

Paham patriarki ini juga berdampak pada anak laki-laki. Saya memiliki saudara sepupu laki-laki. Setiapkali ia ingin bereksperimen mengolah sebuah masakan, ibunya selalu menegur, “Anak laki-laki ngga boleh kena asap dapur.”

Alhasil pola pikir seperti ini menghasilkan generasi bapak rumah tangga yang sama sekali asing dengan ruangan yang biasa kita sebut dapur tersebut.

Jika kita menilik fikih klasik. Akan kita jumpai bahwa sejatinya, istri tidak kita wajibkan untuk menyiapkan masakan pada suaminya. Ini bisa kita lihat dari kitab I’anah Ath-Thalibin [4/78]

وقع السؤال في الدرس هل يجب على الرجل إعلام زوجته بأنها لا تجب عليها خدمته بما جرت به العادة من الطبخ والكنس ونحوهما مما جرت به عادتهم أم لا؟ وأجبنا عنه بأن الظاهر الاول لانها إذا لم تعلم بعدم وجوب ذلك ظنت أنه واجب وأنها لا تستحق نفقة ولا كسوة إن لم تفعله فصارت كأنها مكرهة على الفعل

“Ada pertanyaan saat diskusi berlangsung, ‘Wajib atau tidakkah bagi suami memberitahu istrinya bahwa sang istri tidak diwajibkan untuk membantu memasak, mencuci dan sebagainya, sebagaimana yang berlaku selama ini?’

Jawabanya adalah wajib bagi suami memberitahukan hal tersebut, karena jika tidak diberitahu, seorang istri bisa menyangka hal itu sebagai kewajiban, bahkan istri akan menyangka pula bahwa dirinya tidak mendapatkan nafkah bila tidak membantu (mencuci, memasak dan lainnya). Hal ini akan membuat istri merasa menjadi orang yang terpaksa.”

Dengan demikian, kita pahami bahwa istri tidak berkewajiban menyiapkan masakan untuk suami. Dan istri yang tidak ingin membuatkan makanan pada suaminya, tidak bisa kita golongkan sebagai istri yang nusyuz atau membangkang terhadap perintah suami.

Pondok sebagai pencetak sosok suami ideal

Di pondok, saat menyambut hari-hari khusus seperti hari raya Iduladha, para santri diperintah untuk memasak daging kurban yang telah pesantren bagikan. Momen ini pun tidak terlewatkan begitu saja oleh teman-teman santri. Mulai dari menyiapkan resep makanan, merancang daftar belanja, hingga menanak nasi.

Karena para santri putra yang notabenenya jarang bergaul di dapur, maka momen-momen unik pun banyak kita temukan. Seperti membeli minyak dua liter untuk menyate daging setengah kilo, menanak bubur, hingga sate yang mirip dengan arang.

Meski demikian, para santri sangat antusias dan menikmati masakan hasil kreasi mereka sendiri. Setidaknya, para calon bapak rumah tangga ini menyadari satu hal. Betapa ruwetnya menyiapkan makanan tiga kali sehari untuk keluarga dengan selera makanan yang berbeda-beda.

Rasa empati akan tumbuh pada diri santri. Hal ini akan sangat berguna ketika membangun rumah tangga nanti. Suami yang sejak dini telah terdidik untuk menghargai setiap masakan, tidak akan mudah membuang masakan istrinya. Dia juga tidak akan semena-mena berkomentar tentang rasa masakan tersebut.

Suami juga tidak akan segan-segan membantu istrinya dalam menyiapkan sarapan, ketimbang sibuk ngedumel gara-gara istri lambat menyiapkan sarapan. Ini karena suami memahami bahwa memasak bukanlah hal yang remeh dan layak kita remehkan. Sebagaimana yang telah ia pelajari dan rasakan semasa ia mondok di pesantren dulu.

Maka, menurut saya memasukkan anak lelaki ke pondok pesantren, juga turut membantu mencetak bapak rumah tangga yang ideal. []