Tercekam Dua Dahaga Purba

tercekam-dua-dahaga-purba

Oleh Reza A.A Wattimena

Ah, betapa rumitnya menjadi manusia. Ada tubuh yang mesti dipenuhi kebutuhannya. Betapa sulitnya melakukan itu di era politik ekonomi yang kacau balau ini. Ada juga dua dahaga purba yang bercokol di dalam batin.

Jauh di dalam relung-relung batin manusia, ada dahaga purba yang menuntut untuk dipuaskan. Ia menempel erat pada kodrat manusia. Ia berteriak, jika diabaikan. Ia mencekik, jika dianggap tak ada.

Dahaga pertama adalah kerinduan untuk diterima oleh orang lain. Axel Honneth, pemikir Jerman, menyebutnya perjuangan untuk meraih pengakuan (der Kampf um Anerkennung). Orang menyandarkan kebahagiaannya pada pujian sekaligus pengakuan dari orang lain. Hidupnya dibaktikan untuk memuaskan keinginan lingkungannya.

Dahaga kedua adalah kehausan untuk menjadi diri sendiri. Orang ingin mewujudkan dorongan hatinya. Orang ingin menggapai mimpi-mimpi pribadinya. Kierkegaard, pemikir Denmark, menyebut ini sebagai kerinduan untuk menjadi diri sendiri. Jika perlu, ia memberontak melawan lingkungan sosial, supaya panggilan hatinya menjadi nyata.

Sadar atau tidak, hati manusia terobek di antara dua dahaga purba tersebut. Karena buta, orang tunduk begitu saja demi pemuasan dahaganya. Ada yang terus mencari pengakuan orang lain, sampai mengorbankan nyawanya sendiri. Ada yang mengejar mimpinya, sambil merusak lingkungannya, bahkan mengancam nyawa orang lain.

Dahaga Purba Pertama

Dahaga pertama adalah dorongan untuk diterima orang lain. Pola ini dengan mudah di temukan di Indonesia. Tekanan sosial begitu kuat. Orang, kerap kali, buta terhadap suara nurani dan pertimbangan akal sehatnya, karena kuatnya tekanan dari lingkungan sosial.

Inilah yang disebut sebagai budaya kolektif. Kepentingan masyarakat lebih tinggi dari kepentingan pribadi. Pada titik ekstrem, orang pribadi menjadi tak berharga. Makna bahagia dan sukses disamakan dengan keberhasilan seseorang mengikuti tuntutan sosial masyarakatnya.

Buahnya adalah konformisme. Secara buta, orang mengikuti begitu saja kecenderungan masyarakatnya. Pertimbangan akal sehat dan sikap kritis menjadi redup. Orang hidup dalam penjajahan yang tidak dikenalinya sebagai penjajahan. Dalam arti yang lebih sempit, sebagaimana dinyatakan oleh Antonio Gramsci, pemikir Italia, inilah hegemoni.

Dalam keadaan seperti itu, korupsi dengan mudah terjadi. Ini adalah tindakan menggunakan milik publik untuk memperkaya diri, ataupun kelompok kecil tertentu. Yang menolak korupsi cenderung dikucilkan dan disingkirkan. Yang koruptif justru mendapatkan imbalan, sekaligus kenaikan jabatan.

Mengapa korupsi begitu mudah terjadi di dalam masyarakat kolektif, seperti Indonesia? Jawabannya sederhana, karena lemahnya budaya menegur. Kecenderungan sosial yang sudah ada diikuti begitu saja, tanpa tanya. Ketika mencuri menjadi kebiasaan bersama, maka ia sulit sekali untuk dilenyapkan.

Dahaga untuk diterima menciptakan budaya kolektif yang korup. Orang dipaksa untuk patuh pada tuntutan sosial. Tentu saja, orang bisa melawan. Namun, ia bisa dikucilkan, atau bahkan dibunuh, akibat perlawanannya itu.

Inilah yang kiranya terjadi di Indonesia. Di dalam politik dan hidup bermasyarakat, sistem dan budaya sudah membusuk. Tirani politik keluarga merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan diinjak demi nafsu kekuasaan yang penuh kebohongan dari sang penguasa busuk.

Namun, berkat budaya kolektif yang membusuk, tirani terus mendapat dukungan dari orang-orang dungu. Orang tunduk pada penguasa busuk, karena takut dikucilkan. Mereka menjilat koruptor demi mendapatkan secuil rejeki yang tak berarti. Bersamaan dengan itu, akal sehat dan hati nurani mereka tertindas, serta masa depan anak cucu mereka terancam rusak.

Pada tingkat pribadi, orang yang hidupnya diisi dengan beragam upaya untuk diterima lingkungannya akan hidup menderita. Rantai penyakit fisik dan mental akan mencekiknya. Beragam penyakit kronis, mulai dari kanker sampai dengan jantung, lahir dari emosi yang ditekan begitu dalam demi diterima oleh orang lain. Tak heran, “orang-orang baik” ini akan cenderung mati muda.

Gabor Mate menulis soal ini dengan jelas di dalam salah satu bukunya yang berjudul When the Body Says No: The Cost of Hidden Stress. Dari kaca mata sosial, para penjilat ini dianggap sebagai orang saleh. Mereka mengorbankan kepentingan pribadinya demi memuaskan kepentingan lingkungannya. Hasilnya, tubuh dan batin mereka rusak, sehingga mereka harus melepaskan tubuh mereka lebih cepat.

Dahaga Purba Kedua

Dahaga kedua adalah menjadi diri sendiri. Di dalam sanubarinya, orang ingin menjadi asli. Mereka tidak mau tunduk buta pada tuntutan sosial. Mereka ingin keluar dari tekanan sosial yang mencekik dan mengancam kebebasan mereka.

Mereka ingin menjadi autentik. Ada cacat di dalam sikap menjadi diri sendiri. Namun, cacat itu justru menyempurnakan keadaan yang ada. Kebahagiaan tidak didapatkan dari mengikuti tuntutan sosial, tetapi dari mengejar keinginan hati sanubari.

Pola semacam ini punya bahayanya sendiri. Orang menjadi tidak peduli pada lingkungannya. Ia jatuh pada sikap egois ekstrem yang merusak diri dan lingkungan sosialnya. Dengan mudah, pola ini ditemukan di dalam masyarakat Eropa dan Amerika Serikat.

Ketika berusaha menjadi diri sendiri, ancaman pun datang menunggu. Penolakan dari masyarakat amat mungkin terjadi. Karir mungkin terganggu. Dalam beberapa kasus, nyawa bisa terancam, misalnya ketika orang berani mengikuti nuraninya untuk menentang pemerintah busuk dan otoriter.

Secara umum, para pemuas dahaga untuk menjadi diri sendiri ini lebih bisa mengungkapkan isi pikiran maupun perasaannya. Maka, mereka cenderung lebih sehat. Pikiran mereka lebih lapang, dan badan mereka lebih seimbang. Mereka cenderung tidak terlalu memikirkan pendapat orang, dan hidup sesuai dengan arah hati mereka sendiri.

Bebas dari Dahaga

Tanpa kesadaran, dahaga menjadi penjajah. Ia tak terhindarkan. Kita diperbudak olehnya, entah kita sadari, atau tidak. Jalan keluarnya hanya satu, yakni hidup dengan penuh kesadaran.

Ketika dahaga untuk diterima orang lain muncul, kita sadar, dan mengetahuinya. Ketika dahaga untuk menjadi diri sendiri muncul, kita sadar, dan mengetahuinya. Kesadaran menyediakan jeda, sehingga keputusan dan tindakan lahir dari kejernihan, bukan dari sikap buru-buru, apalagi kebiasaan buta. Kesadaran adalah sumber kebebasan.

Ada waktunya, ketika kita perlu mendengarkan lingkungan sosial kita. Kita hidup bersama. Ada aturan dan kebiasaan yang dijalankan bersama. Ada waktunya, semua itu perlu kita hargai, dan ikuti dengan lapang dada.

Ada waktunya, kita perlu menjadi diri sendiri. Kita bersikap kritis dengan akal sehat dan kejernihan nurani terhadap tekanan sosial yang ada. Kita berkata tidak pada tuntutan sosial yang menindas. Kita berani melawan kebodohan yang dibungkus oleh tradisi dan agama yang sudah menua.

Dalam konteks Indonesia, inilah saatnya melawan tirani politik keluarga yang busuk. Inilah saatnya berkata tidak pada pemimpin yang tuli dan korup. Inilah saatnya melawan kebiasaan sosial yang merusak dan membunuh. Pada waktu yang lain, mungkin kebutuhannya berbeda.

Inilah kebijaksanaan. Inilah pencerahan. Inilah kebebasan dari dahaga yang berbuah kebahagiaan. Tunggu apa lagi?

===

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Tercekam Dua Dahaga Purba

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us