Kamu pengguna transportasi umum? Apakah titik-titik pemberhentian transportasi umum di sekitarmu memiliki papan informasi yang menampilkan rute moda transportasi yang jelas? Atau papan informasi itu kalah dengan iklan-iklan di sepanjang lorong halte, terminal, dan stasiun?
Pertanyaan terakhir berkaitan dengan topik yang sedang ramai dibicarakan di media sosial. Halte bus rapid transit (BRT) TransJakarta Gelora Bung Karno (GBK) tampak berbeda dengan display materi promosi film ‘Deadpool and Wolverine’. Selain mengundang reaksi antusias para penggemar film tersebut, foto halte bertema Deadpool itu juga menuai komentar dari warganet. Pasalnya, iklan Deadpool di halte disebut menutupi papan informasi transportasi umum.
Di sisi lain, ada orang yang merasa bahwa papan informasi di halte toh tidak terlalu berguna. Ini berangkat dari asumsi bahwa di zaman sekarang, masyarakat tinggal membuka aplikasi peta digital di gawai masing-masing. Atau paling tidak, tinggal bertanya ke petugas di tempat pemberhentian jika kebingungan.
Komentar saling berbalas. Banyak yang menanggapi respon tersebut dengan menunjukkan bukti bahwa media informasi visual masih membantu bagi pengguna transportasi umum. Apa lagi bagi orang disabilitas, lansia, dan masyarakat yang tidak punya akses ke ponsel maupun koneksi internet. Papan informasi di titik pemberhentian pun disebut sebagai upaya membangun transportasi umum yang inklusif.
Baca Juga: Minimnya Transportasi Publik Perkotaan, Perspektif Gender Cuma Jadi Impian
Bahkan di wilayah metropolitan seperti Jakarta, kendati akses terhadap transportasi umum cenderung baik dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, fasilitas penunjang yang tersedia seakan tak pernah cukup. Ada lift di beberapa jembatan penyeberangan orang (JPO), tapi rusak. Ada papan informasi rute moda transportasi umum, tapi tidak terawat atau mesti mengalah dengan materi iklan.
Pun ketika ada papan informasi, kerap kali belum diperbarui sehingga membingungkan penumpang saat mencari tahu titik tersebut dilalui oleh transportasi di rute mana saja. Belum lagi jika membahas kondisi daerah-daerah lain di Indonesia yang minim akses transportasi publik yang layak.
Rabu (24/7/2024), aku sengaja turun di halte GBK yang jadi bahan perbincangan di media sosial. Iklan promosi film ‘Deadpool and Wolverine’ masih menjadi pemandangan di halte tersebut, meski kelihatannya kurang terurus. Saat itu pukul 3 sore; tidak banyak orang yang berdiam di halte itu. Hanya ada laki-laki yang berjongkok di dekat halte dan seorang perempuan berkerudung yang sesekali melirik papan informasi lusuh di sana, sebelum beranjak begitu ojek daring pesanannya tiba.
Materi promosi Deadpool memang tidak sepenuhnya menghilangkan media informasi visual di halte GBK 1. Halte ini diperuntukkan bagi bus TransJakarta non-BRT (bus raya terpadu/bus rapid transit). Masih ada papan yang menunjukkan bus nomor berapa saja yang melewati halte itu, dan rute mana yang mereka lalui. Namun hanya itu. Ditambah lagi, papan informasi tersebut kotor dan berdebu. Juga tidak ada petugas yang berjaga di sana untuk dapat ditanyai seputar rute dan tujuan trayek di jalur tersebut.
Aksesibilitas dan Inklusivitas
Nafa (25) adalah salah satu penumpang yang masih rajin mengecek papan informasi di halte atau bus stop. “Sering, soalnya di HP nggak enak kalau lihat info rute atau yang lain itu. Kecik-kecik banget dan harus bolak-balik HP, dongak, celingak-celinguk,” akunya pada Selasa (23/7/2024).
Papan informasi terkini sebetulnya dibutuhkan di titik-titik pemberhentian kendaraan umum. Sebab, tidak semua orang memiliki smartphone dan kuota internet. Peta daring seperti Google Maps juga kerap tidak akurat atau memberikan informasi keliru. Juga, tidak semua halte dan bus stop dilengkapi dengan petugas.
Panduan desain pemberhentian bus aksesibel yang diluncurkan Transport for London menyebut hal serupa. Menurut panduan tersebut, saat meninjau desain pemberhentian bus dan lingkungan di sekitarnya, desainer harus mempertimbangkan berbagai persoalan terkait aksesibilitas pemberhentian tersebut. Bus stops atau pemberhentian bus harus memiliki sejumlah fitur di lingkungannya. Termasuk informasi yang mencakup tabel waktu dan peta rute trayek.
Hal itu diamini Lili (27), yang rutin menggunakan kendaraan umum dari tempat tinggalnya di Bogor menuju kantor di Jakarta. Ia merasa keberadaan media informasi visual di tempat pemberhentian itu penting. Menurutnya, itu adalah standar minimum yang harus terpenuhi pada setiap titik pemberhentian atau transit, seperti halte, bus stop, dan stasiun.
Baca Juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita
“Itu tandanya bus, kereta, kendaraan gitu itu sudah aksesibel dan inklusif, kan?” tegas Lili kepada Konde.co, Rabu (24/7/2024). “Di Jakarta, kayaknya semua digampangin. Orang-orang dituntut hanya pakai internet dan akses digital, padahal belum tentu semua punya akses.”
Papan informasi juga membantu penumpang seperti Kasih (62), yang sudah lanjut usia. Ia tidak familier dengan penggunaan teknologi, seperti peta digital, dan lebih mudah membaca papan informasi dengan tampilan huruf dan gambar yang lebih besar. Maka ia mengandalkan peta rute kendaraan umum di halte.
Selain itu, media informasi visual lebih mudah diakses bagi disabilitas seperti teman tuli. Membaca informasi yang tersedia di fasilitas umum lebih membantu dibanding bertanya ke petugas atau orang sekitar. Terutama mengingat banyak orang tidak paham bahasa isyarat Indonesia (Bisindo).
Baca Juga: Takut dan Tak Bisa Teriak: Pengalaman Pelecehan di Transportasi Umum
Sedangkan Abi (25) merasa terbantu dengan adanya papan informasi sebagai turis. Baginya, tampilan informasi di halte dan stasiun cenderung lebih mudah diakses ketimbang harus mengecek peta online setiap waktu. Terutama ketika ada kendala pada jaringan internet.
“Cuma berharap TransJakarta pertimbangin lagi deal-nya aja sih,” ucap Abi kepada Konde.co, Rabu (24/7/2024), terkait pemasangan iklan promosi yang memenuhi halte bus. “Soalnya kan, ini bukan keputusan ideal yang bakal menguntungkan semua pihak. Apa lagi kita sebagai masyarakat.”
Pentingnya Pemutakhiran dan Perawatan
Di sisi lain, papan informasi di halte dan pemberhentian kendaraan umum juga perlu pemutakhiran berkala. Sering kali informasi dan peta rute yang ditampilkan sudah tidak berlaku. Alhasil, calon penumpang malah makin kebingungan.
Vera (29) salah satunya. Ia merasa papan informasi yang ada di lokasi transit kendaraan umum kurang membantu. Terutama di titik pemberhentian bus non-BRT. “Percuma, orang info yang ditempel juga nggak update,” keluhnya. “Lebih update di Google Maps, malah.”
Tak bisa dipungkiri, informasi yang tidak diperbarui di halte atau pemberhentian sering menyulitkan penumpang. Di pinggir halte atau pada tanda bus stop, biasanya tertera nomor kode bus dan mikrotrans yang melewati jalur itu. Namun, sering kali bus yang dimaksud sudah tidak melalui titik itu, atau justru ada bus dengan rute lain yang berhenti di titik tersebut tapi tidak tercantum di papan informasi. Akhirnya, tetap harus mengecek peta digital.
Baca Juga: Transportasi Umum yang Aman untuk Perempuan: Tanggung Jawab Siapa?
Hal ini juga dialami Dika (31). Ia pernah beberapa kali mengira bus trayek 4C dan 6D masih melewati bus stop Bendungan Hilir 1. Padahal, sekarang hanya bus 9D yang berhenti di sana. “Udah kecele dua kali, sekali lagi dapat piring cantik kayaknya,” kelakarnya.
Di halte bus BRT, Jia (30) melihat keberadaan peta informasi memang membantu baginya. Namun, ia justru sering terkendala akibat papan-papan di atas gerbang atau gate setiap koridor. “Belum lagi kalau trayek yang armadanya dikit, kadang suka nggak ada keterangannya di papan yang atas itu. Jadi aku nggak bisa dengan mudah translate yang dari peta menyeluruh ke gate sebenarnya,” tutur Jia kepada Konde.co.
Papan informasi seharusnya selalu tersedia dan tidak bergantung pada teknologi. Sehingga akses informasi tidak terpengaruh oleh gangguan teknis seperti error pada aplikasi, ponsel yang rusak atau tanpa daya, dan koneksi internet yang lemah. Juga ramah bagi masyarakat yang tidak dapat mengakses teknologi digital dan internet.
Namun, jika pemerintah serius menata wilayah dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, keberadaan papan informasi dan fitur-fitur fasilitas umum lainnya juga harus mendapatkan perawatan dan pemutakhiran berkala. Jangan sampai fitur fasilitas umum sekadar jadi pajangan belaka. Inklusivitas dalam mengakses fasilitas umum harus direalisasikan secara serius, jika betul bahwa fasilitas umum adalah milik bersama.
Foto: Salsabila Putri Pertiwi/Konde.co