Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Kritik yang muncul dan terarah langsung terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan ini memunculkan perdebatan menarik mengenai apakah memang seharusnya Indonesia dipimpin oleh sosok keturunan “ningrat” atau “berdarah biru”. Mengapa demikian?
Di tengah gelombang kritik yang masih belum berhenti di linimasa terhadap ambisi politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan trahnya, muncul diskursus menarik mengenai apakah semestinya harus ada garis keturunan tertentu yang menjadi prasyarat tak tertulis untuk memimpin negara sebesar dan dengan karakteristik seperti Indonesia.
Kembali, hal itu dikaitkan dengan dua konteks besar mengenai gaya kepemimpinan, mengelola sehatnya demokrasi, serta yang terkait dengan ambisi politik berlebihan. Muaranya, tentu integral dan menjadi turunan kebijakan politik dan pemerintahan untuk rakyat.
Narasi dan prinsip egaliter bahwa semua orang dengan latar belakang apapun, termasuk so called “rakyat biasa” berhak menjadi pemimpin maupun penguasa pun kini kembali diuji.
Lalu, pertanyaannya mengapa diskursus itu bisa muncul? Dan sejauh mana relevansi serta signifikansinya bagi kepemimpinan Indonesia di masa mendatang?
Preseden Para Presiden?
Diskursus mengenai latar belakang “ningrat” atau “darah biru” dalam kepemimpinan Indonesia bukanlah hal baru, namun belakangan semakin relevan dalam konteks pemerintahan Presiden Jokowi.
Kritikan terhadap Jokowi dan keluarganya sering kali mencerminkan ketidaknyamanan sebagian kalangan atas ambisi politik yang dianggap melampaui batas dan berpotensi merugikan demokrasi serta rakyat.
Jokowi, yang berasal dari keluarga biasa, dianggap melakukan manuver politik yang kurang etis, terutama dalam upaya mempertahankan atau memperluas kekuasaan.
Manuver politiknya yang dianggap elitis dan cenderung oligarkis membuat sebagian pihak merindukan kepemimpinan yang lebih “murni” dari tokoh-tokoh “darah biru.”
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang layak menjadi pemimpin, dan apakah seorang pemimpin harus berasal dari “darah biru”—sebuah istilah yang merujuk pada keturunan ningrat, bangsawan, atau memiliki asal-usul aristokrat.
Kemunculan Jokowi sebagai presiden membuka narasi baru bahwa siapa pun, termasuk “rakyat biasa,” bisa menjadi pemimpin. Namun, narasi ini berhadapan dengan pandangan lama bahwa hanya mereka yang berasal dari keluarga ningrat yang memiliki kapabilitas untuk memimpin negara.
Diskursus ini muncul tidak terlepas dari sejarah kepemimpinan Indonesia yang didominasi oleh figur-figur dengan latar belakang “darah biru.”
Dalam sejarah Republik Indonesia, hanya ada dua presiden yang tidak berasal dari kalangan ningrat: Soeharto dan Jokowi. Keduanya berhasil meraih kekuasaan dengan dukungan rakyat yang luas, namun dengan pendekatan yang sangat berbeda.
Soeharto dikenal sebagai figur militer yang otoriter namun berhasil membawa stabilitas ekonomi, sementara Jokowi dianggap sebagai “wong cilik” yang berhasil meraih puncak kekuasaan melalui jalur demokrasi.
Pandangan ini, meskipun tampak “kuno”, seolah masih kuat dalam budaya politik Indonesia dalam dimensi tertentu. Sebagai contoh, kepemimpinan Soekarno, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Semuanya dikaitkan dengan latar belakang “darah biru,” baik melalui keturunan kerajaan, agama, maupun trah ksatria atau militer.
Soekarno, berasal dari keluarga priyayi—kelas ningrat dalam struktur sosial Jawa. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru dan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, berasal dari keluarga bangsawan Bali.
Latar belakang itu memberikan Soekarno pengaruh yang kuat dalam politik, dengan karisma dan kemampuan untuk merangkul massa serta membangun jaringan kekuasaan yang luas.
Sementara itu, berbeda dengan Soekarno, Soeharto berasal dari keluarga petani di Jawa Tengah. Kariernya di militer dan kemampuannya untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, termasuk Soekarno, membuatnya berhasil memegang kekuasaan selama lebih dari tiga dekade. Meskipun tidak berlatar belakang ningrat, Soeharto membangun dinasti politik yang kuat melalui koneksi militer dan ekonomi.
Suksesor Soeharto, B.J. Habibie lahir di keluarga aristokrat Gorontalo dengan ayah seorang ahli pertanian dan ibu seorang keturunan bangsawan Bugis. Latar belakang ini memberikan Habibie keunggulan dalam pendidikan dan akses ke elit politik, yang membantunya mencapai posisi tertinggi di negara.
Selanjutnya, Gus Dur adalah keturunan dari keluarga kiai terpandang, cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Latar belakang ini memberikan Gus Dur otoritas moral dan spiritual yang kuat, yang ia gunakan untuk memimpin Indonesia di era transisi pasca-Soeharto.
Presiden ke-5 RI dan sebagai putri dari Soekarno, Megawati mewarisi karisma dan legitimasi politik dari ayahnya. Meskipun ia sering dianggap sebagai pemimpin yang lemah, koneksi “darah biru” nya memungkinkan Megawati untuk bertahan dalam politik Indonesia dan bahkan menjabat sebagai presiden.
Lalu, silsilah ayah SBY, Raden Soekotjo dapat dilacak hingga Pakubuwana serta memiliki hubungan dengan trah Hamengkubuwono II. SBY pun berasal dari keluarga militer dengan latar belakang bangsawan Jawa. Pendidikan militer dan karier yang cemerlang membantunya meraih dukungan dari elit militer dan politik, yang penting dalam memenangkan pemilu.
Hal itu pun eksis dalam diri sosok-sosok keturunan mereka di perimeter dan radar seperti Presiden terpilih Prabowo Subianto, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Puan Maharani, hingga Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Namun, sejauh mana postulat tersebut relevan dalam kepemimpinan Indonesia?
Tak Harus Ningrat?
Diskursus ini menjadi relevan karena mencerminkan dinamika politik Indonesia yang kompleks, di mana persepsi publik terhadap pemimpin sangat dipengaruhi oleh latar belakang mereka.
Pemimpin dari “darah biru” cenderung dianggap lebih sah dan memiliki kualitas kepemimpinan yang lebih baik, meskipun realitas politik dan kapabilitas individu sering kali membuktikan sebaliknya.
Hal tersebut dikarenakan, sosok-sosok berlatar belakang “ningrat” atau “darah biru”, terlebih mereka yang memiliki jejaring oligarki dalam dimensi tertentu dinilai sudah selesai dengan dirinya sendiri dan diharapkan hanya mengabdi untuk negara.
Tentu, hal itu belum termasuk kalkulasi power sharing dengan gerbing aktor-aktor politik lain yang mendukung naiknya sosok tersebut ke tampuk kekuasaan.
Di sisi lain, diskursus ini juga memiliki implikasi penting terhadap demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Jika masyarakat terus memegang pandangan bahwa hanya mereka yang berasal dari keluarga ningrat yang layak memimpin, maka ini dapat menghambat partisipasi politik dari individu-individu berbakat dari latar belakang yang lebih beragam.
Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan egalitarianisme dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara.
Di masa depan, Indonesia akan menghadapi tantangan besar dalam menemukan pemimpin yang tidak hanya kapabel tetapi juga mampu menavigasi dinamika sosial-politik yang semakin kompleks.
Dalam konteks ini, latar belakang “darah biru” mungkin masih memainkan peran penting. Namun, kapabilitas, integritas, dan visi kepemimpinan akan menjadi faktor yang lebih menentukan. Pemimpin Indonesia di masa depan harus mampu merangkul pluralisme dan memimpin dengan inklusivitas, terlepas dari latar belakang sosial-ekonomi mereka.
Diskursus mengenai latar belakang “darah biru” dalam kepemimpinan Indonesia mencerminkan ketegangan antara nilai-nilai tradisional dan modern dalam politik Indonesia.
Meskipun figur-figur dengan latar belakang aristokratik masih mendominasi narasi kepemimpinan, kritik terhadap Jokowi seolah memperkuat kembali memperkuat hal itu.
Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana mengembangkan kepemimpinan yang inklusif dan pluralistik yang mampu menghadapi kompleksitas zaman modern, tanpa terikat oleh warisan “darah biru” atau dinasti politik tertentu. (J61)