Kasus kekerasan seksual dengan pelaku mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Melki Sedek masih bergulir. Hasil pemeriksaan satuan tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UI menyimpulkan Melki terbukti bersalah melakukan kekerasan seksual. Temuan Satgas PPKS ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Keputusan Rektor UI yang menetapkan sanksi administratif bagi pelaku pada Januari 2024.
Sudah enam bulan sejak sanksi administratif diberlakukan, tapi Melki masih mencari panggung dan bicara tentang HAM di sejumlah forum. Ia bahkan mengelak dari kewajibannya sebagai pelaku. Sikap Melki yang terus berkoar di berbagai platform dan menjadi narasumber di sejumlah forum sangat disayangkan dan dikecam tim pendamping korban.
“Ini tentunya ironis. Mengingat hingga saat ini Melki terus-menerus bersuara mengenai HAM di saat dirinya merupakan seorang pelaku kekerasan seksual yang jelas merenggut hak asasi orang lain,” papar tim pendamping kepada Konde.co, Rabu (24/7/24).
Tim pendamping menambahkan Melki bahkan tidak punya itikad baik untuk taat terhadap sanksi yang sudah dijatuhkan pada dirinya. Ia justru memilih bersikap seolah-olah tidak bersalah.
“Dengan demikian, ilmu dan pengalaman aktivismenya rupanya nihil saat dirinya sendiri dihadapkan dengan situasi ini,” kata tim pendamping.
Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual
Kasus ini bermula dari laporan korban kepada satgas PPKS UI pada 14 Desember 2023. Korban melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya dengan terduga pelaku Ketua BEM UI. Satgas PPKS UI menindaklanjuti laporan dengan melakukan investigasi. Sementara BEM UI menonaktifkan Melki dari jabatannya sesuai aturan internal organisasi per 18 Desember 2023.
Dari hasil pemeriksaan, alat bukti dan keterangan para pihak, satgas PPKS UI berkesimpulan pelaku terbukti melakukan kekerasan seksual dalam sejumlah bentuk. Yakni menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban. Pelaku juga terbukti mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual.
Hasil pemeriksaan satgas PPKS UI ini termuat dalam Kuputusan Rektor UI Nomor 49/SK/R/UI/2024 tentang penetapan sanksi administratif terhadap pelaku kekerasan seksual atas nama Melki Sedek. Satgas PPKS UI kemudian mengeluarkan rekomendasi sanksi administratif. Rekomendasi ini ditetapkan dengan Keputusan Rektor UI.
Baca juga: Kekerasan Seksual di Universitas Mulawarman: Ada 11 Macam Kekerasan, Terduga Pelaku Melenggang Bebas
Atas perbuatannya tersebut, Melki mendapat sanksi skorsing akademik selama satu semester. Selama masa skorsing pelaku dilarang, pertama, menghubungi, melakukan pendekatan, berada dalam lokasi berdekatan, dan/atau mendatangi korban. Kedua, aktif secara formd maupun informal dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan pada tingkat program studi, fakultas, dan universitas. Ketiga, berada di lingkungan kampus Universitas Indonesia.
Selama masa skorsing, pelaku juga wajib mengikuti konseling psikologis. Jadi pelaku hanya boleh berada di lingkungan kampus UI pada saat harus menghadiri sesi-sesi konseling/edukasi tentang kekerasan seksual. Sesi tersebut dilaksanakan secara khusus dengan tatap muka langsung di kampus. Laporan hasil konseling akan dipakai Rektor UI untuk terbitkan surat keterangan kalau pelaku sudah menjalankan sanksi yang dikenakan.
Pelaku juga wajib menandatangani surat pernyataan bermeterai yang menyatakan telah melakukan kekerasan seksual, menerima sanksi yang diberikan, dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut pada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Keputusan Dirjen Dikti Perkuat SK Rektor UI
Melki mengajukan banding atas Keputusan Rektor UI ke Kemendikbudristek lantaran ia merasa tidak terima dirinya dinyatakan terbukti melakukan kekerasan seksual. Surat permohonan pemeriksaan ulang atas kasusnya diajukan pada 31 Januari 2024. Sementara tim pendamping korban menilai Melki juga berupaya membangun opini publik bahwa kasus tersebut terkait dengan sikap kritisnya terhadap pemerintah.
“Tindakan ini diiringi dengan berbagai upaya dari Melki untuk memanipulasi fakta dan membuat seolah-olah sanksi terhadap dirinya merupakan ‘permainan rezim’. Ini mengingat dirinya kerap mengkritik pemerintah,” ungkap tim pendamping.
Kronologi proses pemeriksaan ulang dijelaskan dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Dikti) Nomor 79/E/KPT/2024. Dirjen Dikti menanggapi surat pengaduan yang diajukan Melki dengan membentuk tim pemeriksaan ulang. Pembentukan tim didasarkan Keputusan Dirjen Dikti Nomor 2/E/KPT/2024.
Tim pemeriksaan ulang kemudian memeriksa dokumen hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Universitas Indonesia. Selain itu tim juga melakukan pemeriksaan ulang terhadap Satgas PPKS UI, terlapor, saksi-saksi, dan korban. Dari serangkaian pemeriksaan ulang tersebut tim pemeriksaan ulang berkesimpulan menguatkan Keputusan Rektor UI Nomor 49/SK/R/UI/2014 tentang Penetapan Sanksi Administratif Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Atas Nama Melki Sedek.
Dengan kata lain Melki terbukti melakukan kekerasan seksual dan sanksi administratif yang ditetapkan Rektor UI harus dijalankan. Keputusan Dirjen Dikti tersebut bersifat final dan mulai
berlaku sejak ditetapkan pada 26 April 2024.
“Dengan ditolaknya banding yang diajukan oleh Melki, maka sudah jelas dan terbukti bahwa Melki telah melakukan kekerasan seksual,” kata tim pendamping korban.
Pengabaian Terhadap Sanksi
Meski Keputusan Rektor UI sudah dikuatkan dengan Keputusan Dirjen Dikti, tetapi sampai sekarang Melki belum menjalankan sanksi-sanksi yang telah ditetapkan. Sebaliknya, ia terus bersuara di berbagai media, memanipulasi opini publik berkaitan dengan kasus yang menimpanya, dan merendahkan martabat korban.
Tim pendamping korban mengungkapkan Melki tidak mematuhi larangan yang diberlakukan selama masa skorsing. Ia terlihat berada di sekitar Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Juli 2024. Diduga keberadaannya berkaitan dengan pertemuan personal mengingat posisi Melki di lingkungan UI sudah di-cancel untuk berbagai acara kampus, forum, dsb.
Selain itu Melki juga tidak menjalankan kewajiban sebagai pelaku selama masa skorsing. Sudah enam bulan berlalu sejak sanksi diberlakukan tetapi Melki belum menjalani konseling. Bahkan setelah keluarnya keputusan Kemendikbudristek tiga bulan yang lalu.
“Melki sebenarnya hanya diperbolehkan ke kampus untuk keperluan konseling. Namun update terakhir yang kami terima memang dia belum menjalani konseling sama sekali. Berarti dapat disimpulkan tidak ada kepentingan lain yang seharusnya memperbolehkan dia ke kampus,” papar tim pendamping.
Melki juga belum menjalankan kewajiban pelaku untuk menandatangani surat pernyataan bermeterai. Surat tersebut berisi pengakuan sudah melakukan kekerasan seksual, kesediaan menerima sanksi dan janji tidak mengulangi perbuatannya.
Baca juga: Dugaan Kekerasan Seksual SM, Pendiri Kelas Isolasi, Korban Diajak Pacaran Hingga Hubungan Seksual
Sebaliknya Melki justru melakukan kampanye kotor dan mencari dukungan. Kampanye kotor tersebut merupakan upaya pelaku membangun opini publik bahwa dirinya tidak bersalah dan memosisikan dirinya sebagai korban. Ia menggunakan popularitasnya dengan mengeluarkan pernyataan seolah-olah kasus tersebut merupakan serangan terhadap dirinya yang kritis terhadap pemerintah. Ini muncul lewat narasi seperti “saya dibungkam oleh rezim” atau “saya dijebak oleh wakil saya”.
Tim pendamping menjelaskan peraturan BEM UI menyebutkan terlapor harus dinonaktifkan untuk memudahkan proses penanganan oleh satgas PPKS. Ini sekaligus merupakan bentuk keberpihakan BEM UI pada korban. Peraturan tersebut juga mencantumkan apabila terlapor adalah ketua BEM, maka untuk sementara tanggung jawab akan diserahkan ke wakilnya. Karena itu saat ada laporan masuk, Wakil Ketua BEM UI segera menonaktifkan Melki.
“Saat itu memang karena masih proses, beliau masih koar-koar kalau siap untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Bahkan saat diundang di satu podcast, ia menyatakan kalau sebenarnya dengan kuasanya sebagai Ketua BEM, dia bisa melakukan apa saja,” katanya.
Tim pendamping sangat menyayangkan perilaku dan sikap buruk pelaku. Terlebih pelaku paham pentingnya keberpihakan pada korban dan relasi kuasa yang ada. Namun saat dia berada dalam situasi tersebut (menjadi pelaku), justru mengambil sikap berkebalikan.
Pelaku juga terus berupaya mencari dukungan. Selain kepada publik, pelaku juga mencari dukungan dari alumni almamaternya dengan pendekatan personal. Kepada mereka, pelaku menyampaikan informasi dan fakta yang diputar balik.
Baca juga: Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Yang Berupaya Membela Diri Dikriminalisasi?
“Saya rasa ini juga faktor dari tidak adanya publikasi mengenai perkembangan kasusnya. Sehingga dia makin leluasa untuk pergi kemana-mana dan menyebarkan berita yang menguntungkan dirinya,” paparnya.
“Karena kemarin korban sudah sangat lelah dan ingin tenang, korban akhirnya menunda publikasi SK (Surat Keputusan) Dikti tersebut. Namun setelah korban mendengar smear campaign tentang Wakil Ketua BEM yang difitnah Melki dan juga dirinya yang dipojokkan bahwa kasusnya bohong, korban makin marah. Ia ingin Melki sadar akan posisinya sekarang bahwa dia saat ini harusnya melaksanakan sanksi dan stop mencari backingan,” urai tim pendamping.
Keputusan Rektor UI yang ditandatangani Ari Kuncoro juga menetapkan satgas PPKS UI untuk mengoordinasikan dan melaksanakan program konseling/edukasi pada pelaku. Satgas juga melakukan pemantauan terhadap pelaku untuk memastikan pelaku tidak melanggar hal-hal yang ditetapkan. SK Rektor UI juga menyebutkan kalau pelaku terbukti melanggar ketentuan, Satgas bisa merekomendasikan sanksi lebih berat hingga pemecatan.
Namun sejak April 2024 satgas PPKS UI mengundurkan diri lantaran rendahnya komitmen dan dukungan pimpinan UI. MInimnya dukungan tersebut tampak dari ketidaksiapan kampus dalam menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung kerja satgas. Diantaranya absennya sarana dan prasarana pendukung serta ketidakpastian anggaran.
Konde.co menghubungi Kepala Humas dan KIP UI, Amelita Lusia untuk menanyakan tidak dijalankannya sanksi administratif terhadap pelaku, pada Kamis (25/7/24). Namun hingga berita ini diturunkan, Humas UI belum menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan.
Desakan Deplatforming Pelaku
Tim pendamping menjelaskan saat ini penyintas sudah mendapatkan haknya terkait layanan psikologi dan pemulihan. Namun mangkirnya pelaku dari kewajiban dan tanggung jawabnya meresahkan penyintas.
“Seharusnya keseluruhan dari sanksi administratif itu wajib dilaksanakan maka barulah MSH boleh melanjutkan studinya seperti biasa. Namun belum ada update terkait laporan konseling maupun surat terbukti melakukan kekerasan seksual yang sudah seharusnya ditandatangani oleh MSH,” kata tim pendamping.
Terkait tindakan pelaku yang terus mencari panggung, tim pendamping mendorong media untuk tidak memberikan ruang kepada Melki. Ini lantaran ruang tersebut bisa digunakan pelaku untuk memanipulasi opini publik.
“Kami mendorong agar media memfokuskan pemberitaannya terhadap fakta yang sudah dibuktikan dengan SK Rektor UI dan Keputusan Kemendikbudristek. Kami juga mendorong agar media menekankan keadilan bagi korban,” tambahnya.
“Jangan berikan pelaku forum dan ruang untuk membentuk citra kebenaran dengan narasi yang menyesatkan,” tegasnya.
Tim pendamping mengungkapkan pihaknya berharap media mempertimbangkan perspektif korban dalam pemberitaan. Korban sudah mengalami dampak psikologis yang luar biasa dan pantas mendapatkan dukungan serta keadilan. Karena itu, tim pendamping berharap media menghindari pemakaian kata-kata, narasi, dan informasi yang dapat menempatkan korban dalam posisi terancam. Termasuk menjaga kerahasiaan informasi terkait identitas korban.
Tim menegaskan antara korban dengan pelaku tidak ada hubungan romantis. Karena itu tim pendamping menyayangkan munculnya dugaan yang mengaitkan kasus ini dengan mantan pacar pelaku.
Tim pendamping juga menuntut Melki untuk segera melaksanakan seluruh kewajiban sanksinya sebagaimana ditetapkan dalam SK Rektor UI. Kalau sampai jangka waktu skorsing berakhir Melki tidak menaati, tim pendamping mendorong Rektor UI kembali menjatuhkan sanksi administratif terhadap Melki.