Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali terjadi. Adalah salah seorang selebgram muda bernama Cut Intan Nabila yang menjadi korbannya. Dalam postingan akun instagramnya, ia menuturkan bahwa ia telah membina rumah tangga bersama pasangannya selama kurang lebih 5 tahun.
Dalam kurun waktu itu pula, ia bertahan dalam relasi pernikahan Red Flag, di mana mengalami kasus KDRT yang pasangannya lakukan. Tak hanya KDRT, perjalanan rumah tangganya juga diwarnai perselingkuhan yang tak lain juga dilakukan oleh pasangannya.
Begitu miris rasanya membaca kabar semacam ini. Apa yang Cut Intan Nabila alami ini mungkin hanya sebagian kecil kasus KDRT yang tampak di permukaan publik. Di akar rumput, bisa saja masih banyak kasus KDRT yang tak terekspos, sehingga masih terus-menerus terjadi. Na’udzubillah min dzalik. Semoga para korban KDRT mendapatkan hak-hak yang semestinya mereka dapatkan dan senantiasa berada dalam lindungan-Nya.
Dalam tulisan kali ini, penulis tak bermaksud menyalahkan atau menghakimi siapapun, terutama kepada para korban KDRT. Justru mereka harus kita support dengan memberikan atensi penuh agar hak-haknya tertunaikan dengan baik, dan bisa hidup dalam kondisi dan lingkungan yang lebih aman dan nyaman ke depannya.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengulas alasan mengapa korban KDRT bisa ‘bertahan’ dalam relasi pernikahan Red Flag, menjalani rumah tangga penuh kekerasan selama bertahun-tahun. Sebenarnya apa alasannya? Bagaimana hal semacam ini bisa terjadi? Mari kita ulas!
Guna menjelaskan alasan yang melatarbelakangi korban KDRT (seolah) mampu ‘bertahan’ dalam relasi rumah tangga yang diwarnai kekerasan dalam jangka waktu yang relatif lama, penulis sependapat dengan penuturanseorang pakar psikolog muda Indonesia, Gisella Tani Pratiwi, M.Psi., Psikolog. Dalam menyikapi hal ini, beliau menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga alasan yang menjadikan korban KDRT bisa ‘bertahan’ selama bertahun-tahun dalam relasi ‘kejam’, antara lain;
Pertama, korban terjerat dalam siklus kekerasan dan berada dalam “dilema cinta-harapan-teror”
Siklus kekerasan ini terdiri dari pola berulang, yaitu: tahapan ‘bulan madu’ (masa romantis antara pasangan; hubungan keduanya begitu dekat dan hangat), tahapan konflik/ permasalahan, tahapan tindak kekerasan, tahapan masa tenang/meminta maaf, dan kembali lagi ke tahapan pertama.
Biasanya, korban yang sudah terjerat dalam siklus kekerasan sekaligus berada dalam “dilema cinta-harapan-teror” ini, akan ‘terikat’ pada dilema rasa cinta dan sayang pada pasangan yang sejatinya merupakan pelaku kekerasan. Korban seakan ‘melupakan’ berbagai tindak kekerasan yang pasangan lakukan sebelumnya.
Tak jarang, korban juga berharap pasangannya bisa berubah menjadi pribadi yang baik. Hal ini karena tatkala konflik sudah mereda dan keduanya ada dalam dalam tahapan masa tenang/meminta maaf dan bulan madu, pelaku biasanya mengutarakan janji-janji manis kepada korban. Terutama janji bahwa pelaku tidak akan menyakiti korban lagi. Akibatnya, korban menjadi menaruh harapan besar bahwa pasangannya akan menepati janji-janjinya.
Di sisi lain, kondisi korban yang sudah terjerat dalam siklus kekerasan sekaligus berada dalam “dilema cinta-harapan-teror” ini menyebabkan kehidupan korban tidak mengenakan. Kehidupan korban dipenuhi teror berupa aksi kekerasan pelaku yang semakin hari semakin sulit ia lawan, sebab adanya peningkatan intensitas kekerasan atau mungkin sebab kondisi psikologis korban yang semakin terpuruk.
Singkatnya, siklus kekerasan ini semakin memperlemah korban yang sejatinya telah dilemahkan berkali-kali sebelumnya. Akan tetapi, “dilema cinta-harapan-teror” ini memaksa korban mau tidak mau harus bertahan atau mempertahankan rumah tangganya.
Kedua, korban seringkali mengalami jeratan relasi manipulasi pelaku
Jeratan manipulasi pelaku dalam relasi antara pasangan ini jelas merugikan korban. Akan tetapi, korban pada mulanya tidak merasakan kejanggalan atas perilaku pasangannya yang sering melakukan kekerasan terhadapnya. Korban juga menganggap bahwa ini merupakan khilaf dari pasangannya dan tak jarang juga menganggap hal ini sebagai ujian pernikahan saja.
Lambat laun, barulah korban merasa bahwa apa yang selama ini menimpanya bukanlah khilaf dari pasangannya atau ujian pernikahan. Perlahan ia akan menyadari bahwa semua yang terjadi hanyalah manipulasi dari pasangannya (pelaku) yang zalim itu.
Bila pelaku memanipulasi secara berkelanjutan, maka berakibat sangat fatal bagi pasangannya (korban).Terlebih, bila korban tidak mendapatkan sumber dukungan dari pihak manapun. Korban akan merasa frustasi dan mengalami dampak traumatis yang merusak beragam aspek dalam dirinya.
Ketiga, korban berada dalam relasi romantis yang berkekerasan
Relasi romantis yang berkekerasan ini menciptakan rasa tidak aman dan terancam sekaligus memicu dampak traumatis. Relasi demikian ini mempersulit kemampuan korban berpikir logis untuk menolong diri sendiri.
Pada intinya, korban akan merasa antara percaya dan tidak percaya akan semua yang terjadi pada dirinya. Korban percaya kalau kasus kekerasan yang ia alami adalah sebuah kenyataan. Namun, ia seolah masih saja tidak percaya bila pasangannya adalah pelaku tindak kekerasan tersebut.
Berangkat dari tiga alasan di atas, maka perlu kita pahami, terutama bagi para korban KDRT secara khusus dan kita semua secara umum, bahwa ujian pernikahan dan KDRT bukanlah hal yang sama dan berkaitan. Ujian pernikahan merupakan sesuatu yang tidak bisa kita kontrol (sesuatu yang tidak sengaja diadakan) dan semestinya dihadapi oleh pasangan berdua.
Misalnya, bagaimana mencari nafkah halal dan cukup buat keluarga, bagaimana mendidik anak di tengah gempuran pergaulan zaman akhir, bagaimana merawat anggota keluarga bila mendadak ada yang sakit, dsb.
Sedangkan KDRT merupakan sesuatu yang ‘sengaja’ ada dan merugikan salah satu pihak di antara pasangan. Maka dari itu, KDRT bukanlah ujian pernikahan. KDRT itu jelas tindak kejahatan. Melaporkan KDRT juga bukan berarti membuka aib pasangan. Karena, KDRT hakikatnya bukanlah aib, melainkan kejahatan yang harus kita proses secara hukum.
Pesan Gisella bagi Perempuan Korban KDRT
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin menyampaikan pesan yang juga Mbak Gisella gaungkan agar terbaca oleh lebih banyak orang, terutama para perempuan yang kerap menjadi korban KDRT. Jika kamu hidup dalam relasi berkekerasan, maka:
Pertama, yakinkan dirimu bahwa kamu berharga. Kamu berhak untuk hidup lebih baik.
Kedua, cari sumber dukungan selain pasanganmu.
Ketiga, kenali hal-hal baik dalam dirimu dan ingat aspirasi dirimu.
Keempat, jangan ragu mencari dan mengakses layanan dampingan untuk kasus KDRT, termasuk layanan perlindungan hukum dan akses layanan psikologis.
Kelima, ciptakan rencana keselamatan untuk darurat, termasuk untuk anakmu.
Demikian ulasan tentang alasan korban KDRT bisa ‘bertahan’ dalam relasi rumah tangga berkekerasan selama bertahun-tahun. Semoga bisa membuka cakrawala logika berpikir kita semua. Sehingga, harapannya kasus KDRT di negeri ini semakin melandai. Dan kalau pun masih ada, para korban tak takut untuk bersuara. Wallahu a’lam. []