‘Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?’ Perempuan Papua Alami Diskriminasi Berlapis di Indonesia

‘kalau-bukan-rasisme,-menyebutnya-apa?’-perempuan-papua-alami-diskriminasi-berlapis-di-indonesia

Bagi Raga Kogeya, tahun 2018 telah meninggalkan luka dalam bagi perempuan di Papua seperti dirinya.

Waktu itu Raga dipukuli hingga sakit parah.

Raga Kogeya adalah aktivis yang selama ini memperjuangkan hak perempuan di Papua. Ia terlibat dalam pemindahan paksa di wilayah Nduga selama operasi militer Indonesia terhadap militan Papua Barat. Akibatnya, Raga ditahan dan dipukuli. Kejadian itu membuat ginjalnya bermasalah karena luka-luka.

“Seorang polisi datang dari belakang dan memukul kepala saya,” kata Raga, seperti dikutip dari laporan Human Rights Watch (HRW). 

“Saya pingsan selama 15 menit. Akibat pukulan itu, terkadang saya tiba-tiba lupa ingatan.”

Kisah Raga Kogeya ditulis dalam laporan terbaru Human Rights Watch (HRW). Laporan tersebut bertajuk ‘If It’s Not Racism, What Is It? (“Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?”: Diskriminasi dan Pelanggaran terhadap Orang Asli Papua di Indonesia)’. 

HRW meluncurkan laporan setebal 80 halaman itu pada Kamis, 19 September 2024. Mereka merekam catatan-catatan kelam diskriminasi dan kekerasan lainnya terhadap orang Papua di Indonesia. Khususnya di era pemerintahan Joko Widodo.

Topik terkait diskriminasi, kekerasan, hingga rasialisme di Papua terus bergulir sepanjang tahun ini. Hal tersebut bukan baru terjadi di tahun 2024. Diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. 

Baca juga: Papua Bukan Tanah Kosong, Tanah bagi Kami adalah Mama

Bukan cuma diskriminasi fisik dan verbal; orang asli Papua juga berhadapan dengan masalah-masalah kekerasan sistemik lain. Seperti perampasan dan pemusnahan lahan oleh perusahaan, penggantian sumber pangan oleh pemerintah, kesenjangan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memperburuk kualitas hidup perempuan dan anak Papua, dan sebagainya.

“Rasialisme dan diskriminasi yang telah dialami orang Papua selama berdekade-dekade baru mulai mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia setelah aksi protes besar-besaran di 2019,” ujar Andreas Harsono, peneliti senior di Human Rights Watch.

“Pemerintah semestinya menindaklanjuti berbagai rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan mengizinkan pemantau internasional dan wartawan asing untuk mengunjungi wilayah tersebut.”

Kekerasan terhadap orang asli Papua tidak hanya terjadi secara fisik. Kekerasan sistemik memutus kesempatan orang asli Papua untuk menduduki tanah kelahirannya sendiri hingga mencari penghidupan lewat lowongan kerja. Misalnya dalam hal kedokteran. Laporan HRW juga memuat pernyataan Dokter Maria Louisa Rumateray, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Wamena. Menurutnya, sejak 2009, para pendatang lebih bisa mendapatkan pekerjaan ketimbang orang asli Papua.

Hambatan yang dialami salah satunya adalah kesulitan warga lokal mengakses sertifikasi standar baik untuk pendidikan tenaga medis. Sertifikasi hanya bisa dilakukan di Jayapura atau Makassar. Sementara itu, tentu ongkos yang dibutuhkan untuk dapat mengunjungi kota-kota itu tidak sedikit.

“Oleh karena itu, pekerjaan tersebut jatuh ke tangan para pendatang,” tutur Maria. 

“Sebelum ada sertifikasi, rumah sakit saya punya lebih banyak tenaga kerja orang asli Papua daripada pendatang. Namun, sekarang justru sebaliknya.”

Diskriminasi Tiada Henti Terhadap Orang Papua

Sekitar bulan Juni 2023 hingga Mei 2024, HRW melakukan 49 wawancara mendalam dengan aktivis Papua yang ditangkap dan dituntut setelah gerakan Papuan Lives Matter. Mereka juga mewawancarai sejumlah pengacara, akademisi, pejabat, dan pemimpin gereja.

Eskalasi diskriminasi dan kekerasan terhadap orang Papua kian terasa di tahun 2019. Pada tanggal 17 Agustus 2019, beberapa tentara Indonesia dan gerombolan ultranasionalis menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya. 

Dalam cuplikan rekaman video yang beredar di media sosial, terdengar berbagai hinaan rasial ditujukan kepada para mahasiswa tersebut. Tindakan rasisme itu pun memicu gerakan yang disebut Papuan Lives Matter. Gerakan tersebut terinspirasi oleh protes Black Lives Matter di Amerika Serikat.

Unjuk rasa pecah di setidaknya 33 kota di Indonesia. Meskipun kebanyakan berlangsung damai, beberapa aksi berujung bentrokan antarwarga. Bahkan, terjadi pembakaran hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa. 

Dalam menghadapi unjuk rasa tersebut, polisi dan militer Indonesia menggunakan kekerasan yang berlebihan. Mereka juga menangkap banyak pengunjuk rasa, terutama mengincar siapa pun yang mengibarkan bendera Bintang Kejora. Bendera tersebut jadi simbol kemerdekaan Papua yang dianggap ilegal di Indonesia.

Papuans Behind Bars, situs web yang memantau penangkapan dengan motivasi politik di Papua Barat, mencatat lebih dari 1.000 penangkapan pada tahun 2019. Sebanyak 418 di antaranya terjadi sekitar Oktober 2020 hingga September 2021. Setidaknya 245 orang dihukum karena berbagai tuduhan kejahatan. Termasuk 109 orang karena dikenai pasal makar. Di Indonesia, pasal-pasal makar sering digunakan untuk menyasar orang asli Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk kemerdekaan.

Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?

Pada bulan Juni 2022, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan undang-undang kontroversial. UU tersebut memekarkan wilayah dua provinsi—Papua dan Papua Barat—menjadi enam provinsi. Berdasarkan pilihan sejumlah aktivis Papua, HRW menggunakan nama Papua Barat untuk menyebut keseluruhan wilayah tersebut.

Banyak orang asli Papua percaya, pembentukan provinsi baru ini akan mendatangkan lebih banyak warga non-Papua. Ini dapat mengurangi proporsi orang asli Papua yang tinggal di tanah mereka sendiri.

Pihak berwenang Indonesia telah mendorong dan mensubsidi puluhan ribu keluarga non-Papua (pendatang) untuk pindah ke Papua Barat melalui program transmigrasi selama puluhan tahun. Proses ini sering kali mengusir orang asli Papua. Juga merampas tanah milik mereka untuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.

Sebut HRW dalam laporannya, pemerintah daerah dan pusat mendiskriminasi orang asli Papua demi para pendatang. Khususnya dalam pemberian layanan kesehatan dan pendidikan di Papua Barat.

Daerah yang dihuni orang asli Papua punya lebih sedikit pusat kesehatan masyarakat dan sekolah. Pemerintah juga lebih menyukai pendatang untuk mengisi pekerjaan di pemerintahan. Baik sebagai guru, perawat, atau di kepolisian dan militer. Sementara itu, orang asli Papua yang tinggal di daerah lain di Indonesia menghadapi diskriminasi dan rasisme dalam memperoleh akses ke pekerjaan, pendidikan, atau perumahan.

Baca juga: Kisah-Kisah Merawat Diri Perempuan Aktivis Pembela HAM di Tanah Papua 

Agus Sumule adalah seorang dosen Universitas Papua di Manokwari, yang memimpin penelitian tentang pendidikan di Papua Barat. Ia mencatat tingkat kehadiran orang asli Papua di sekolah yang jauh lebih rendah di daerah pegunungan. Serta menemukan bahwa tidak ada satu pun perguruan tinggi keguruan di Pegunungan Tengah. Padahal, hampir semua penduduknya adalah orang asli Papua. 

“Kalau bukan rasisme, saya harus menyebutnya apa?,” kata Agus.

HRW juga menemukan bahwa polisi dan tentara sering menyiksa dan menganiaya aktivis Papua dengan makian rasis. Sebuah video yang diunggah pada awal tahun 2024 di media sosial menunjukkan tiga tentara memukuli Definus Kogoya, seorang pemuda Papua, yang tangannya diikat di belakang dan memasukkannya ke dalam drum berisi air, mengejeknya dengan makian rasis.

Krisis Layanan Kesehatan, Angka Kematian Ibu dan Anak Tinggi

Menurut HRW, pemerintah masih belum menjamin akses terhadap layanan kesehatan publik di Papua. Khususnya di area-area tempat banyak masyarakat adat Papua bermukim. Krisis bahan-bahan medis membuat banyak puskesmas dan rumah sakit tutup.

Imbas dari tutupnya fasilitas layanan kesehatan tersebut adalah peningkatan angka kematian ibu dan anak. Yones Douw dari Departemen Keadilan dan Perdamaian Sinode Gereja Kingmi Papua, menekankan fakta tersebut dalam kesempatan terpisah, pada media briefing situasi kemanusiaan terkini di Tanah Papua, Rabu (4/9/2024). Menurutnya, meski belum ada data terkini, sudah banyak kematian ibu dan anak yang terjadi di pengungsian di Papua.

Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2020 menunjukkan, Papua dan Papua Barat menjadi provinsi dengan angka kematian anak, kematian bayi, dan kematian ibu tertinggi di Indonesia. Sebagai perbandingan, Jakarta menjadi wilayah dengan angka kematian ibu terendah. Perhitungannya 48 per 100,000 kelahiran hidup. Sedangkan angka tertinggi adalah di Papua dengan 565 per 100,000 kelahiran hidup.

Perempuan dan Anak Jadi Korban Berlapis

Selain diskriminasi, konflik bersenjata di Papua masih berlangsung hingga saat ini. Yang kerap terlupakan, nasib pengungsi perempuan dan anak-anak di Papua seakan terombang-ambing.

Tutur Cahyo Pamungkas, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), perempuan menjadi korban berlapis dalam polemik Papua. Konflik berkelanjutan membuat perempuan harus menanggung beban ganda. Di tengah situasi konflik yang menuntut mereka untuk mengungsi, mereka masih harus bekerja dan menghidupi keluarga. Masalah ini, tutur Cahyo, banyak ditemukan di pengungsian.

“Banyak perempuan, ibu-ibu, dan anak-anak serta bayi yang meninggal di pengungsian,” katanya kepada Konde.co usai sesi pemaparan laporan HRW di Grha Oikumene, Jakarta, Kamis (19/9/2024).

“Mereka hidup sebagian masih di hutan, sebagian masih di tenda-tenda. Sebagian masih menumpang di rumah saudaranya—di Wamena, di Timika, di Nabire, di Merauke, di Jayapura.”

Cahyo menyebutkan data dari PGI bahwa terdapat setidaknya 60 ribu pengungsi di Papua, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Menurutnya, mereka menjadi pihak yang paling menderita akibat konflik. Harus mengungsi dari kampung halaman, mereka kehilangan tempat tinggal serta mata pencaharian.

Pengungsian pun kerap kali kurang layak. Banyak perempuan dan anak melarikan diri ke hutan dan tinggal di pondok-pondok. Selain kesulitan mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan, stigma kedekatan dengan kelompok oposisi juga dilekatkan pada mereka.

“Mereka tidak punya akses terhadap kesehatan, pelayanan kesehatan yang baik. Dan mereka juga distigma dekat dengan kelompok separatis. Atau, kelompok OPM juga menganggap mereka mungkin juga dekat dengan pemerintah,” Cahyo berkata.

“Jadi mereka itu pihak yang terjebak di dalam kekerasan.”

Pada kesempatan lain, Yones Douw juga mencemaskan nasib pengungsi perempuan dan anak di Papua. 

“Oke, konflik bersenjata antara kepentingan, silakan jalan,” tukas Yones kepada Konde.co, Rabu (4/9/2024). “Tetapi bagaimana melindungi rakyat kecil? Bagaimana untuk anak-anak itu bisa proses belajar, mengajar itu bisa berjalan? Bagaimana untuk mama-mama, ibu, masyarakat sipil itu bisa berjualan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi?”

Baca juga: Andai ‘Orpa’ Didengar, Kisah Anak Perempuan Papua

Papar Yones, saat ini tidak ada tempat yang benar-benar aman di Papua, terutama bagi perempuan dan anak. Keadaan mungkin akan sedikit lebih baik jika area kontak senjata ditentukan di satu tempat dan masyarakat melanjutkan hidup di daerah-daerah lain. Di sana, mereka bisa tetap berjualan dan melakukan kegiatan ekonomi.

“Tapi kalau di tempat-tempat hunian masyarakat, tempat di kampung juga terjadi kontak bersenjata. Masyarakat tidak dapat hidup enak,” ujarnya.

Perempuan Papua juga mengalami kekerasan berlapis ketika konflik wilayah memicu ketegangan di ranah domestik. Di satu sisi, orang Papua harus mengungsi untuk menghindari konflik bersenjata. Namun, di sisi lain, anak terpaksa putus sekolah dan keluarga kehilangan sumber penghidupan saat mengungsi. Hal-hal tersebut dibebankan kepada perempuan, sekaligus membuatnya mengalami pertikaian di rumah. 

“Jadi sampai saat ini, anak-anak sudah putus sekolah. Istri bilang ‘(anak) harus (di)sekolahkan!’ Tapi suami bilang ‘iya, saya sekolahkan; uang dari mana?’” tutur Yones, menggambarkan cekcok antara suami dan istri ketika keluarga harus mengungsi akibat konflik.

Lanjutnya, “Suami tanya, ‘kalau kita di atas, di pedalaman, tidak sekolah, tidak bayar uang. Tapi kalau kita turun ke Nabire, kita harus bayar. Uang dari mana?’ Jadi suami istri sering bertikai karena anak putus sekolah.”

Kondisi semakin sulit bagi perempuan yang mencari nafkah dengan berkebun dan berdagang. Mengungsi berarti memisahkan perempuan dari barang dan peralatan dagangnya, juga dari sumber penghasilannya. Mengungsi berarti menghilangkan kebun-kebun yang selama ini jadi mata pencaharian perempuan. “Jadi ibu-ibu juga menderita, dan juga bapak. Anak juga tidak sekolah. Itu menjadikan persoalan sampai hari ini,” tegas Yones.

Baca juga: ‘Burung pun Tak Ada Lagi’: Riset Kondisi Perempuan Papua

Dalam Konferensi Tenurial 2023 yang mengangkat berbagai masalah agraria dan perampasan lahan dan dilakukan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang dihadiri Konde.co, Naomi Marasian datang jauh dari Papua ke Senayan, Jakarta. Ia berdiri di atas panggung bersama sejumlah tokoh perwakilan masyarakat lainnya untuk membuka Konferensi Tenurial 2023, di Gedung Serbaguna Senayan Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, (16/10/2023).

Direktur Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua (pt. PPMA Papua) itu, mendesakkan kedaulatan kepemilikan atas sumber daya alam bagi adat Papua. Tanah bagi masyarakat Papua layaknya ibu atau mama, yang begitu penting bagi kehidupan. 

“Tanah bagi kami adalah ibu atau mama. Sosok perempuan yang menjaga kehidupan kami untuk tetap hidup, melakukan kerja-kerja produktif bagi kelangsungan hidup kami. Beranak-pinak, serta menjaga lingkungan untuk kehidupan dan keberlangsungan alam dan generasi sebagai pewaris,” ucap Naomi Marasian. 

Namun, masyarakat asli Papua justru kerap ditindas di atas tanahnya sendiri. 

“Kami masyarakat adat sering diancam dan diintimidasi ketika hendak berdaulat dan berdaya atas tanah kami sendiri,” tegasnya. 

Bagi rakyat Papua, fungsi tanah bukan hanya secara ekonomi. Ia berfungsi secara sosial, berkaitan dengan hubungan kekerabatan dalam kelangsungan hidup mereka. Maka dari itu, mereka mengecam berat perampasan tanah secara sepihak dan memaksa oleh para korporasi dan pihak tidak bertanggung jawab. 

Rasisme di Era Jokowi: Negara Mau Apa Terhadap Orang Papua?

Rasisme dan diskriminasi terhadap orang asli Papua sudah terjadi selama bertahun-tahun. Kasusnya terus bereskalasi di masa pemerintahan Joko Widodo. 

Menurut Cahyo Pamungkas, perlakuan rasisme sera diskriminasi dan pelanggaran terhadap orang Papua sangat kentara di era Jokowi.

“Rasisme lebih banyak di zaman Jokowi karena dia lebih banyak melakukan persekusi terhadap orang Papua. Dan tidak menggunakan pendekatan dialog untuk penyelesaian konflik,” terang Cahyo.

Lanjut Cahyo, yang menjadi persoalan adalah perbedaan cara pemerintah menghadapi persoalan daerah lain dengan Papua. Dalam masalah Aceh, misalnya, pemerintah bisa menyelesaikannya secara damai dan minim kekerasan. Namun tidak demikian dengan Papua.

Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden pada tahun 2014, banyak orang yang menaruh harapan akan adanya reformasi HAM di Papua Barat. Namun kini, sepuluh tahun berlalu. Di akhir masa jabatan kedua sekaligus terakhirnya, tak banyak yang berubah di Papua.

Rasisme terhadap orang Papua di berbagai bidang seperti politik hingga industrial sebetulnya sudah terjadi sejak pemerintahan sebelumnya. Namun, pada masa kepemimpinan Jokowi, kasusnya lebih banyak dan lebih terlihat. Ruang-ruang demokrasi yang sejak awal sudah sempit bagi orang Papua serta berbagai isunya, makin ditutup di rezim ini.

Baca juga: Jalan Hidup Yosepha Alomang: Perempuan Pejuang Dari Papua

“Pihak berwenang Indonesia seharusnya menanggapi tuntutan para aktivis Papua. Dan mengatasi rasisme sistematis terhadap orang asli Papua,” kata Andreas Harsono. “Pemerintah Indonesia seharusnya mengakui bahwa hukum hak asasi manusia internasional berlaku di Papua Barat dan memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat di sana.”

Di sisi lain, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto Djojohadikusumo, akan mulai pada bulan Oktober 2024. Sebut HRW, pemerintah semestinya segera meninjau sejumlah kebijakan yang berlaku di Papua Barat. Serta mengakui dan mengakhiri sejarah rasisme sistematis pemerintah terhadap orang asli Papua. Kemudian meminta pertanggungjawaban dari mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak-hak orang Papua.

Yones berharap pemerintah serius memperhatikan kehidupan orang Papua. Terutama nasib para pengungsi. Kehidupan yang dimaksud mencakup pendidikan bagi anak, kesehatan, dan hak untuk dapat hidup tenang. Sebab hal itulah yang sulit dirasakan orang asli Papua di tanah mereka sendiri saat ini.

Namun, dengan kondisi daerah-daerah di Papua yang dikuasai TNI dan TPN-PB, warga tidak akan bisa kembali ke kampung halamannya dengan kondisi aman seperti sebelumnya.

“Pemerintah harus memperhatikan, memberikan perumahan yang baik, lokasi yang baik. Sehingga mereka juga bisa hidup dengan aman dan tentram, bagi yang pengungsi itu. Karena untuk kembalikan, dia tidak bisa,” pungkas Yones.

Sumber Foto: AMAN

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
‘Kalau Bukan Rasisme, Menyebutnya Apa?’ Perempuan Papua Alami Diskriminasi Berlapis di Indonesia

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us