“Kak Roehana,”
“Kak Roehana, ajarilah kami membaca,” seruan seseorang dengan dialek Minang pada Roehana Koeddoes.
Nama Roehana Koeddoes tak pernah lepas dari sejarah penulisan atau sejarah pers perempuan di Indonesia. Namun karena tak banyak disebutkan dalam literatur-literatur sejarah pers di Indonesia yang umumnya adalah laki-laki, nama Roehana tenggelam dalam hiruk-pikuk tokoh-tokoh pers lainnya.
Dari monolog Roehana Koeddoes ini, kita akan tahu bahwa perjalanan perempuan untuk setara sudah diupayakan dari zaman dahulu. Banyak di berbagai belahan dunia perempuan adalah makhluk rendah, kedudukannya dilarang setara dengan laki-laki. Hal ini dialami Roehana.
Baca Juga: Roehana Koeddoes, Pahlawan Yang Tak Banyak Disebut Dalam Literatur Pers
Sulitnya mengakses pendidikan untuk perempuan di zaman dahulu sebagai salah satu bentuk dilarangnya konsep kesetaraan. Jika tidak asing, Kartini adalah salah satu perempuan Indonesia yang cinta akan ilmu pengetahuan dan mewujudkan hal itu.
Akan tetapi, kamu juga perlu tahu bahwa terdapat perempuan hebat lainnya yang sangat gencar untuk mencerdaskan sesama perempuan, yaitu Roehana Koeddoes. Cerita perempuan asal Koto Gadang ini tertuang dalam pertunjukan teater “Soeran Kemadjoean” yang diselenggarakan oleh Titimangsa Foundation dan Kawan-kawan media, disutradarai oleh Tya Setiawati dan M. Reza Fahriyansyah dan disiarkan di Indonesiana TV.
Semangat Juang Roehana dalam Berbagi Ilmu
Roehana merupakan salah satu peletak pers berperspektif perempuan yang memperjuangkan kesetaraan dalam berbagai tulisannya di awal tahun 1900 lalu, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Koran yang dipimpinnya, “Soenting Melajoe” terbit pada 10 Juli 1912 setelah Koran Poetri Hindia. Poetri Hindia merupakan koran pertama yang diperuntukkan perempuan di Indonesia yang terbit pada 1 Juli 1908. Koran ini dibuat oleh perintis pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo.
Soenting Melajoe terbit di Padang pada 10 Juli 1912 dan didirikan oleh Roehana dan Ratna Djoeita. Lia Anggia Nasution, yang melakukan penelitian Studi Analisis Wacana Kritis Perspektif Feminis dalam Konten Koran ‘Perempoean Bergerak’ di Sumut dan ditulis di Jurnal Simbolika, 1 April 2019 menulis, bahwa media massa di masa itu, termasuk Soenting Melajoe menjadi wadah bagi perempuan untuk menyebarluaskan gagasan kesetaraan gender, menggugat sistem sosial yang berlaku di mana laki-laki telah menguasai dan menghambat kemajuan kaum perempuan.
Lia Anggia juga menulis bahwa kemajuan tidak akan diperoleh apabila perempuan ditinggalkan. Tulisan-tulisan seperti ini yang menjadi ciri khas perjuangan perempuan di media kala itu.
Dalam pertunjukan teater di Seroean Kemadjoean Indonesiana TV, Roehana berkilas balik pada masa kanak-kanak. Ketika masa-masa anak kecil ingin tahu segala hal dan bertanya semua hal. Ia bertanya-tanya, mengapa ia tidak bersekolah seperti halnya anak-anak laki-laki lainnya. Bangun di pagi hari, mandi, menyantap sarapan, lalu pergi bersekolah dan menyerap ilmu.
Baca Juga: Feminisme Berkontribusi Bongkar Sistem Patriarki Dalam Islam
Roehana merasakan hal yang janggal. Mengapa ia tidak bersekolah? Ayahnya mengatakan, sekolah tersebut hanya untuk laki-laki, namun sekolah yang terdapat murid perempuan juga ada, tetapi jauh sekali jaraknya. Mendengar hal itu, Roehana semakin sedih. Mengapa ia tidak berhak mendapatkan ilmu pendidikan juga?
Meski begitu, penasaran terhadap ilmu pengetahuan tidak sirna dalam benak Roehana. Ia mendapatkan pengajaran gratis dari kerabat ayahnya yang seorang pejabat orang Belanda. Ia diajarkan membaca dan belajar bahasa Belanda dan Eropa oleh istri dari pejabat tersebut. Membaca membuat wawasannya bertambah dan haus akan ilmu pengetahuan.
Semenjak Roehana bisa membaca, ia sering mendongengkan adik-adiknya kala beranjak tidur. Keterampilan dalam membaca ini rupanya masih dianggap tabu oleh masyarakat sekitar. Mereka mengolok-olok bahwa perempuan yang memiliki kemampuan membaca tidak akan ada artinya. Sama halnya dengan kiasan perempuan yang memiliki pendidikan tinggi, ujung-ujungnya akan ada di dapur.
Roehana menanggapi hal itu sebagai bentuk pujian. Sebab, ia tahu, tidak semua perempuan dapat membaca seperti dirinya. Itu adalah privilege dan Roehana bangga akan hal itu. Akan tetapi, Roehana tidak pelit soal ilmu pengetahuan, ia sangat bersenang hati ketika teman perempuannya meminta untuk diajarkan membaca. Lambat laun, semakin banyak teman-teman Roehana lainnya yang meminta hal serupa, diajarkan membaca.
Sayangnya, lagi-lagi Roehana mendapatkan celaan dari berbagai kalangan. Dalam pikiran mereka, Roehana memberikan pengajaran untuk memiliki sifat yang membangkang atas tugas-tugas “mutlak” wanita, seperti menolak memasak atau tidak ingin mengasuh adik-adik. Padahal, tugas perempuan tidak hanya berpusat pada rumah saja. Roehana menginginkan perempuan juga memiliki pekerjaan yang setara layaknya laki-laki, seperti guru, akuntan, atau saudagar kaya.
“Adat memang mungkin melindungi perempuan, tapi sekaligus membatasi.”
Baca Juga: 5 Perempuan Yang Jarang Disebut Namanya di Hari Pendidikan Nasional
Akhirnya pada 1911, Roehana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang. Sebab, teras rumahnya sudah tidak mampu menampung murid-murid Roehana yang kian bertambah. Tidak hanya belajar menulis dan membaca, pun menenun, menyulam, atau membuat kerajinan tangan lainnya. Namun, hal positif apapun yang Roehana lakukan, jika seseorang tidak menyukainya, liang semutpun pasti digali. Orang-orang yang tidak menyukai perbuatan baik Roehana, mereka mencari-cari celahnya. Seperti tersebarnya fitnah Roehana mengambil keuntungan pribadi dari sekolah Kerajinan Amai Setia itu.
Pedih sekali hati Roehana, ketika orang-orang menyebarkan fitnah tersebut. Bagaimana bisa, ia benar-benar tulus mengajari, tetapi masih saja banyak yang mencela.
“Ini tidak dipandang sebagai perbuatan yang baik di kampung ini.”
Baca Juga: Sekolah Buruh Perempuan, Berjuang Merebut Pengetahuan
Orang lain pikir, dengan belajar menulis dan membaca bersama Roehana adalah sebagai jalan pintas untuk surat-suratan dengan lelaki Eropa. Segala niat baik wartawan pertama di Indonesia ini tetap dibalas sebelah mata.
“Mereka takut dengan segala kepandaian yang dimiliki anak-anak perempuan.”
Roehana percaya bahwa perempuan dapat menggerakkan diri mereka sendiri dan bisa berdiri sendiri. Perempuan memiliki kekuatan yang dapat membuat orang-orang takut kepadanya.
Kecintaan Roehana terhadap dunia tulis-menulis ia tumpahkan kepada surat kabar Poetri Hindia. Sembari mengajar di sekolahnya, is rajin mengirimkan tulisan-tulisan terhadap surat kabar tersebut. Akan tetapi, surat kabar Poetri Hindia dibredel oleh pemerintahan Hindia-Belanda, atau Indonesia saat ini.
Kemudian, Roehana berinisiatif untuk membuka surat kabar perempuan pertama di Indonesia, yaitu Soenting Melajoe. Dibangunnya Soenting Melajoe bertujuan untuk mengupayakan hak dasar perempuan Indonesia, dengan memberikan pendidikan untuk mereka. Hal ini didasari karena perempuan sulit mendapatkan akses pendidikan formal dan hanya sedikit dari mereka yang dapat berbahasa Belanda dan minimnya pendidikan modern dalam bahasa Melayu pada saat itu.
Surat kabar tersebut banyak membahas isu-isu sosial, seperti kehidupan perempuan dalam kaca mata tradisional, poligami, perceraian, dan pendidikan anak perempuan. Para kontributornya pun dominan diisi oleh perempuan-perempuan dan banyaknya dari istri-istri pejabat atau kalangan bangsawan. Surat kabar itu benar-benar mengubah cara pandang terhadap perempuan dan memiliki manfaat yang cukup berdampak.
Baca Juga: Kebangkitan Perempuan
Tidak hanya menulis saja, Soenting Melajoe juga mengadakan forum-forum untuk membahas isu-isu di sekitar mereka secara terbuka. Penikmat bacaan dari Soenting Melajoe tersebar ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Medan, Bengkulu, dan Bandung.
Pada 1921, Roehana meninggalkan sekolah Kerajinan Amai Setia, Soenting Melajoe, dan tentunya Koto Padang, tempat ia dibesarkan. Di akhir perpisahannya, ia menyerukan,
“Walau tanpa aku berada di kampung ini lagi, suara kemajuan akan terus diserukan!”
(sumber foto: melayuonline.com / OPAC Perpusnas)