Mubadalah.id – Ada yang tak biasa dalam aksi massa Peringatan Darurat oleh gabungan elemen solidaritas masyarakat Indonesia di depan Gedung DPR MPR Senayan Jakarta. Aktor terkenal Reza Rahadian yang biasanya piawai akting di depan kamera, tampil dengan penuh percaya diri berorasi di atas kendaraan bak terbuka.
Dalam kesempatan tersebut Reza Rahadian menjadi salah satu figur publik yang turut hadir dalam aksi tolak Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Kata lain demo kawal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 22 Agustus 2024.
Melansir dari kanal cnbc Indonesia, Reza mengaku bahwa selama ini ia cenderung berhati-hati bersikap dalam ranah politik. Pemeran film Laut Bercerita ini mengaku bahwa selama ini ia tak pernah terlibat, ikut campur, atau menjadi pendukung spesifik salah satu pihak dalam sistem politik Indonesia.
Namun, pada hari itu Reza memutuskan untuk “turun ke jalan” bersama para demonstran lainnya untuk menolak Revisi UU Pilkada. Ia mengaku sudah terlampau resah hingga tak bisa tidur tenang di rumah.
Orasi Reza Rahadian
“Selama ini saya selalu menjadikan dunia seni sebagai wilayah untuk menyampaikan keresahan hati dan kritik sosial. Namun, hari ini saya sudah tidak bisa lagi berhenti diam. Saya tidak bisa tidur tenang di rumah,” ungkap Reza di atas mobil komando.
Dalam orasinya, Reza mengaku murka melihat bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon gubernur dan wakil gubernur yang tidak diadopsi oleh DPR RI. Aktor berusia 37 tahun itu pun mempertanyakan posisi DPR sebagai lembaga legislatif yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang terpilih melalui pemilihan umum (pemilu).
“Hari ini kita mendapatkan kenyataan bahwa itu coba dianulir oleh sebuah lembaga yang katanya adalah wakil-wakil kita semua. Lantas, Anda-anda di dalam ini (Gedung DPR RI) wakil siapa?” tanya Reza yang disambut teriakan setuju oleh massa.
Reza menegaskan bahwa kehadirannya dalam aksi massa kali ini bukanlah atas dasar kepentingan pribadi atau pihak tertentu. Tak hanya itu, ia pun turut menyinggung soal politik dinasti yang ramai digaungkan oleh masyarakat.
“Saya hadir hari ini sebagai rakyat biasa bersama teman-teman dan mewakili suara orang-orang yang gelisah melihat demokrasi kita seperti ini,” ujar Reza.
“Negara ini bukan negara milik keluarga tertentu,” tegasnya.
Sebagai penutup, sosok kelahiran Bogor, Jawa Barat ini meminta seluruh peserta aksi demo untuk tetap tertib dan kondusif dalam menyampaikan aspirasi dan menolak Revisi UU Pilkada. Reza meminta seluruh pihak untuk terus mengawal situasi dengan cara yang terhormat.
Reza Rahadian Cucu dari Fransisca Fanggidaej
Keberanian dan sikap kritis Reza Rahadian rupanya mengalir darah dari sang nenek, Fransisca Fanggidaej. Dia adalah seorang perempuan yang memiliki peran penting dalam upaya diplomasi di masa kemerdekaan. Namun, namanya terhapus dari sejarah.
Melansir dari akun Instagram bukumojok, tertera bahwa Fransisca meninggalkan 7 anaknya untuk menjalankan tugas negara ke Helsinki dan Chile.
“Anak-anak masih kecil..” tulisnya. “Aku ingat sebelum aku berangkat, kutinggali dengan segebug uang kertas. Tidak kuhitung lagi berapa.”
Pada saat itulah terakhir kali anak-anak Fransisca bertemu ibu mereka, hingga 38 tahun kemudian.
Korban Gerakan 30 September
Ketika Gerakan 30 September Meletus di Indonesia, Sisca tak dapat pulang karena paspornya dicabut. Dia berpindah-pindah dari Kuba, Cina, dan Belanda dengan menggunakan paspor sementara dari Kuba, pemberian dari Presiden Kuba Fidel Castro.
Di Indonesia sendiri, suaminya tertangkap dan dipenjara. Tujuh anaknya yang masih kecil terusir dari rumah mereka. Lalu dirawat oleh kerabat, dan sepanjang sejarah mereka hidup dalam stigma.
Setelah Reformasi 1998, dan Presiden Abdurrahman Wahid mempersilahkan para eksil untuk pulang, barulah Sisca bisa berkunjung kembali ke Indonesia.
Melansir dari infografis BBC Indonesia sepanjang sejarah hidupnya, pada tahun 1945 Fransisca Fanggidaej telah menjalankan siaran Radio Gelora Pemuda di Madiun untuk melawan propaganda NICA. Lalu pada tahun 1947 berpidato di konferensi pemuda di Praha dengan tema “Solidaritas bersama rakyat yang terjajah.”
Beberapa tahun berikutnya di 1955 Fransisca menjadi wartawan Kantor Berita Antara, kemudian mendirikan INPS. Kemudian pada tahun 1957 Presiden Soekarno menunjuknya sebagai anggota DPR mewakili golongan wartawan. Dan terakhir, ia juga menulis buku, satu di antaranya berjudul “Memoar Perempuan Revolusioner.”
Tentu kita berharap kelak tak hanya Fransisca, ataupun cucunya Reza Rahadian yang kini telah berani lantang bersuara untuk mewakili aspirasi rakyat Indonesia. Tetapi para public figur lainnya, artis, influencer dan selebgram di negeri ini agar tak kehilangan hati nurani untuk selalu berpihak pada mereka yang dilemahkan dan tak berdaya. []