Kampanye Moderasi Beragama di Ruang Virtual sebagai Kontra Radikalisme

kampanye-moderasi-beragama-di-ruang-virtual-sebagai-kontra-radikalisme

Mubadalah.id – Bahaya radikalisme dan terorisme masih menjadi hal yang harus kita waspadai keberadaan, juga kemunculannya. Penangkapan HOK di Malang, tentunya menjadi semacam alarm bagi bahaya ini lagi. Divisi Humas Polri beberapa waktu lalu menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Terorisme adalah Musuh Kita Bersama” di Pondok Pesantren Al Musthofa, Kendal, Jawa Tengah, pada Rabu (24/7). Setidaknya menjadi sebuah bukti bahwa bahaya gerakan semacam itu masih sangat harus kita waspadai.

Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, S.I.K. memimpin acara ini, dengan narasumber utama Ustadz Muhammad Nasir Abbas. Dia adalah seorang mantan narapidana terorisme yang kini aktif menyebarkan pesan damai. FGD itu jelas memasang tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai bahaya radikalisme dan terorisme melalui kegiatan kontra radikalisasi.

Dalam acara tersebut, Trunoyudo menekankan pentingnya upaya kontra radikal yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk Forkopimda, tokoh agama, masyarakat, adat, dan pemuda. Muhammad Nasir Abbas, sebagai seorang Napiter, sembari berbagi pengalamannya, ia juga menekankan bahwa terorisme adalah ancaman nyata meskipun pergerakannya tidak selalu terlihat.

Terorisme itu benar ada, walaupun gerakannya tidak kelihatan. Saya ini mantan napiter, dulu saya musuh negara, dulu saya disiapkan untuk menghadapi pemerintah Indonesia. Dulu saya direkrut untuk jadi teroris di Indonesia.” Dikutip dari Humas Polri (24/7).

Radikalisme Tumbuh dari Kegagalan Menyikapi Perbedaan

Selain itu, eks mantan teroris itu juga menjelaskan bahwa radikalisme bisa tumbuh dari kegagalan dalam menyikapi perbedaan. Baik tentang ideologi keagamaan, pandangan politik, bahkan antar ormas. Ia juga menegaskan, bahwa siapa pun bisa direkrut oleh jaringan terorisme.

Karena itu, dalam nasihat-nasihat yang ia sampaikan, mengajak masyarakat untuk selalu waspada terhadap paham-paham radikal dan mesti setia menjaga keluarga serta negara. Tujuannya agar kita semua tidak terpapar bahaya semacam itu.

Dari hal yang sudah saya paparkan di atas, kita bisa pahami bersama, bahwa sampai sekarang bahaya radikalisme dan terorisme yang berusaha mengikis nilai-nilai keberagaman dan toleransi. Hal ini menjadi landasan penting bagi keberlangsungan masyarakat plural seperti Indonesia, yang masih menjadi ancaman nyata.

Dalam konteks ini, jelas sekali, bahwa adanya gerakan radikalisme dan terorisme tidak hanya mengancam stabilitas dalam masalah politik. Tetapi juga mengenai harmoni sosial dalam kehidupan masyarakat. Karena bibit radikalisme dan terorisme. Sebagaimana Nasir Abbas ungkapkan, sering kali berkembang dari ketidakmampuan individu atau kelompok dalam menyikapi perbedaan, baik pendapat atau kepercayaan.

Hal itulah yang nanti dapat menimbulkan segregasi sosial sehingga dapat memicu konflik horizontal dengan munculnya gerakan-gerakan intoleran di masyarakat. Seperti diskriminasi kelompok minoritas, pelarangan beribadah umat beragama lain, adu domba ormas agama, dan seterusnya.

Kampanye Moderasi Beragama: Upaya Kontra Narasi yang Inklusif

Sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, bahwa radikalisme dan berbagai gerakan intoleran masih menjadi ancaman serius bagi stabilitas sosial dan keberagaman di Indonesia. Sehingga, urgensi untuk menghadapi bahaya laten tersebut tidak bisa begitu saja kita abaikan. Salah satu cara efektif untuk melawan radikalisme adalah dengan mempromosikan moderasi beragama melalui diskursus yang inklusif dan rasional di media sosial.

Sebagaimana mengutip dari Radio Republik Indonesia (25/7), Pastor Gereja Katolik Paroki St. Albertus de Trapani Malang, RD Agustinus Galuh Wicaksono, menekankan sekali pentingnya pendekatan inklusif dalam menghadapi radikalisme. Yakni dengan melibatkan kurikulum pendidikan yang moderat, pemenuhan kesejahteraan sosial, penegakan hukum, dan dialog antar kelompok.

Menurut Romo Galuh, pendidikan inklusif dan penyuluhan berkesinambungan sangat penting kita lakukan. Misalnya, dengan memasukkan pelajaran tentang toleransi dan keragaman budaya dalam kurikulum sekolah serta pendidikan karakter.

Tak hanya itu, Romo Galuh juga menekankan pentingnya forum dialog antaragama dan antarbudaya untuk mengurangi prasangka buruk terhadap liyan. Selain itu kampanye publik dan media sosial untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya bertoleransi.

Beliau pun mengusulkan pula penegakan peraturan anti-diskriminasi dan kebijakan yang mempromosikan inklusi sosial. Baginya, moderasi beragama juga menjadi hal yang penting kita kampanyekan. Langgkah ini sebagai cara untuk menghindari ekstremisme dengan menekankan keseimbangan nilai, toleransi, dan penolakan terhadap kekerasan serta fanatisme berlebihan.

Forum dialog antaragama dan antarbudaya, misalnya, bisa menjadi sarana efektif untuk mengurangi prasangka-prasangka buruk dan meningkatkan pemahaman moderat antar kelompok. Sebagaimana dalam teori “Ruang Publik” Jürgen Habermas, dialog yang terbuka dan inklusif akan memungkinkan terciptanya diskursus yang sehat. Di mana pada gilirannya dapat mengurangi ketegangan sosial dan menghindari konflik.

Tentu saja, dalam era digital seperti sekarang ini, dialog semacam itu harus kita dorong dan kita hidupkan tidak hanya pada level masyarakat saja. Akan tetapi juga melalui media sosial dan kampanye publik untuk mencapai audiens yang lebih luas.

Platform Digital sebagai “Ruang Publik” Moderasi Beragama

Teori “Ruang Publik” Jürgen Habermas memberikan kerangka kerja yang tepat untuk menciptakan ruang diskusi yang dapat menjadi kontra narasi terhadap ideologi radikal. Khususnya dalam hal kampanye moderasi beragama di ruang media sosial.

Ruang publik adalah ruang yang terbuka untuk semua kalangan. Di mana diskusi yang terjadi di dalamnya harus bebas dari paksaan dan dominasi. Mengutip penelitian Puspita (2022) berjudul “Religious Moderation Campaign Through Social Media” media sosial dapat berperan sebagai strategi alternatif yang efektif dalam mengkampanyekan moderasi beragama dewasa ini.

Analisisnya dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa platform populer seperti YouTube, Instagram, TikTok, Facebook, dan Twitter banyak diakses oleh masyarakat. Hal ini menegaskan pentingnya memanfaatkan platform digital untuk dakwah Islam moderat.

Platform-platform ini merupakan teknologi canggih semacam itu sangat memfasilitasi pertukaran ide, pemikiran, dan informasi melalui jaringan dan komunitas virtual. Karena itu, kita mesti mengoptimalkannya pula dalam hal penyebaran moderasi beragama di Indonesia.

Apalagi, menurut laporan We Are Social yang mengutip dari Databoks, pada Januari 2024, terdapat 139 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, yang setara dengan 49,9% dari total populasi. WhatsApp menjadi aplikasi yang paling populer, digunakan oleh 90,9% dari pengguna internet berusia 16-64 tahun.

Instagram menempati posisi kedua dengan 85,3% pengguna, diikuti oleh Facebook (81,6%) dan TikTok (73,5%). Sementara itu, Telegram digunakan oleh 61,3% pengguna, dan X (sebelumnya Twitter) oleh 57,5% pengguna.

Data-data di atas setidaknya sangat menunjukkan dengan jelas bahwa mengoptimalkan platform digital atau media sosial untuk kampanye dakwah Islam moderat adalah langkah yang strategis dan sangat penting kita lakukan.

Implementasi Kampanye Moderasi Beragama

Dengan demikian, penggunaan teori “Ruang Publik” milik Jürgen Habermas bisa menjadi implementasi kampanye moderasi beragama dalam media sosial. Yakni untuk menghadapi bahaya radikalisme adalah dengan menciptakan ruang publik virtual yang inklusif dan terbuka. hal tersebut bisa kita lakukan dengan:

Pertama, mempromosikan konten-konten keberagaman dan inklusivitas. Kampanye dan inisiatif untuk mempromosikan keberagaman dan inklusivitas di media sosial sangat penting untuk dilakukan sebagai kontra narasi radikalisme, karenanya kampanye ini tentu harus didorong oleh pemerintah, organisasi non-pemerintah, juga komunitas lokal.

Kedua, menjadi platform yang netral dan adil. Penyedia platform media sosial yang bertujuan mengkampanyekan moderasi beragama harus memastikan bahwa algoritma dan kebijakan mereka tidak mendiskriminasi para pengguna berdasarkan pandangan politik, agama, atau etnis tertentu.

Ketiga, menciptakan kebijakan moderasi yang transparan. Platform digital yang digunakan untuk kampanye moderasi beragama juga harus memiliki kebijakan moderasi yang jelas dan transparan untuk menangani konten-konten yang berpotensi memicu munculnya benih pkebencian dan kekerasan tanpa mengekang kebebasan berekspresi pihak lain.

Dengan demikian, dalam menghadapi bahaya laten radikalisme dan intoleransi, menciptakan ruang publik yang inklusif dan rasional di media sosial adalah langkah yang penting. Teori “Ruang Publik” Habermas menawarkan kerangka kerja yang tepat untuk memahami dan mengimplementasikan strategi ini. Dengan mempromosikan diskursus moderasi beragama, kita setidaknya dapat membangun kontra narasi yang efektif terhadap radikalisme dan terorisme, serta menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan damai. []

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Kampanye Moderasi Beragama di Ruang Virtual sebagai Kontra Radikalisme

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us