Sejak tahun 1992, sudah lebih dari 160.000 anak asal China diadopsi oleh keluarga dari berbagai penjuru dunia. China yang semakin maju kini melarang praktik tersebut.
SINGAPURA: Chenna Leinders, atau Yang Dihuang, diadopsi dari panti asuhan di Provinsi Hubei, China, pada tahun 2000 ketika usianya satu setengah tahun.
“Diadopsi merupakan salah satu hal tersulit yang harus saya hadapi dalam hidup, meski juga salah satu hal terindah, karena telah membentuk saya menjadi seperti sekarang ini,” ungkap warga negara Belanda berusia 25 tahun tersebut kepada CNA.
Ia satu dari puluhan ribu anak China yang diadopsi oleh keluarga dari berbagai belahan dunia sejak China membuka pintu bagi adopsi internasional tiga dekade lalu. Namun, pintu tersebut kini tertutup, sebagaimana diumumkan pemerintah Beijing awal bulan ini.
Menurut para pengamat, langkah ini mungkin didorong oleh meningkatnya sentimen nasionalisme dan ketegangan geopolitik China – seperti dengan Amerika Serikat – seiring upaya negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini dalam mewujudkan kemandirian dan memperkuat posisinya di kancah global.
Meski beberapa berita menyoroti berakhirnya praktik ini di tengah populasi China yang menyusut, para pengamat yang diwawancarai CNA meragukan adanya kaitan langsung. Menurut mereka, keputusan ini tidak akan memberikan kontribusi signifikan guna memperbaiki situasi karena angka adopsi tidak saja terlalu kecil, tetapi juga menurun.
“Dampak keputusan ini terhadap lanskap demografis China akan sangat kecil,” kata Dr Huang Yanzhong, peneliti senior di Dewan Hubungan Internasional dan profesor madya di Seton Hall University.
“Urusan citra nasional mungkin memainkan peran signifikan, karena adopsi internasional – meski bermanfaat bagi anak-anak yatim piatu China – bisa dianggap merusak reputasi China atau menjadi sumber penghinaan nasional,” katanya kepada CNA.
DEMI POPULASI ATAU POLITIK?
China secara terbuka menyatakan dalam konferensi pers harian kementerian luar negerinya bahwa mereka menghentikan program adopsi luar negeri pada 5 September lalu.
“Selain adopsi anak atau anak tiri dari kerabat sedarah kolateral dari generasi yang sama dan hingga tingkat kekerabatan ketiga oleh orang asing yang datang ke China, China tidak akan mengirim anak-anak ke luar negeri untuk diadopsi,” kata Mao Ning, seorang juru bicara.
Dia tidak menyebutkan alasan di balik keputusan ini, meski menyebutkan bahwa langkah tersebut sejalan dengan “semangat perjanjian internasional yang relevan”.
Dalam editorialnya baru-baru ini, surat kabar Global Times yang dikelola pemerintah China menggambarkan keputusan itu sebagai “akibat tak terelakkan dari perkembangan dan kemajuan China”.
Berbagai laporan media fokus pada bagaimana berakhirnya program ini terjadi di tengah populasi China yang menyusut dan menua. Namun, para analis percaya bahwa langkah ini tidak terlalu terkait perihal tersebut.
“Keputusan baru ini tentu tidak akan berdampak pada penurunan populasi China karena angka adopsi oleh keluarga asing terlalu kecil untuk benar-benar berpengaruh,” ujar Dr Zhao Litao, peneliti senior di East Asian Institute, National University of Singapore (NUS), kepada CNA.
Senada dengan itu, Huang mengatakan bahwa penghentian adopsi internasional menyuguhkan “bantuan yang nyaris nihil” terkait masalah populasi China.
Sejak pertama kali membuka pintunya untuk adopsi internasional pada 1992, China telah menyetujui adopsi lebih dari 160.000 anak oleh keluarga dari berbagai penjuru dunia.
“Angka itu tidak seberapa dibandingkan dengan total jumlah bayi yang lahir di China selama tiga dekade terakhir,” kata Huang. Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional China, bayi yang dilahirkan di negara tersebut dari 1992 hingga 2023 berjumlah sekitar 529 juta jiwa.
Para analis justru melihat bahwa langkah ini didorong oleh meningkatnya sentimen nasionalisme yang dibentuk oleh perubahan lanskap geopolitik – terutama ketegangan antara China dan negara-negara Barat seperti AS.
Menurut organisasi nirlaba China’s Children International (CCI), keluarga-keluarga di AS telah mengadopsi kurang lebih 82.000 anak, sebagian besar perempuan, dari negara tersebut. Menurut laporan Associated Press (AP), jumlah itu sekitar setengah dari total keseluruhan – terbanyak dibandingkan negara lainnya.
Beijing kemungkinan khawatir bahwa kontras antara status anak-anak adopsi dari China di negara-negara Barat dengan mereka yang berada di China bisa memproyeksikan superioritas Barat, kata Huang.
Ia percaya langkah ini mungkin pula sejalan dengan narasi “Impian China” cetusan Presiden Xi Jinping yang menekankan kebanggaan dan kekuatan nasional, juga kemandirian, dan bahwa hal ini bisa jadi mencerminkan membesarnya keinginan untuk menjaga anak-anak China dalam konteks budaya mereka serta menangani pengasuhan anak-anak yatim piatu secara domestik.
“Ini terkait kebanggaan nasional bahwa anak-anak China jangan sampai diadopsi oleh orang asing demi uang,” kata Yun Sun, direktur program China di lembaga pemikir Stimson Center yang berbasis di Washington DC.
Menurut daftar biaya di berbagai program adopsi China, ongkos mengadopsi anak dari China berkisar antara US$25.000 hingga US$40.000, termasuk perjalanan, tergantung pada provinsi asal anak.
TANPA KEPASTIAN
Keputusan China ini mengombang-ambingkan banyak keluarga di tengah proses mengadopsi anak dari negara tersebut.
Menurut laporan AP, Beijing menyatakan dalam percakapan telepon dengan para diplomat AS di China bahwa mereka “tidak akan lanjut memproses kasus pada tahap apa pun” selain kasus-kasus yang tercakup dalam klausul pengecualian. Para pejabat AS tengah menunggu klarifikasi tertulis dari otoritas China.
“Kami paham ada ratusan keluarga yang masih menunggu penyelesaian adopsi mereka, dan kami bersimpati dengan situasi mereka,” kata Kementerian Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan pada 5 September.
Holt International, satu agensi adopsi yang telah membantu memumpun lebih dari 7.700 anak China pada keluarga-keluarga Amerika, membagikan pernyataan tersebut di situs webnya sembari mengungkapkan kekecewaan atas perkembangan ini.
“Kami prihatin untuk banyak anak dan keluarga yang telah dipadankan, yang sudah menunggu-nunggu sejak penangguhan proses adopsi di awal pandemi COVID-19 lalu,” kata agensi tersebut.
China menangguhkan adopsi internasional selama pandemi COVID-19. Pemerintah kemudian melanjutkan adopsi untuk anak-anak yang telah menerima otorisasi perjalanan sebelum penangguhan pada tahun 2020, demikian menurut Kemlu AS dalam laporan tahunan terbarunya tentang adopsi.
Holt International menambahkan bahwa mereka akan melanjutkan program-program di dalam negeri untuk anak-anak yang rentan, berikut berbagai skema adopsi di Hong Kong dan Taiwan.
Liu Yun, presiden Haikou University of Economics sekaligus mantan pejabat di Hunan, berbagi pemikirannya lewat WeChat.
Dia mengenang pernah melihat sekelompok orang asing di lobi-lobi hotel selama menjabat posisi pemerintahan di Changsha pada 1990-an dan 2000-an, dan awalnya khawatir perihal bagaimana anak-anak yang diadopsi akan beradaptasi dengan keluarga asing mereka. Namun, kekhawatirannya memudar setelah membaca berbagai kisah sukses tentang anak-anak tersebut.
Dia menyebutkan contoh orang-orang terkenal yang memiliki anak adopsi dari China, seperti pendiri Amazon, Jeff Bezos, dan Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson.
“Seberapa pun besarnya emosi atau penyesalan yang mengiringi perubahan kebijakan, nasib individu dibentuk oleh zaman, bukan sebaliknya. Ini adalah realitas yang tidak bisa diubah,” Liu menyimpulkan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Chenna Leinders kepada CNA, menjadi anak adopsi merupakan salah satu hal tersulit yang harus ia hadapi dalam hidup.
“Meski juga salah satu hal terindah, karena membentuk saya menjadi seperti sekarang,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, bertahun-tahun ia bergulat dengan identitasnya meski menjalani “kehidupan yang bahagia dan sehat, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman dengan penuh kasih sayang”.
“Saya bukan Belanda tulen karena penampilan saya, juga bukan China tulen karena tidak tahu apa-apa soal budaya, bahasa, atau keluarga biologis saya,” ujar Chenna. Tantangan lain yang ia hadapi adalah perundungan rasialis di sekolah menengah.
Krisis identitas membuatnya mempertanyakan tidak hanya dirinya sendiri, tetapi juga keputusan orang tua biologisnya, hingga ia sempat depresi.
“Saya jadi sangat tidak percaya diri karena ‘berbeda’, sampai-sampai saya sempat berharap saya tidak pernah diadopsi sama sekali.”
Namun, setelah introspeksi diri bertahun-tahun, Chenna – kini seorang manajer keuangan hotel – mengatakan dia mulai “melihat hidup secara lebih optimistis”.
“Saya sudah nyaman dengan diri saya sendiri, bangga dengan siapa saya sekarang, dan sepenuhnya menerima semua yang terjadi di masa lalu.”
MENILAI DAMPAK DOMESTIK
Di China, kabar ini memancing berbagai reaksi daring. Di Weibo, pada bagian komentar di bawah aneka berita tentang perubahan kebijakan ini, sebagian mengungkapkan dukungan dan empati, sementara yang lain menyuarakan kritik maupun persetujuan.
“Kita lebih kaya sekarang, kita tidak butuh keluarga asing untuk mengadopsi anak-anak China,” tulis seorang pengguna.
Yang lain menghubungkannya dengan isu populasi: “Kita kekurangan penduduk, jadi stop (program) adopsi.”
Sebagian mengungkapkan keprihatinan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus: “Ini menyedihkan bagi anak-anak cacat.”
Sekitar 900.000 anak penyandang disabilitas lahir di China setiap tahun. Banyak yang lantas ditelantarkan oleh orang tua mereka, sebagaimana dilaporkan CNA pada tahun 2017. Menurut Komisi Kesehatan Nasional China, pada tahun itu negara tersebut mencatat 17,58 juta bayi baru lahir.
Huang Yanzhong mengingatkan, lebih dari 50.000 anak berkebutuhan khusus akan kehilangan kesempatan untuk punya keluarga di luar negeri.
“Anak-anak ini tidak akan diadopsi oleh keluarga China di dalam negeri,” ujarnya. Ia menekankan bahwa 98 persen dari anak-anak terlantar yang ditampung di lembaga-lembaga kesejahteraan memiliki cacat parah.
Menurut Huang, meski ada peningkatan adopsi dalam negeri untuk anak-anak dengan disabilitas ringan, banyak keluarga yang enggan untuk mengadopsi mereka yang cacat parah karena tingkat perawatannya lebih tinggi, selain tentu saja preferensi pribadi.
Konvensi Den Haag mengakui adopsi antarnegara merupakan sarana yang menawarkan manfaat berupa rumah permanen bagi seorang anak ketika keluarga yang cocok belum ditemukan di negara asal anak tersebut.
Sementara itu, Yun Sun dari Stimson Center menunjukkan bahwa adopsi internasional secara historis telah mendorong aktivitas kriminal seperti perdagangan manusia.
Kekhawatiran tentang perdagangan anak di China menarik perhatian dunia pada 2006 ketika The Washington Post melaporkan adanya jaringan perdagangan manusia di Hunan; anak-anak dibeli seharga US$400 hingga US$538 dari Provinsi Guangdong dan dijual ke berbagai panti asuhan di Hunan.
Namun, Huang dari Dewan Hubungan Internasional mencatat bahwa perdagangan manusia yang terkait dengan penculikan sudah jauh berkurang.
“Sebagian besar anak yang diperdagangkan itu dijual oleh orang tua mereka, dan mayoritas dibeli oleh keluarga, bukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan,” tambahnya.
Editorial oleh Global Times yang membahas perubahan kebijakan ini juga menekankan komitmen pemerintah China terhadap perlindungan anak.
“Penyesuaian kebijakan apa pun terkait hak anak dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak-anak… dan akan membantu melindungi hak hukum anak-anak yatim piatu di bawah keadaan baru,” tulis editorial tersebut.
Artikel itu juga menyebutkan bahwa seiring meningkatnya standar hidup dan sistem jaminan sosial, kian banyak warga China yang bersedia mengadopsi anak dari negeri sendiri, maka logis bagi pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan adopsi lintas negara.
Namun, berdasarkan statistik yang dirilis oleh Kementerian Urusan Sipil China, ada tren penurunan registrasi adopsi domestik. Jumlahnya mencapai 15.143 pada 2018, hanya 34 persen dari yang tercatat pada 2009, yakni 44.260.
Wang Jinhua, direktur departemen urusan Sosial di kementerian tersebut, mengaitkan penurunan tersebut dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi serta penyesuaian kebijakan pembatasan jumlah anak menjadi dua, yang menyebabkan makin berkurangnya kasus penelantaran anak.
Menurut para analis, kebijakan satu anak yang diberlakukan selama puluhan tahun masih menjadi faktor di balik berkurangnya jumlah anak tanpa dukungan di China.
Diberlakukan dari 1980 hingga 2016, kebijakan perencanaan populasi nasional tersebut membatasi sebagian besar keluarga di China untuk memiliki hanya satu anak. Menurut berbagai laporan, banyak bayi perempuan ditelantarkan selama periode itu karena orang tua lebih mengutamakan anak laki-laki.
Hasilnya adalah ketidakseimbangan gender. Pada tahun 2022, menurut data resmi, populasi laki-laki di China berjumlah 32,3 juta orang lebih banyak daripada perempuan.
Menurut statistik resmi, rasio jenis kelamin di saat kelahiran pada 2022 adalah 111,1. Artinya, ada sekitar 111 bayi laki-laki lahir untuk tiap 100 bayi perempuan, dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 101. Ini lebih baik daripada rasio 118 pada 2013.
“Selama anak laki-laki tetap lebih disukai daripada anak perempuan, anak-anak perempuan yang ditelantarkan akan terus menghadapi masa depan yang tidak pasti,” kata Yun Sun.
“Bagaimana pemerintah China menangani anak-anak perempuan yang ditelantarkan akan terus jadi pertanyaan.”
Sebelum larangan diberlakukan, selama bertahun-tahun China telah secara bertahap memperketat regulasi adopsi internasional.
Pada 2006, kriteria kelayakan bagi orang tua angkat diperketat. Pembatasan tambahan terkait ukuran keluarga dan jeda waktu antaradopsi diperkenalkan pada 2017. Di tahun yang sama, undang-undang baru diberlakukan untuk memperketat pengawasan terhadap agen-agen adopsi.
Huang mencatat bahwa adopsi internasional berdampak kecil terhadap adopsi domestik di China.
Pada puncaknya, sekitar 51.000 anak di China diadopsi tiap tahun, dengan hanya 25 persen di antaranya merupakan adopsi internasional. Pada 2020, angka ini menurun drastis menjadi kurang dari 0,6 persen, menurut data Kementerian Urusan Sipil.
Menurut Huang, penyesuaian kebijakan terbaru ini juga menimbulkan kekhawatiran serius terkait nasib anak-anak yatim piatu di China.
“Meski populasi anak yatim piatu besar, tidak ada upaya-upaya baru yang diperkenalkan untuk mendorong adopsi domestik, terutama bagi anak-anak yatim piatu dengan disabilitas,” jelasnya.
Menurut data resmi, terdapat 534.000 anak tanpa dukungan di China pada kuartal ketiga 2023, termasuk 146.000 anak yatim piatu. Angka ini menunjukkan peningkatan selama beberapa tahun – 254.000 pada 2020, dan naik menjadi 365.000 pada 2022.
Provinsi Guangdong, Hunan, dan Henan mencatat jumlah anak tanpa dukungan tertinggi. Di Guangdong, tercatat ada 29.000 anak, sementara di dua provinsi lainnya masing-masing tercatat 28.000 anak pada akhir 2022.
Bagi Chenna Leinders, berita tentang perubahan aturan ini hadirkan perasaan campur aduk.
“Di satu sisi, saya mendukung adopsi domestik dan merasa bahwa anak-anak perlu tetap berada sedekat mungkin dengan asal-muasalnya. Terutama di China, di mana mayoritas anak-anak di panti asuhan bukan yatim piatu,” katanya.
“Namun, di sisi lain, saya akan menjadi bagian dari generasi terakhir yang diadopsi (ke luar negeri), dan saya tidak bisa tidak merasa takut bahwa kami mungkin akan dilupakan oleh China.”
Pada tahun 2009, Leinders kembali ke panti asuhan di Hubei untuk bertemu para pengasuhnya.
Kini, lima belas tahun kemudian – lebih dewasa dan bijaksana – ia berencana untuk kembali ke China demi menelusuri asal-muasalnya lebih jauh.
“Mudah-mudahan (saya akan) menemukan jawaban tentang masa lalu saya.”