Lapor Polisi, Korban Justru dapat Kekerasan Kembali, Bagaimana Jerat Hukumnya?

lapor-polisi,-korban-justru-dapat-kekerasan-kembali,-bagaimana-jerat-hukumnya?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan  LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender,  Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya:

Halo, perkenalkan saya Gratia. Selama ini, penanganan kasus kekerasan seksual sangat lama sehingga membuat korban berpikir ulang untuk melaporkan kasusnya. Belakangan ini, viral kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota polisi saat korban, seorang anak, melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Ini sangat mengecewakan sekali. Apakah petugas kepolisian tersebut bisa mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya? Bagaimana tindakan pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat? Dan apa upaya korban agar tidak terjadi hal serupa?

Jawab:

Halo, Gratia. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Kami turut prihatin atas kekerasan seksual yang terjadi pada Anak Korban. Dari pertanyaan Anda, kami juga turut merasakan kekecewaan atas kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota polisi saat korban melaporkan kekerasan seksual. Kejadian ini seperti dejavu. Kami mengajak Anda mengingat kembali kasus korban kekerasan seksual yang diperkosa oleh petugas rumah aman yang viral tahun 2020 lalu.

Jika dicari persamaan kedua kasus tersebut, kesamaannya adalah korban kekerasan seksual sama-sama mengalami reviktimisasi oleh petugas dari lembaga yang berfungsi memberikan pelindungan bagi korban. Kedua, petugas kepolisian dan petugas rumah aman sama-sama menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan dengan memanfaatkan kerentanan yang dimiliki korban.

Baca juga: Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Yang Berupaya Membela Diri Dikriminalisasi?

Kerentanan apa yang dimanfaatkan oleh pelaku? Latar belakang anak korban masih duduk dibangku SMP. Anak korban tinggal di panti dan selama dua tahun terakhir (2022-2024) menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan pemilik panti. Akhirnya, korban punya kesempatan melarikan diri dari panti dan ditemani oleh temannya melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya ke kepolisian. Namun, anak korban tidak mendapatkan hak penanganan kasus berupa layanan bantuan, ia justru kembali mengalami kekerasan. Kali ini, anak korban mengalami kekerasan seksual fisik dari petugas kepolisian.

Dilihat dari latar belakang tersebut, situasi anak sendiri tanpa terjadi kekerasan sudah dalam posisi rentan, apalagi ketika terjadi kekerasan seksual. Selanjutnya, anak korban tinggal di panti, ini menunjukkan bahwa tidak ada dukungan sistem yang berasal dari keluarga. Anak korban masih sekolah sehingga mengandalkan dukungan penghidupan terbatas dari panti. Ini menimbulkan ketergantungan dan relasi kuasa yang dimanfaatkan oleh pemilik panti (pelaku 1).

Selanjutnya, anak korban yang datang ke kantor polisi bersama temannya ingin melaporkan kekerasan seksual yang terjadi. Kedatangan anak korban tanpa didampingi orang tua/wali/pendamping kasus sudah menunjukkan kerentanannya sendiri. Kondisi ini dimanfaatkan oleh petugas kepolisian (pelaku 2) sehingga terjadi kekerasan seksual berulang. Jika dicari persamaan kedua pelaku tersebut, pemilik panti dan petugas kepolisian sama-sama menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan dengan memanfaatkan kerentanan korban. Ingat, dampak kekerasan seksual makin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik. Atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak dan penyandang disabilitas. Lalu, apa jerat pidana bagi kedua pelaku atas kekerasan seksual yang dilakukan?

Baca juga: Apa yang Harus Kamu Lakukan Jika Kamu Jadi Saksi Kasus Kekerasan Seksual?

“Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.0OO.0OO,00 (tiga ratus juta rupiah)” (Pasal 6 huruf c UU TPKS).

Kedua Pelaku dijerat pidana sebagaimana ketentuan Pasal 6 huruf c UU TPKS. Selain itu, dijatuhi perberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 ditambah 1/3 (satu per tiga), jika: dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga (Pasal 15 huruf c UU TPKS). Dalam penjelasan pasal tersebut, penjagaan dilakukan antara lain pada satuan pendidikan, lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah, lembaga internasional yang berkedudukan di Indonesia, rumah, rumah sakit, panti sosial, atau balai/loka rehabilitasi sosial.

Kedua pelaku merupakan bagian dari petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga. Pemilik panti berasal dari lembaga nonpemerintah dan petugas kepolisian merupakan bagian dari lembaga pemerintah. Namun, mengingat anak korban masih di bawah umur, maka penanganan kasus kekerasan seksual menggunakan UU Nomor 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Kualifikasi Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Adanya kasus kekerasan yang terjadi pada anak korban tentu mengejutkan. Kejadian ini berpotensi menimbulkan dampak terjadinya keengganan melapor bagi korban kekerasan seksual karena takut terjadi kekerasan berulang. Lalu, bagaimana upaya pemerintah dalam hal ini Polri untuk mengembalikan kepercayaan korban kekerasan agar tetap melaporkan kekerasan yang terjadi?

Pertama, Polri perlu melakukan pengawasan terhadap kualifikasi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual sejak menerima laporan. UU TPKS menyebutkan aparat penegak hukum yaitu penyidik, penuntut umum dan hakim yang menangani perkara tindak pidana kekerasan seksual harus memenuhi sejumlah persyaratan. Seperti memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan korban. Selain itu sudah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual, seperti bunyi pasal 21 ayat 1 UU TPKS.

Penetapan kualifikasi tersebut bertujuan agar aparat penegak hukum menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi Korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Baca juga: Kalau Kamu Jadi Korban Kekerasan Seksual, Pilih Lapor Satgas TPKS atau Polisi?

Selain itu, penetapan kualifikasi diharapkan juga meningkatkan komitmen Polri dalam penanganan kasus kekerasan seksual sebagai bukti keberpihakan pada korban. Ini lantaran dampak kekerasan seksual sangat memengaruhi hidup korban. Pertimbangan lain adalah hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.

Untuk mencegah terjadinya kejadian serupa, dari sisi korban perlu ada pendamping kasus berperspektif korban dan memiliki sensitivitas gender. Jadi pendamping bisa membantu korban selama proses pelaporan kasus, penanganan dan pemulihan sehingga tidak ada yang memanfaatkan celah kerentanan korban. Ingat, kekerasan seksual makin marak terjadi di masyarakat yang menimbulkan dampak luar biasa kepada korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak kekerasan seksual juga sangat memengaruhi hidup korban.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) melalui bit.ly/FormAduanKAKG atau email: konsultasi@advokatgender.org.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Lapor Polisi, Korban Justru dapat Kekerasan Kembali, Bagaimana Jerat Hukumnya?

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us